Senin, 31 Maret 2014

Semut Merah


Karya Warastri Rezka Hardini



            Matahari mulai merangkak ke peraduan. Walaupun sekarang sinarnya masih terang merengkuh bumi. Kala itu hari belum begitu sore. Masih sekitar pukul 15.00. Seorang gadis kecil tengah asik bermain di halaman rumahnya. Duduk di atas hamparan rumput hijau dan membangun istana pasir di atasnya. Seorang wanita berusia seperempat abad, duduk mengawasi gadis itu dari teras rumah. Dia tersenyum melihat setiap tingkah dan polah gadis itu. Terkadang dia seperti ingin berlari dan merengkuh tubuh gadis itu ketika gadis itu hampir terjatuh.
            Gadis kecil itu tiba-tiba berdiri dan berlari menuju wanita tersebut. Tangan kecilnya tak henti-hentinya dikibaskan ke arah lengan dan kakinya. Seperti mengusir serbuan hewan kecil yang mengerubuti tubuhnya. “Bunda.. Bundaa.” Gadis itu berteriak memanggil wanita tadi. Wanita tersebut kini berdiri dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Dia langsung berjongkok di depan gadis tersebut ketika gadis itu telah ada di hadapannya. “Kamu kenapa sayang?” Gadis itu mulai menggaruk tangan dan kakinya. Tangan dan kakinya penuh bentol-bentol merah bekas gigitan serangga. Gadis itu mulai menangis. “Gatal Bunda, sakit.” Gadis itu tetap tidak berhenti menggaruk tangan dan kakinya. “Sini Bunda obatin. Jangan nangis ya sayang.” Wanita itu mendudukkan gadis kecil itu di teras. Kemudian dia bergegas menuju ke dalam rumah mengambil botol kecil berisi minyak kayu putih. Setelah itu dia menghampiri gadis itu.
            Dengan lembut diusapnya lengan dan kaki mungil gadis itu yang dihiasi bentol-bentol merah dengan minyak kayu putih. Gadis itu mulai berhenti menangis. Ketika gadis itu mulai tenang, wanita tersebut memangku gadis itu, “Kamu tadi main apa saja sayang kok sampai tangan dan kaki kamu merah-merah?” Tanyanya dengan lembut sembari membelai lembut rambut gadis itu. “Tadi Warda bikin istana pasir, Bunda. Waktu Warda bikin ternyata pasirnya kurang, terus Warda lihat ada gundukan pasir. Nah, akhirnya pasirnya Warda ambil. Warda nggak tahu Bunda kalau ternyata itu sarang semut jadi waktu Warda ambil semutnya marah terus nggigit tangan sama kaki Warda.” Wanita itu mengangguk paham dengan penjelasan gadis kecil bernama Warda tersebut. “Bunda, Bunda, kenapa sih di dalam rumah semut itu semutnya banyak? Nggak kaya di rumah kita yang cuma ada Warda, Bunda sama Ayah?” Wanita itu tersenyum. “Warda mau tahu jawabannya?” Gadis itu mengangguk antusias. “Begini sayang, semut itu hidupnya berkelompok. Mereka hidupnya saling membantu satu sama lain, gotong royong. Mereka mencari makanan bersama, membuat rumah bersama, dan melindungi rumah bersama. Mereka kan kecil, untuk itu mereka bekerja sama sehingga mereka menjadi kelompok yang kuat, bisa bertahan hidup dan melindungi satu sama lain. Kalau mereka hidupnya sendiri-sendiri, mereka pasti nggak akan hidup lama. Soalnya mereka nggak bisa cari makan sendiri. Belum lagi kalau dimakan pemangsa.” “Oh, begitu ya Bunda. Pantas saja tadi saat Warda ambil pasirnya kok semutnya yang keluar banyak.” Wanita itu tersenyum, “Warda tahu nggak kalau di dalam sarang semut itu ada satu semut yang sangat dilindungi?” Warda mendongakkan kepalanya, menatap Bundanya lekat-lekat, “Tidak tahu, Bunda. Memangnya siapa semut itu?”

“Semut itu ya si ratu semut. Ratu semut akan bertelur, telurnya sangat banyak. Dan setelah menetas akan menjadi semut yang menggigit Warda tadi.” Wanita itu terkekeh dan Warda seolah tidak percaya, “Ratu semut? Jadi di dalam sarang tadi ada semut yang pakai mahkota ya Bunda? Warda kok nggak lihat. Ayuk Bunda ke sana, Warda ingin tahu semut yang pakai mahkota.” Wanita itu tertawa dan Warda semakin bingung, “Tidak sayang, tidak ada semut yang memakai mahkota di sana. Ratu semut itu semut yang ukurannya lebih besar dan kadang-kadang juga punya sayap. Ya, jelas saja kalau tadi Warda nggak lihat ratu semut soalnya ratu semut itu ada di sarang yang paling dalam dan dilindungi dengan baik.” Warda mengangguk tanda ia mulai mengerti, “Oh begitu ya, Bunda.” Wanita itu mengangguk.
            “Sayang, kamu bisa loh belajar banyak dari semut.” Warda kini menatap wanita itu lagi, air mukanya menunjukkan bahwa ia ingin tahu, “Belajar dari semut, Bunda?” Wanita itu mengangguk sembari tersenyum, “Iya sayang, seperti yang Bunda katakan tadi semut adalah hewan yang hidupnya saling bekerja sama bergotong royong. Kita harus mencontoh sikap baik dari semut ini sayang. Kita harus bekerja sama, bergotong royong dengan sesama dan tentunya hanya dalam hal kebaikan loh ya. Kalau sebuah pekerjaan dilakukan bersama-sama dengan bergotong royong pasti akan cepat selesai.” Warda mengangguk mantap tanda mengerti. “Bunda, Bunda, Warda baru ingat kalau besok kata Bu Guru mau ada kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah.” “Oh ya sayang? Wah, bagus dong. Besok Warda bisa menerapkan apa yang tadi Bunda katakan. Kerja baktinya dilakukan dengan kerja sama, bergotong royong biar cepat selesai, seperti semut.” Warda tersenyum dan mengangguk. Wanita itu mencium kening Warda. “Duh, anaknya Bunda bau acem. Mandi yuk sayang.” Warda terkekeh, “Iyaa, Bunda.”
            Warda turun dari pangkuan Bundanya dan berjalan menuju kamar mandi, diikuti Wanita itu. Matahari kini sudah semakin dekat dengan peraduannya. Walaupun bumi masih terlihat terang.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar