Minggu pagi yang cerah. Matahari bersinar cukup terik
walaupun jam masih menunjukkan pukul delapan pagi. Sarah dan Niar tengah duduk
di bawah pohon mangga di depan panti. Peluh mereka bercucuran. Mereka baru saja
menyelesaikan tugas untuk menyapu halaman panti yang cukup luas itu. “Kak.”
Sarah mulai buka suara. Niar menoleh, “ Iya Sarah ada apa?” Dengan sedikit
gugup Sarah mulai buka suara lagi, “Kakak tidak lupa janji kakak kemarin kan?” Nada
bicaranya menurun, suaranya pun memelan. Niar tersenyum dengan mantap ke arah
Sarah, “Tentu tidak.” Jawabnya tegas. Air muka Sarah berubah cerah. Matanya
yang besar berbinar-binar. “Terus, bagaimana kita meminta izin ke Bunda Rini,
Kak? Kalau kita bilang mau mencari Mama pasti tidak akan diberi izin.” Niar
berdiri, “Biar kakak yang bilang sama Bunda Rini. Yuk.” Niar berjalan menuju
teras untuk menemui Bunda Rini yang tengah menyirami bunga dalam pot-pot kecil
di teras. Sarah mengikuti di belakangnya.
Wanita paruh baya itu bahkan tidak menyadari kedatangan
Niar dan Sarah. Dia tetap sibuk menyirami tanaman-tanaman itu. Sampai akhirnya
dia tersentak karena mendengar suara seseorang di belakangnya yang sebenarnya
tidak begitu kencang.
“ Bunda.”
“ Niar, kamu mengagetkan Bunda saja. Ada apa?”
“Hehe, nggak ada apa-apa kok Bunda. Kami lihat di sini Bunda masih banyak pekerjaan. Boleh kami bantu?”
“Apa tugas kamu sudah selesai kok mau bantu Bunda segala? Bunda masih bias mengerjakannya sendiri kok. Kamu juga terlihat masih capek.”
Sarah mulai resah dengan basa-basi ini. Dia berusaha memberi tanda kepada Niar dengan menendang ringan kaki Niar dengan tujuan agar Niar segera mengutarakan alasan supaya mereka bisa lekas meninggalkan panti untuk mencari Mama Sarah. Bunda Rini yang menangkap bahasa tubuh Sarah mulai curiga.
“Ehem. Sarah kamu kenapa kok sepertinya ingin bicara sama Bunda?” Ujarnya penuh selidik. Namun, dibalut dengan senyum yang hangat membuat pertanyaan itu tampak tidak menusuk. Sementara itu, Sarah diam seribu bahasa dan berhenti menendang kaki Niar. Dia tertunduk. Melihat situasi itu, Niar pun mencoba mencairkan kebekuan yang sedang membelenggu mereka bertiga.
“Ehm. Begini Bunda, kemarin Sarah bilang sama Niar katanya dia ingin membeli buku cerita. Dia sudah menyisihkan uang sakunya selama dua minggu dan dia rasa itu sudah cukup untuk membeli buku cerita yang dia inginkan.” Mimik muka Niar sangat meyakinkan sehingga membuat kecurigaan dalam sorot mata Bunda Rini memudar. Beliau pun tersenyum hangat.
“Oh, begitu. Kenapa nggak ngomong daritadi, Sarah? Kok malah Kak Niar yang ngomong sama Bunda?”
“Ehm. Sarah.. Sarah takut..”
“Takut apa? Takut Bunda nggak ngizinin ya?” Wanita itu berjongkok dan membelai lembut wajah Sarah yang tertunduk. Masih dalam balutan senyum yang hangat. “Bunda pasti izinin Sarah kok. Apalagi untuk membeli buku. Bunda malah senang, Sarah mau membaca. Bunda juga bangga Sarah sudah bisa belajar menabung.”
Sedikit demi sedikit Sarah mengangkat wajahnya. Ketakutan di wajahnya sedikit memudar. Dia menatap bola mata wanita itu menyiratkan jutaan kata maaf yang tak sanggup dilontarkannya.
“Asalkan Sarah jujur, pasti Bunda beri izin.” Wanita itu berdiri kembali dengan senyum yang hangat. Namun, kata-kata yang baru saja dilontarkannya benar-benar menampar Sarah dan Niar. Sontak air muka mereka sedikit berubah. Sarah tak kuasa. Dia pun menunduk kembali, hendak menangis. Menangisi sikapnya yang seharusnya tak ia lakukan. Berbohong. Sementara itu Niar terpaku dan terdiam seribu bahasa. Namun, ia berusaha segera membuat ekspresinya kembai wajar.
“Loh, kok malah diam saja? Tunggu apa lagi?”
“Eh..ehm. Iya Bunda kami pamit dulu. Assalamualaikum.” Niar dan Sarah mencium tangan Wanita itu kemudian berlalu.
“ Bunda.”
“ Niar, kamu mengagetkan Bunda saja. Ada apa?”
“Hehe, nggak ada apa-apa kok Bunda. Kami lihat di sini Bunda masih banyak pekerjaan. Boleh kami bantu?”
“Apa tugas kamu sudah selesai kok mau bantu Bunda segala? Bunda masih bias mengerjakannya sendiri kok. Kamu juga terlihat masih capek.”
Sarah mulai resah dengan basa-basi ini. Dia berusaha memberi tanda kepada Niar dengan menendang ringan kaki Niar dengan tujuan agar Niar segera mengutarakan alasan supaya mereka bisa lekas meninggalkan panti untuk mencari Mama Sarah. Bunda Rini yang menangkap bahasa tubuh Sarah mulai curiga.
“Ehem. Sarah kamu kenapa kok sepertinya ingin bicara sama Bunda?” Ujarnya penuh selidik. Namun, dibalut dengan senyum yang hangat membuat pertanyaan itu tampak tidak menusuk. Sementara itu, Sarah diam seribu bahasa dan berhenti menendang kaki Niar. Dia tertunduk. Melihat situasi itu, Niar pun mencoba mencairkan kebekuan yang sedang membelenggu mereka bertiga.
“Ehm. Begini Bunda, kemarin Sarah bilang sama Niar katanya dia ingin membeli buku cerita. Dia sudah menyisihkan uang sakunya selama dua minggu dan dia rasa itu sudah cukup untuk membeli buku cerita yang dia inginkan.” Mimik muka Niar sangat meyakinkan sehingga membuat kecurigaan dalam sorot mata Bunda Rini memudar. Beliau pun tersenyum hangat.
“Oh, begitu. Kenapa nggak ngomong daritadi, Sarah? Kok malah Kak Niar yang ngomong sama Bunda?”
“Ehm. Sarah.. Sarah takut..”
“Takut apa? Takut Bunda nggak ngizinin ya?” Wanita itu berjongkok dan membelai lembut wajah Sarah yang tertunduk. Masih dalam balutan senyum yang hangat. “Bunda pasti izinin Sarah kok. Apalagi untuk membeli buku. Bunda malah senang, Sarah mau membaca. Bunda juga bangga Sarah sudah bisa belajar menabung.”
Sedikit demi sedikit Sarah mengangkat wajahnya. Ketakutan di wajahnya sedikit memudar. Dia menatap bola mata wanita itu menyiratkan jutaan kata maaf yang tak sanggup dilontarkannya.
“Asalkan Sarah jujur, pasti Bunda beri izin.” Wanita itu berdiri kembali dengan senyum yang hangat. Namun, kata-kata yang baru saja dilontarkannya benar-benar menampar Sarah dan Niar. Sontak air muka mereka sedikit berubah. Sarah tak kuasa. Dia pun menunduk kembali, hendak menangis. Menangisi sikapnya yang seharusnya tak ia lakukan. Berbohong. Sementara itu Niar terpaku dan terdiam seribu bahasa. Namun, ia berusaha segera membuat ekspresinya kembai wajar.
“Loh, kok malah diam saja? Tunggu apa lagi?”
“Eh..ehm. Iya Bunda kami pamit dulu. Assalamualaikum.” Niar dan Sarah mencium tangan Wanita itu kemudian berlalu.
Setelah
keluar dari halaman panti, mereka berjalan dalam diam. Seakan pita suara mereka
membeku. Tak ada satu kata pun yang mampu terlontar. Diam-diam dalam hati
mereka tengah terjadi pergolakan. Sarah dihadapkan pada dua pilihan berat.
Selama napasnya berhembus, belum pernah sekalipun ia berbohong. Namun, hari ini
ia melakukannya. Hatinya menjerit, mengerang, memberontak hingga ia pun ingin
mengurungkan niatnya dan kembali ke panti. Di sisi lain, ia sangat ingin
menemukan sosok itu lagi. Wanita yang ia duga sebagai mamanya yang telah pulang
dan mencari dirinya. Ia sangat merindukan dekapannya, belaian lembut penuh
kasih. Mengais puing-puing kehangatan keluarga kecilnya yang hanya tinggal
kenangan dan kini tengah ia coba untuk menyusunnya kembali.
Sementara
itu, gejolak hati Niar pun tak kalah meruncing. Di satu sisi, ia sangat merasa
bersalah kepada Bunda Rini karena telah membohonginya. Bagaimana mungkin ia baru
saja membohongi sosok wanita yang telah ia anggap sebagai Ibu kandungnya.
Bagaimana mungkin ia tega berdusta kepada wanita yang telah menjaganya,
merawatnya, melindunginya, mencurahkan kasih sayangnya dengan tulus setelah Ibu
kandungnya tiada. Namun, di sisi lain ia tak mau mengecewakan gadis kecil di
sampingnya karena dia pun tak ingin
mengingkari janjinya pada gadis itu. Gadis manis yang telah ia anggap layaknya
saudara kandungnya sendiri. Pikiran-pikiran itu pun berdebat hebat di dalam
dirinya. Sampai ia tak sanggup menahannya dan ingin meluapkan segala yang
membuat penat hatinya. Dan memohon belas kasih Tuhan supaya mengampuni dosanya.
Dustanya. Langkahnya pun terhenti, tepat ketika itu Sarah pun melakukan hal
yang sama.
Lama
mereka diam mematung di tepi jalan. Membisu. Sampai akhirnya Sarah mulai
membuka suara. “Kak.” Niar menoleh. Mereka saling bertatapan sejenak. “Apa yang
harus kita lakukan?” Niar masih membisu. “Kak.” Niar pun menenangkan pikirannya
dan mulai menjawab, “Sarah maunya bagaimana? Kita melanjutkan mencari Mama
Sarah atau pulang?” Kini Sarah yang terdiam dan membisu. Cukup lama jawaban itu
terlontar dari mulut Sarah. “Sarah nggak mau bohong sama Bunda.” Kalimat itu
meluncur dengan suara parau dan isakan yang tertahan. Tangispun pecah. “Tapi
Sarah kangen Mama.” Niar yang tak kuasa melihat gadis itu terisak. Kini
berjongkok di depan gadis itu dan mengusap lembut air matanya. “Sarah, kalau
Sarah kangen Mama Sarah kakak akan menemani Sarah untuk mencari Mama Sarah dan
mempertemukan Sarah dengan Mama Sarah sesuai janji kakak. Nanti kalau kita
sudah bertemu Mama Sarah kita pulang ke panti dan minta maaf ke Bunda Rini.
Kakak yakin Bunda pasti maklum.” Keduanya sekarang saling menatap. Menguatkan
dan meyakinkan semua akan baik-baik saja. “Jadi sekarang kita berangkat mencari
Mama Sarah?” Ujar Niar. Sarah mengangguk mantap. Mereka pun bergandengan
menyusuri jalanan. Tanpa tahu bahwa bahaya tengah mengintai mereka.
Bersambung...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar