Rabu, 18 Februari 2015

Ayah


http://www.club-pecinta-alquran.com/index.php?option=com_content&view=article&id=322:ayah&catid=1:latest-news&Itemid=341 
sumber :  http://www.club-pecinta-alquran.com/index.php?option=com_content&view=article&id=322:ayah&catid=1:latest-news&Itemid=341

Sore itu mendung menggelayuti langit. Angin dingin mulai berembus lebih sering. Tanda-tanda air akan segera luruh dari langit. Aku bergegas berjalan pulang menuju rumah kos sebelum hujan turun. Aku tidak mau hujan mengguyurku dan membuat semua buku di tasku basah. Di tengah perjalanan aku pulang, ponsel yang ku simpan di saku berdering. Enggan rasanya aku mengambilnya. Aku terus saja berjalan tanpa mengindahkannya sampai ponsel itu berhenti dengan sendirinya. Beberapa langkah kemudian, ponselku kembali berdering. Aku terus saja melangkah dan tetap tidak mengindahkannya sampai ponsel itu berhenti berdering lagi.
                Beberapa saat kemudian hujan turun, tepat ketika aku menginjakkan kakiku memasuki gerbang rumah kos yang aku sewa. “Alhamdulillah.” gumamku. Hujan belum sempat mengguyurku kali ini. Aku segera berjalan menuju tangga dan naik ke lantai dua. Iya, kamar kos ku berada di lantai dua. Setelah sampai, aku langsung saja merebahkan tubuhku di atas kasur. Lelah. Kuliah hari ini penuh dari pagi sampai sore. Perutku sudah terasa lapar, tubuhku sudah lemas. Aku pun memutuskan untuk bergegas mandi kemudian aku bisa makan dan istirahat dengan tenang.
                Selepas mandi dan makan dan sholat, aku teringat jika tadi ponselku erdering dan aku belum mengecek siapa yang menelponku. Dengan santai aku meraih ponsel yang ada di saku bajuku. Aku terkejut, ada tiga panggilan tak terjawab dari nomor yang sama, “Ayah?” Aku bertanya-tanya, ada apa Ayah menghubungiku? Adakah sesuatu hal yang terjadi di rumah? Tanpa banyak berpikir lagi, aku menelfon nomor Ayah.
                Lama, tidak ada jawaban. “Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi...” ku tekan tombol merah di ponsel. Aku mulai resah memikirkan apa yang terjadi di rumah. Aku mencoba menghubunginya lagi dan kali ini tersambung. Syukurlah.
“Halo, Assalamualaikum.”
“Waalaikumslaam.”
“Ada apa, Yah. Kok telfon Lili?”
“Tidak ada apa-apa, Nduk. Kamu sehat?”
“Alhamdulillah sehat, Yah. Tapi kemarin Lili sempat sakit, Yah. Mungkin terlalu capek dan kurang teratur makan. Ayah dan Ibu sehat?”
“Selalu sehat, Nduk.”
“Alhamdulillah..” Aku merasa lega mndengar Ayah dan Ibu sehat. Aku juga lega tidak terjadi apa-apa di rumah. Perasaanku kembali tenang.
“Kapan, Nduk, mau sambang rumah?”
Aku terdiam. Mungkin ini alasan Ayah menghubungiku. Menanyakan kepulanganku. Aku jadi teringat perbincanganku dengan salah seorang guruku di SMA dulu. Beliau berkata kalau anak jaman sekarang itu sudah jarang ingat orangtua kalau sudah jauh dari orangtua, bahkan merasa rindu pun kecil. Kalaupun ada, tidak pernah diindahkan, tidak memikirkan perasaan rindu orangtua yang ada di rumah.
“Ehm..” Aku rasa minggu depan tugasku tidak terlalu banyak. Aku bisa menggunakan liburan akhir pekannya untuk pulang. “Insa Allah, minggu ini, Yah.”
“Oke, kalau sudah sampai halte telfon Ayah, nanti Ayah jemput.”
“Iya, Yah.”
“Ya, sudah belajarlah yang rajin, sayang.”
“Iyaa, Ayah. Sudah dulu ya, Yah. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Telfon pun terputus begitu saja. Entah kenapa setelah ponsel itu kembali senyap, rindu menjalariku, mencengkram erat hatiku. Haruskah rasa rindu ini harus dipicu dulu untuk timbul? Entahlah. Mungkin terlalu banyak kesibukan membuatku lupa akan apa yang sebenarnya aku rasakan. Mungkin kesibukan telah membutakanku akan apa yang selalu aku angankan. Dan suara Ayah sudah cukup memantik rindu ini untuk berkobar.
***
                Tidak terasa, aku sudah sampai di perbatasan kotaku dengan kota tempatku merantau. Aku yang duduk di dekat kaca menatapi pemandangan yang disuguhkan alam. Mulai dari pegunungan, pepohonan hingga pasar. Semakin dekat rasanya dengan rumah. Semakin kuat pula magnet ini menarikku untuk segera sampai di rumah kecilku. Aku mengeluarkan ponselku dan megirim pesan singkat kepada Ayah, “Yah, aku sudah sampai, 30 menit lagi aku sudah di halte.” Tak perlu menunggu lama, ponselku bergetar. “Oke, siap.” Aku merasa lega. Aku tidak usah menunggu lama di halte.
                Tiga puluh menit kemudian, aku sampai di halte. Ketika aku turun, aku sudah melihat ada mobil Ayah terparkir di pinggir jalan. Aku segera berjalan menghampirinya. Membuka pintu sebelah kiri dan duduk di samping Ayah. Aku mencium tangan Ayah kemudian mengenakan sabuk pengaman. “Sudah lama, Yah?” Aku melihat Ayah masih mengenakan seragam dinasnya. Lengkap dengan sepatu dan tas berisi setumpuk berkas. “Tidak, Ayah juga baru sampai. Kamu pasti lapar, ini Ayah tadi belikan jajanan untukmu di koperasi.” Ayah memberiku sekantung kue basah. Aku mengangguk dan mengambilnya satu. Ayah mulai melajukan kendaraan menyusuri jalanan.
“Bagaimana tadi di bus? Apa kamu bisa duduk? Jam berapa berangkat?”
“Bisa kok, Yah. Dari terminal kota aku dapat duduk kok. Aku tadi berangkat jam 8.30 pagi.” Ayah selalu menanyakan hal yang sama, apa aku bisa duduk di bus. Aku maklum, mungkin Ayah khawatir karena aku pernah pulang dan tidak dapat duduk di bus. Alhasil aku harus berdiri selama tiga jam lebih dan aku pun belum sempat makan kala itu karena aku berangkat sepulang kuliah.
“Kamu sudah makan?”
Aku menggeleng.
“Mau makan di rumah atau di warung?”
“Terserah Ayah saja.”
Beberapa meter kemudian, Ayah membelokkan mobil memasuki pelataran sebuah warung makan. Aku turun dan mengikuti Ayah. Duduk di samping Ayah. Melihat Ayah memesan dua mangkuk soto dan dua gelas wedang jeruk.
                Selepas makan kami pun melanjutkan perjalanan untuk pulang. Menuju sebuah desa kecil tempatku dilahirkan dan dibesarkan. Rumah.
***
                Hari-hariku di rumah terasa begitu cepat berlalu. Aku berencana untuk kembali hari senin. Namun, sebuah kabar buruk sampai. Minggu sore, kala itu aku tengah duduk bersantai di belakang rumah. Aku mengecek akun sosial mediaku melalui ponsel.
Ela           : temen-temen ada kabar buruk...!!
Maulidia      : apaan sih, El?
Asti          : apaan El? Kulit manggis kini tidak jadi diekstrak? hahaha :D
Dody          : hahaha bener kata si Asti :P
Ela           : woy bukan, ini lebih buruk dari kulit manggis nggak jadi di ekstrak..!!
Rena          : Terus apaan?
Ela           : Kasih tahu nggak yaa? :p
Maulidia      : El, plis -_-
Ela           : Ampun Lii :D jadi gini, besok senin kita tidak jadi libur. Ada kuliah tambahan jam 11, soalnya Pak Dosen harus ke Jakarta.
Asti          : Serius?
Maulidia      : Kamu nggak bercanda kaan?
Ela           : Aku seriuuus banget kakak -_-
Maulidia      : Duh, aku masih di kampung :(
Dody          : Balik besok kan bisa Li, naik bus yang paling pagi
Maulidia      : Iya, doain dapat bus yaa :’)

Aku menghela napas panjang. Kenapa semendadak ini. Andai saja Ela memberitahu ini sejak pagi,aku pasti bisa pulang siang tadi.
                Tanpa aku sadari, Ayah menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Ada apa, Nduk, kok sepertinya kamu gelisah?”
“Ini, Yah, temanku memberi pengumuman mendadak. Katanya besok ada kuliah tambahan pukul 11. Aku tidak jadi pulang siang, aku harus pulang pagi.”
“Iya nggak masalah, nanti berangkat sama, Ayah.”
Aku mengangguk. Sedikit lega karena aku bisa kembali dan tidak mengorbankan waktuku.
***
                Masih pukul 5.30 pagi. Aku sudah selesai mandi dan bersiap untuk berangkat. Aku mengemasi semua barang-barangku dalam satu ransel. Ibu pun sudah menyiapkan sarapan untukku. Sembari menunggu Ayah yang bersiap, aku menyantap sarapan yang disiapkan Ibu. Tidak terlintas apa pun di pikiranku kala itu. Rasa rindu yang kemarin menjeratku sudah tidak menjalar. Rindu itu sudah terobati.
                Tepat pukul 6.00 pagi, aku dan Ayah berangkat, setelah berpamitan dan mencium tangan Ibu. Di atas dua roda sepeda motor berwara biru ini lah, Ayah mengantarku untuk kembali. Melewati jalanan yang masih tertutup embun. Dari belakang aku melihat Ayah yang sesekali mengusap kaca helmnya yang penuh dengan embun. Kurang lebih 15 menit, kami sampai di pinggir jalan yang dilewati bus. Ayah meminggirkan motornya dan menemaniku berdiri menunggu ada bus lewat. Ada banyak orang lain yang juga menunggu bus, namun Ayah tetap berdiri di sampingku,menjagaku. Beberapa kali ponsel Ayah berdering. Aku tahu itu dari teman sekantor Ayah. Ayah seharusnya menjadi pembina upacara hari ini.
“Yah, aku berani kok. Kalau Ayah berangkat sekarang tidak apa-apa. Busnya masih akan lewat jam 6.30 nanti.”
Ayah mengeluarkan ponselnya dan menunjukkannya padaku.
“Nanti saja kalau sudah jam 6.30 Ayah berangkat, sekarang masih jam 6.25 kok.”
Ayah tetap saja teguh berdiri di sampingku. Pukul 6.28 pagi, sebuah bus nampak mendekat dari kejauhan. Aku segera meraih tangan Ayah dan menciumnya.
“Yah, Busnya sudah datang. Aku berangkat dulu.”
Ayah tetap saja berdiri di sampingku. Sampai bus berhenti di depanku Ayah tetap tidak beranjak dari sana. Baru ketika bus yang ku tumpangi berlalu, Ayah beranjak dan melajukan motornya menuju sekolah untuk dinas. Aku tak sampai hati melihatnya.
                Di sepanjang perjalanan, aku melihat banyak siswa yang berbaris untuk mengikuti upacara bendera. Aku merasa sangat berdosa. Aku teringat Ayah, oleh karena aku Ayah rela mengorbankan waktunya. Hanya untuk mengantar dan menjagaku, Ayah rela menerima hukuman. Ayah rela mengorbankan apa pun untuk orang yang disayanginya yang dicintainya. Aku berpikir, aku bisa apa? Apa yang sudah ku lakukan untuk mengganti pengorbanannya? Bahkan sebanyak apapun aku berkorban, tak akan sepadan dengan pengorbanannya selama ini. Aku hanya mampu memberikannya sebuah janji dan tekad. Ayah, tiga tahun lagi, Ayah akan berada di sampingku bersama Ibu, di gedung yang besar, mengantarku mendapatkan gelar sarjanaku sebagai langkah awalku membahagikanmu. Aku sayang Ayah.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar