Sabtu, 29 Maret 2014

Tak Ada yang Sempurna




            Di dunia ini memang tidak ada yang sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Dia lah yang menciptakan langit, bumi dan seisinya termasuk manusia. Ya, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dengan bentuk yang lebih sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Namun, seringkali manusia selalu merasa kurang dan mengeluh akan apa yang ada pada dirinya. Mereka seringkali tidak bersyukur akan apa yang telah diciptakan Tuhan untuknya. Hal ini terbukti dengan maraknya permak wajah maupun tubuh untuk mendapatkan wajah ataupun bentuk tubuh yang menurut mereka sempurna. Karena menurut mereka kesempurnaan adalah apa yang ada di luar mereka saja.
            Sempurna. Sebuah kata yang seakan dipuja-puja. Masalahnya, apa sih yang dimaksud dengan sempurna? Di dunia yang penuh dengan relativitas ini menurut saya kesempurnaan itu relatif. Mengapa demikian? Karena setiap orang memiliki definisi masing-masing tentang sempurna dan kemungkinan besar berbeda antara orang yang satu dengan orang lainnya. Bagi orang yang mampu memaknai kesempurnaan dengan bijak, mereka tidak akan memusingkan perbedaan ini.
            Selama napas saya berhembus, Tuhan telah mempertemukan saya dengan beberapa manusia istimewa yang diciptakan dengan segenap kekurangan serta kelebihan. Saya bisa belajar banyak tentang apa itu kesempurnaan dengan bercermin kepada mereka. Miris jika saya melihat mereka karena banyak orang yang tidak (sengaja tidak mau) memperhatikan, menerima keberadaan mereka dan mengerti mereka. Bahkan ada yang menertawakan, menjauhi, mengganggu dan mengusik ketenangan mereka. Orang-orang itu sungguh adalah orang yang tidak berpikir dan tidak bersyukur. Orang-orang itu hanya memandang secuil kekurangan orang lain dan membuatnya menjadi sebuah hal yang sangat hina di mata mereka. Mereka tidak berpikir betapa kerasnya, sulitnya hidup mereka jika mereka berada di posisi orang yang mereka pandang sebelah mata tersebut. Kalau pun mereka ada di posisi orang-orang istimewa tersebut, saya yakin mereka tidak akan sekuat dan setegar orang-orang istimewa tersebut.
            Saya akan menceritakan kembali tentang orang-orang istimewa yang pernah saya temui semasa delapan belas tahun terakhir ini. Yang pertama, saya di pertemukan dengan seorang gadis kecil yang menderita kelainan mental namun, beberapa orang ada yang menyebutnya autis. Entah apa pun itu saya tidak terlalu ambil pusing. Intinya anak itu tidak bisa diam, sulit diatur dan sibuk dengan dunianya sendiri. Kesan pertama saya bertemu dengannya adalah dia adalah gadis yang nakal dan tidak tahu aturan. Maklum saja, pertemuan pertama kami diwarnai dengan insiden dia meludahi saya dan teman-teman saya ketika kami tengah bersepeda hendak menuju sungai di dekat rumahnya. Ketika itu usia saya masih tujuh tahun dan dia berusia empat tahun. Semenjak saat itu, saya sempat takut jika bertemu dengan dia karena saya takut dia meludahi saya lagi. Namun, lama kelamaan saya mulai bisa memaknai mengapa dia bersikap seperti itu. Dia hanya ingin diperhatikan. Dia menginginkan sebuah kesempatan yang sama dengan yang saya dan teman-teman saya dapatkan. Dia hanya ingin ada orang yang mampu mengerti dia dan menganggapnya teman. Walaupun di luarnya sesekali dia terkesan sibuk dengan dunianya sendiri dan acuh pada apa yang ada di sekitarnya. Sebenarnya di dalam hatinya dia merasa kesepian.
            Saya mulai menaruh perhatian saya kepadanya adalah ketika dia dan saya sudah sama-sama mengenyam pendidikan sekolah dasar di sekolah yang sama tentunya di kelas yang berbeda. Ya, di sekitar daerah tempat tinggal saya belum ada sekolah luar biasa. Dan belum banyak orang yang mengerti tentang apa yang dideritanya. Dia sering dikucilkan karena orang-orang di sekitarnya menganggap dia nakal, aneh, semaunya sendiri tanpa mau mengerti dia yang sesungguhnya. Namun, tetap ada beberapa anak seusia dia yang mau mengerti dia dan menjadikan dia temannya. Hati saya turut tersayat saat hari penerimaan rapor dan pengumuman kenaikan kelas. Ketika itu dia dinyatakan tidak naik kelas dan dengan polosnya dia berkata, “Loh, dia kok kelasnya ganti di sana, aku kok nggak? Aku mau satu kelas sama teman-teman.” Dia yang selama ini secara tidak langsung mencari sosok orang-orang yang mau menerima dia, setelah dia mendapatkannya dia malah harus belajar untuk merelakan.
            Beberapa Tahun berselang. Tidak terasa saya sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ketika itu kegiatan saya setiap sore adalah menjadi guru bantu sementara di sebuah taman baca Al-quran atau biasa disingkat menjadi TPA. Alhamdulillah, saya sudah menghatamkan Al-quran ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Berhubung kemampuan membaca dan menulis Al-quran saya dirasa cukup baik dan rumah saya dekat dengan tempat tersebut dan kebetulan tenaga pengajar di TPA ketika itu kurang, akhirnya saya diminta untuk membantu mengajar baca tulis Al-quran di kelas paling dasar. Namanya juga kelas paling dasar, pastinya di sana saya akan menjumpai banyak anak-anak berusia empat sampai enam tahun yang baru mulai belajar membaca dan menulis Al-quran. Betapa terkejutnya saya ketika itu, karena di kelas ini ada juga menjumpai gadis itu. Usianya memang lebih tua daripada murid-murid lainnya di kelas.
            Satu persatu murid dipanggil untuk membaca Iqro’ di hadapan guru pengajar yang ketika itu adalah saya dan rekan saya hingga hanya tersisa satu murid, ya gadis itu. Saya sering mendengar keluhan dari guru pengajar lainnya yang enggan mengajar gadis itu karena sikapnya yang selalu seenaknya sendiri. Terkadang mereka membentak namun, tidak di hiraukan olehnya. Akhirnya, saya memanggilnya dan menyuruhnya membaca Iqro’ di depan saya. Benar saja, di hadapannya terbuka lebar halaman buku Iqro’ tingkat satu. Mulutnya terus melafalkan huruf demi huruf hijaiyah satu persatu sekenanya namun, matanya menatap ke langit-langit bukan buku di hadapannya. Beberapa kali saya mengingatkannya untuk mengarahkan pandangannya ke buku bukan ke langit-langit namun, dia hanya menurut sebentar dan memandang langit-langit lagi. Saya berusaha untuk memperlakukannya dengan lembut. Saya tidak ingin membentaknya, karena saya sendiri pun tidak akan suka jika ada orang lain yang membentak saya.
            Pelajaran selanjutnya adalah menulis huruf hijaiyah. Setiap murid diberikan sebuah buku yang masing-masing sudah saya beri contoh huruf yang harus mereka tulis. Di tengah keheningan, tiba-tiba timbul kegaduhan di bangku belakang. Saya melihat gadis itu tengah berebut sebatang pensil dengan anak di sebelahnya. Dan saya melihat mereka mulai menangis. Saya pun menghampiri mereka, memastikan apa yang terjadi dan menanyakan duduk perkaranya. Ternyata permasalahannya adalah pensil milik gadis itu patah dan dia meminjam kepada anak di sebelahnya namun, tidak dipinjami karena anak tersebut hanya membawa satu pensil saja. Akhirnya saya mencari pensil dan rautan di laci penyimpanan depan, saya meraut pensil untuk gadis itu dan memberikan padanya. Dia pun berhenti menangis dan berhenti merebut pensil temannya. Tanpa mengucapkan terima kasih. Disinilah saya belajar banyak hal. Dari gadis itu saya mulai belajar arti kesabaran dan bersyukur. Tidak ada orang yang ingin dilahirkan dengan keadaan seperti itu, pastilah sangat berat. Dari dia juga lah saya belajar arti sebuah ketulusan dan keikhlasan. Disaat kita dengan tulus membantu sesama jangan pernah marah, jengkel maupun sakit hati jiga ketulusan itu tidak berbalas walaupun balasan yang kita harapkan hanyalah sekadar ucapan terima kasih sekali pun.
            Yang kedua, saya dipertemukan dengan seorang anak laki-laki seumuran saya. Sama seperti gadis tadi, fisik luarnya terlihat sempurna namun, siapa yang menyangka bahwa dia adalah seorang tuna wicara dan sepertinya sedikit keterbelakangan mental juga. Kegiatannya setiap hari adalah berjalan dari rumahnya di ujung timur desa menuju ujung utara desa. Bukan jarak yang pendek mengingat desa tempat tinggal saya yang cukup luas mencakup sebelas dusun. Ketika sore tiba, dia akan pulang. Di jalan menuju rumahnya, ada sebuah lapangan bola voli yang setiap sore digunakan untuk latihan voli oleh warga dusun tempat saya tinggal termasuk saya, Ayah, Ibu dan Kakak saya. Dia selalu menyempatkan diri untuk singgah dan menyaksikan orang-orang dihadapannya bertanding voli. Air mukanya tampak bahagia menyaksikan orang-orang bertanding voli. Dia juga senang membantu orang-orang mengambil bola yang terlempar jauh keluar lapangan. Tidak jarang orang-orang memberinya uang jajan karena telah membantu mengambil bola, termasuk orangtua saya.
            Hati saya tersentuh, ketika hari raya Idul Fitri dia berjalan dan sowan ke rumah saya dan menyalami semua anggota keluarga saya dengan maksud meminta maaf. Saya sekelurga tidak menyangka dia akan datang. Dia pun tidak mau duduk sebentar untuk mencicipi kue kering yang berjajar rapi di meja. Akhirnya Ibu saya membungkuskannya sekantung plastik aneka kue kering. Dia terlihat sangat bahagia. Kemudian melanjutkan perjalanannya dengan senyum bahagia.
            Hari ini, ketika hujan tengah deras mengguyur, saya duduk dengan santai di ruang kelurga menikmati hujan. Namun, tiba-tiba saya mendengar jeritan keras terdengar dari samping rumah saya. Jeritan yang kata-katanya tidak begitu jelas namun, sayup-sayup terdengar seperti jeritan meminta tolong. Ayah saya berlari keluar, disusul kakak saya dan kemudian saya pun turut serta. Saya melihat sesosok anak laki-laki yang berlari kemudian seorang anak laki-laki lain mengejar di belakangnya dengan tawa kejam. Sepertinya anak laki-laki yang dikejar tersebut adalah anak laki-laki tuna wicara tersebut. Ya, karena dia memang sering diganggu oleh anak-anak lainnya karena mereka menganggap dia berbeda, tidak sempurna. Memang miris.
            Dari dia saya belajar tentang arti berbagi dan menghargai orang lain. Tidak memandang orang lain dari kekurangannya. Setiap orang punya kesempatan yang sama.
            Yang ketiga adalah seorang pemuda yang menderita keterbelakangan mental, tuna wicara pula. Keadaannya lebih parah dibandingkan anak laki-laki tadi. Usianya sekitar 20 tahunan lebih namun, tingkah lakunya seperti anak berusia tiga tahun. Dia adalah teman anak laki-laki tadi. Mereka berasal dari dusun yang sama dan hampir setiap hari mereka berjalan bersama dari ujung timur desa sampai ujung utara desa dan singgah di lapangan voli. Yang berkesan adalah ketika bulan puasa tahun lalu. Dia tengah berjalan seorang diri di jalanan yang sepi sampai tiba-tiba segerombolan anak-anak berjalan mengikutinya dan melemparinya dengan kerikil. Dia menjerit ketakutan dan berlari namun, gerombolan anak-anak itu masih saja mengejarnya dan melemparinya sampai tiba di dekat rumah saya. Dia menjerit, menangis ketakutan dan bersembunyi di balik sumur di belakang rumah saya. Kakak saya langsung keluar rumah dan memarahi gerombolan anak nakal itu. Kemudian segerombolan anak-anak itu lari tunggang langgang. Kakak saya menghampiri pemuda tersebut di balik sumur dan mencoba menenangkannya. Kakak saya sudah terbiasa menghadapi orang seperti pemuda itu karena semasa kuliah Kakak saya pernah membantu mengajar di sekolah luar biasa. Cukup lama Kakak saya berusaha menenangkan pemuda itu sampai akhirnya Kakak saya berhasil meyakinkannya bahwa keadaan akan baik-baik saja. Kemudian pemuda itu melanjutkan perjalanannya.
            Dari sini saya belajar untuk menolong semua orang yang membutuhkan pertolongan tanpa membeda-bedakan siapa orang yang butuh pertolongan. Tidak peduli orang itu menderita keterbelakangan mental sekalipun. Mereka punya hak yang sama dengan manusia normal lainnya. Saya bersyukur karena saya berada di tengah-tengah kelurga yang selalu mengajarkan saya untuk menghargai dan menghormati orang lain. Menerima dan tulus membantu orang lain tanpa memandang kekurangan mereka. Dan saya bersyukur Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang tersebut. Saya menyadari bahwa tidak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan muncul ketika ada kekurangan dan kelebihan yang melebur dan saling melengkapi. Kesempurnaan yang hakiki tetaplah milik Allah, Tuhan semesta alam. Jadi untuk apa kita terus membuang waktu lagi untuk memburu hal yang menurut kita sempurna? Hal yang kita anggap sempurna untuk kita, tidak selalu sempurna juga menurut Tuhan. Tetapi hal yang diciptakan Tuhan untuk kita pasti sempurna untuk kita, walaupun mungkin kita tidak menganggapnya begitu. Tuhan tahu mana yang terbaik untuk kita, jadi mulailah mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan untuk kita karena itu lah yang terbaik.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar