Karya Warastri Rezka Hardini
Matahari
mulai merangkak ke peraduan. Walaupun sekarang sinarnya masih terang merengkuh
bumi. Kala itu hari belum begitu sore. Masih sekitar pukul 15.00. Seorang gadis
kecil tengah asik bermain di halaman rumahnya. Duduk di atas hamparan rumput
hijau dan membangun istana pasir di atasnya. Seorang wanita berusia seperempat
abad, duduk mengawasi gadis itu dari teras rumah. Dia tersenyum melihat setiap
tingkah dan polah gadis itu. Terkadang dia seperti ingin berlari dan merengkuh
tubuh gadis itu ketika gadis itu hampir terjatuh.
Gadis
kecil itu tiba-tiba berdiri dan berlari menuju wanita tersebut. Tangan kecilnya
tak henti-hentinya dikibaskan ke arah lengan dan kakinya. Seperti mengusir
serbuan hewan kecil yang mengerubuti tubuhnya. “Bunda.. Bundaa.” Gadis itu
berteriak memanggil wanita tadi. Wanita tersebut kini berdiri dengan ekspresi
penuh kekhawatiran. Dia langsung berjongkok di depan gadis tersebut ketika
gadis itu telah ada di hadapannya. “Kamu kenapa sayang?” Gadis itu mulai
menggaruk tangan dan kakinya. Tangan dan kakinya penuh bentol-bentol merah
bekas gigitan serangga. Gadis itu mulai menangis. “Gatal Bunda, sakit.” Gadis
itu tetap tidak berhenti menggaruk tangan dan kakinya. “Sini Bunda obatin.
Jangan nangis ya sayang.” Wanita itu mendudukkan gadis kecil itu di teras.
Kemudian dia bergegas menuju ke dalam rumah mengambil botol kecil berisi minyak
kayu putih. Setelah itu dia menghampiri gadis itu.
Dengan
lembut diusapnya lengan dan kaki mungil gadis itu yang dihiasi bentol-bentol
merah dengan minyak kayu putih. Gadis itu mulai berhenti menangis. Ketika gadis
itu mulai tenang, wanita tersebut memangku gadis itu, “Kamu tadi main apa saja
sayang kok sampai tangan dan kaki kamu merah-merah?” Tanyanya dengan lembut
sembari membelai lembut rambut gadis itu. “Tadi Warda bikin istana pasir,
Bunda. Waktu Warda bikin ternyata pasirnya kurang, terus Warda lihat ada
gundukan pasir. Nah, akhirnya pasirnya Warda ambil. Warda nggak tahu Bunda
kalau ternyata itu sarang semut jadi waktu Warda ambil semutnya marah terus
nggigit tangan sama kaki Warda.” Wanita itu mengangguk paham dengan penjelasan
gadis kecil bernama Warda tersebut. “Bunda, Bunda, kenapa sih di dalam rumah
semut itu semutnya banyak? Nggak kaya di rumah kita yang cuma ada Warda, Bunda
sama Ayah?” Wanita itu tersenyum. “Warda mau tahu jawabannya?” Gadis itu
mengangguk antusias. “Begini sayang, semut itu hidupnya berkelompok. Mereka
hidupnya saling membantu satu sama lain, gotong royong. Mereka mencari makanan
bersama, membuat rumah bersama, dan melindungi rumah bersama. Mereka kan kecil,
untuk itu mereka bekerja sama sehingga mereka menjadi kelompok yang kuat, bisa bertahan
hidup dan melindungi satu sama lain. Kalau mereka hidupnya sendiri-sendiri,
mereka pasti nggak akan hidup lama. Soalnya mereka nggak bisa cari makan
sendiri. Belum lagi kalau dimakan pemangsa.” “Oh, begitu ya Bunda. Pantas saja
tadi saat Warda ambil pasirnya kok semutnya yang keluar banyak.” Wanita itu
tersenyum, “Warda tahu nggak kalau di dalam sarang semut itu ada satu semut yang
sangat dilindungi?” Warda mendongakkan kepalanya, menatap Bundanya lekat-lekat,
“Tidak tahu, Bunda. Memangnya siapa semut itu?”
“Semut itu ya si ratu semut. Ratu semut akan bertelur, telurnya sangat banyak. Dan setelah menetas akan menjadi semut yang menggigit Warda tadi.” Wanita itu terkekeh dan Warda seolah tidak percaya, “Ratu semut? Jadi di dalam sarang tadi ada semut yang pakai mahkota ya Bunda? Warda kok nggak lihat. Ayuk Bunda ke sana, Warda ingin tahu semut yang pakai mahkota.” Wanita itu tertawa dan Warda semakin bingung, “Tidak sayang, tidak ada semut yang memakai mahkota di sana. Ratu semut itu semut yang ukurannya lebih besar dan kadang-kadang juga punya sayap. Ya, jelas saja kalau tadi Warda nggak lihat ratu semut soalnya ratu semut itu ada di sarang yang paling dalam dan dilindungi dengan baik.” Warda mengangguk tanda ia mulai mengerti, “Oh begitu ya, Bunda.” Wanita itu mengangguk.
“Semut itu ya si ratu semut. Ratu semut akan bertelur, telurnya sangat banyak. Dan setelah menetas akan menjadi semut yang menggigit Warda tadi.” Wanita itu terkekeh dan Warda seolah tidak percaya, “Ratu semut? Jadi di dalam sarang tadi ada semut yang pakai mahkota ya Bunda? Warda kok nggak lihat. Ayuk Bunda ke sana, Warda ingin tahu semut yang pakai mahkota.” Wanita itu tertawa dan Warda semakin bingung, “Tidak sayang, tidak ada semut yang memakai mahkota di sana. Ratu semut itu semut yang ukurannya lebih besar dan kadang-kadang juga punya sayap. Ya, jelas saja kalau tadi Warda nggak lihat ratu semut soalnya ratu semut itu ada di sarang yang paling dalam dan dilindungi dengan baik.” Warda mengangguk tanda ia mulai mengerti, “Oh begitu ya, Bunda.” Wanita itu mengangguk.
“Sayang,
kamu bisa loh belajar banyak dari semut.” Warda kini menatap wanita itu lagi,
air mukanya menunjukkan bahwa ia ingin tahu, “Belajar dari semut, Bunda?”
Wanita itu mengangguk sembari tersenyum, “Iya sayang, seperti yang Bunda
katakan tadi semut adalah hewan yang hidupnya saling bekerja sama bergotong
royong. Kita harus mencontoh sikap baik dari semut ini sayang. Kita harus
bekerja sama, bergotong royong dengan sesama dan tentunya hanya dalam hal
kebaikan loh ya. Kalau sebuah pekerjaan dilakukan bersama-sama dengan bergotong
royong pasti akan cepat selesai.” Warda mengangguk mantap tanda mengerti.
“Bunda, Bunda, Warda baru ingat kalau besok kata Bu Guru mau ada kegiatan kerja
bakti membersihkan lingkungan sekolah.” “Oh ya sayang? Wah, bagus dong. Besok
Warda bisa menerapkan apa yang tadi Bunda katakan. Kerja baktinya dilakukan
dengan kerja sama, bergotong royong biar cepat selesai, seperti semut.” Warda
tersenyum dan mengangguk. Wanita itu mencium kening Warda. “Duh, anaknya Bunda
bau acem. Mandi yuk sayang.” Warda terkekeh, “Iyaa, Bunda.”
Warda
turun dari pangkuan Bundanya dan berjalan menuju kamar mandi, diikuti Wanita
itu. Matahari kini sudah semakin dekat dengan peraduannya. Walaupun bumi masih
terlihat terang.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar