Di
dunia ini memang tidak ada yang sempurna karena kesempurnaan hanyalah milik
Tuhan Yang Maha Esa. Dia lah yang menciptakan langit, bumi dan seisinya
termasuk manusia. Ya, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dengan bentuk yang
lebih sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Namun, seringkali manusia selalu
merasa kurang dan mengeluh akan apa yang ada pada dirinya. Mereka seringkali
tidak bersyukur akan apa yang telah diciptakan Tuhan untuknya. Hal ini terbukti
dengan maraknya permak wajah maupun tubuh untuk mendapatkan wajah ataupun
bentuk tubuh yang menurut mereka sempurna. Karena menurut mereka kesempurnaan
adalah apa yang ada di luar mereka saja.
Sempurna.
Sebuah kata yang seakan dipuja-puja. Masalahnya, apa sih yang dimaksud dengan
sempurna? Di dunia yang penuh dengan relativitas ini menurut saya kesempurnaan
itu relatif. Mengapa demikian? Karena setiap orang memiliki definisi
masing-masing tentang sempurna dan kemungkinan besar berbeda antara orang yang
satu dengan orang lainnya. Bagi orang yang mampu memaknai kesempurnaan dengan
bijak, mereka tidak akan memusingkan perbedaan ini.
Selama
napas saya berhembus, Tuhan telah mempertemukan saya dengan beberapa manusia
istimewa yang diciptakan dengan segenap kekurangan serta kelebihan. Saya bisa
belajar banyak tentang apa itu kesempurnaan dengan bercermin kepada mereka. Miris
jika saya melihat mereka karena banyak orang yang tidak (sengaja tidak mau)
memperhatikan, menerima keberadaan mereka dan mengerti mereka. Bahkan ada yang
menertawakan, menjauhi, mengganggu dan mengusik ketenangan mereka. Orang-orang
itu sungguh adalah orang yang tidak berpikir dan tidak bersyukur. Orang-orang
itu hanya memandang secuil kekurangan orang lain dan membuatnya menjadi sebuah
hal yang sangat hina di mata mereka. Mereka tidak berpikir betapa kerasnya,
sulitnya hidup mereka jika mereka berada di posisi orang yang mereka pandang
sebelah mata tersebut. Kalau pun mereka ada di posisi orang-orang istimewa
tersebut, saya yakin mereka tidak akan sekuat dan setegar orang-orang istimewa
tersebut.
Saya
akan menceritakan kembali tentang orang-orang istimewa yang pernah saya temui
semasa delapan belas tahun terakhir ini. Yang pertama, saya di pertemukan
dengan seorang gadis kecil yang menderita kelainan mental namun, beberapa orang
ada yang menyebutnya autis. Entah apa pun itu saya tidak terlalu ambil pusing.
Intinya anak itu tidak bisa diam, sulit diatur dan sibuk dengan dunianya
sendiri. Kesan pertama saya bertemu dengannya adalah dia adalah gadis yang nakal
dan tidak tahu aturan. Maklum saja, pertemuan pertama kami diwarnai dengan
insiden dia meludahi saya dan teman-teman saya ketika kami tengah bersepeda
hendak menuju sungai di dekat rumahnya. Ketika itu usia saya masih tujuh tahun
dan dia berusia empat tahun. Semenjak saat itu, saya sempat takut jika bertemu
dengan dia karena saya takut dia meludahi saya lagi. Namun, lama kelamaan saya
mulai bisa memaknai mengapa dia bersikap seperti itu. Dia hanya ingin
diperhatikan. Dia menginginkan sebuah kesempatan yang sama dengan yang saya dan
teman-teman saya dapatkan. Dia hanya ingin ada orang yang mampu mengerti dia
dan menganggapnya teman. Walaupun di luarnya sesekali dia terkesan sibuk dengan
dunianya sendiri dan acuh pada apa yang ada di sekitarnya. Sebenarnya di dalam
hatinya dia merasa kesepian.
Saya
mulai menaruh perhatian saya kepadanya adalah ketika dia dan saya sudah
sama-sama mengenyam pendidikan sekolah dasar di sekolah yang sama tentunya di
kelas yang berbeda. Ya, di sekitar daerah tempat tinggal saya belum ada sekolah
luar biasa. Dan belum banyak orang yang mengerti tentang apa yang dideritanya. Dia
sering dikucilkan karena orang-orang di sekitarnya menganggap dia nakal, aneh,
semaunya sendiri tanpa mau mengerti dia yang sesungguhnya. Namun, tetap ada
beberapa anak seusia dia yang mau mengerti dia dan menjadikan dia temannya.
Hati saya turut tersayat saat hari penerimaan rapor dan pengumuman kenaikan
kelas. Ketika itu dia dinyatakan tidak naik kelas dan dengan polosnya dia
berkata, “Loh, dia kok kelasnya ganti di sana, aku kok nggak? Aku mau satu
kelas sama teman-teman.” Dia yang selama ini secara tidak langsung mencari
sosok orang-orang yang mau menerima dia, setelah dia mendapatkannya dia malah
harus belajar untuk merelakan.
Beberapa
Tahun berselang. Tidak terasa saya sudah duduk di bangku sekolah menengah
pertama. Ketika itu kegiatan saya setiap sore adalah menjadi guru bantu
sementara di sebuah taman baca Al-quran atau biasa disingkat menjadi TPA.
Alhamdulillah, saya sudah menghatamkan Al-quran ketika saya masih duduk di
bangku sekolah dasar. Berhubung kemampuan membaca dan menulis Al-quran saya
dirasa cukup baik dan rumah saya dekat dengan tempat tersebut dan kebetulan
tenaga pengajar di TPA ketika itu kurang, akhirnya saya diminta untuk membantu mengajar
baca tulis Al-quran di kelas paling dasar. Namanya juga kelas paling dasar,
pastinya di sana saya akan menjumpai banyak anak-anak berusia empat sampai enam
tahun yang baru mulai belajar membaca dan menulis Al-quran. Betapa terkejutnya
saya ketika itu, karena di kelas ini ada juga menjumpai gadis itu. Usianya
memang lebih tua daripada murid-murid lainnya di kelas.
Satu
persatu murid dipanggil untuk membaca Iqro’ di hadapan guru pengajar yang
ketika itu adalah saya dan rekan saya hingga hanya tersisa satu murid, ya gadis
itu. Saya sering mendengar keluhan dari guru pengajar lainnya yang enggan
mengajar gadis itu karena sikapnya yang selalu seenaknya sendiri. Terkadang
mereka membentak namun, tidak di hiraukan olehnya. Akhirnya, saya memanggilnya
dan menyuruhnya membaca Iqro’ di depan saya. Benar saja, di hadapannya terbuka
lebar halaman buku Iqro’ tingkat satu. Mulutnya terus melafalkan huruf demi
huruf hijaiyah satu persatu sekenanya namun, matanya menatap ke langit-langit
bukan buku di hadapannya. Beberapa kali saya mengingatkannya untuk mengarahkan
pandangannya ke buku bukan ke langit-langit namun, dia hanya menurut sebentar
dan memandang langit-langit lagi. Saya berusaha untuk memperlakukannya dengan
lembut. Saya tidak ingin membentaknya, karena saya sendiri pun tidak akan suka
jika ada orang lain yang membentak saya.
Pelajaran
selanjutnya adalah menulis huruf hijaiyah. Setiap murid diberikan sebuah buku
yang masing-masing sudah saya beri contoh huruf yang harus mereka tulis. Di
tengah keheningan, tiba-tiba timbul kegaduhan di bangku belakang. Saya melihat
gadis itu tengah berebut sebatang pensil dengan anak di sebelahnya. Dan saya
melihat mereka mulai menangis. Saya pun menghampiri mereka, memastikan apa yang
terjadi dan menanyakan duduk perkaranya. Ternyata permasalahannya adalah pensil
milik gadis itu patah dan dia meminjam kepada anak di sebelahnya namun, tidak
dipinjami karena anak tersebut hanya membawa satu pensil saja. Akhirnya saya
mencari pensil dan rautan di laci penyimpanan depan, saya meraut pensil untuk
gadis itu dan memberikan padanya. Dia pun berhenti menangis dan berhenti
merebut pensil temannya. Tanpa mengucapkan terima kasih. Disinilah saya belajar
banyak hal. Dari gadis itu saya mulai belajar arti kesabaran dan bersyukur.
Tidak ada orang yang ingin dilahirkan dengan keadaan seperti itu, pastilah
sangat berat. Dari dia juga lah saya belajar arti sebuah ketulusan dan
keikhlasan. Disaat kita dengan tulus membantu sesama jangan pernah marah,
jengkel maupun sakit hati jiga ketulusan itu tidak berbalas walaupun balasan
yang kita harapkan hanyalah sekadar ucapan terima kasih sekali pun.
Yang
kedua, saya dipertemukan dengan seorang anak laki-laki seumuran saya. Sama
seperti gadis tadi, fisik luarnya terlihat sempurna namun, siapa yang menyangka
bahwa dia adalah seorang tuna wicara dan sepertinya sedikit keterbelakangan
mental juga. Kegiatannya setiap hari adalah berjalan dari rumahnya di ujung
timur desa menuju ujung utara desa. Bukan jarak yang pendek mengingat desa
tempat tinggal saya yang cukup luas mencakup sebelas dusun. Ketika sore tiba,
dia akan pulang. Di jalan menuju rumahnya, ada sebuah lapangan bola voli yang
setiap sore digunakan untuk latihan voli oleh warga dusun tempat saya tinggal
termasuk saya, Ayah, Ibu dan Kakak saya. Dia selalu menyempatkan diri untuk
singgah dan menyaksikan orang-orang dihadapannya bertanding voli. Air mukanya
tampak bahagia menyaksikan orang-orang bertanding voli. Dia juga senang
membantu orang-orang mengambil bola yang terlempar jauh keluar lapangan. Tidak
jarang orang-orang memberinya uang jajan karena telah membantu mengambil bola,
termasuk orangtua saya.
Hati
saya tersentuh, ketika hari raya Idul Fitri dia berjalan dan sowan ke rumah
saya dan menyalami semua anggota keluarga saya dengan maksud meminta maaf. Saya
sekelurga tidak menyangka dia akan datang. Dia pun tidak mau duduk sebentar
untuk mencicipi kue kering yang berjajar rapi di meja. Akhirnya Ibu saya
membungkuskannya sekantung plastik aneka kue kering. Dia terlihat sangat
bahagia. Kemudian melanjutkan perjalanannya dengan senyum bahagia.
Hari
ini, ketika hujan tengah deras mengguyur, saya duduk dengan santai di ruang
kelurga menikmati hujan. Namun, tiba-tiba saya mendengar jeritan keras
terdengar dari samping rumah saya. Jeritan yang kata-katanya tidak begitu jelas
namun, sayup-sayup terdengar seperti jeritan meminta tolong. Ayah saya berlari
keluar, disusul kakak saya dan kemudian saya pun turut serta. Saya melihat
sesosok anak laki-laki yang berlari kemudian seorang anak laki-laki lain
mengejar di belakangnya dengan tawa kejam. Sepertinya anak laki-laki yang
dikejar tersebut adalah anak laki-laki tuna wicara tersebut. Ya, karena dia
memang sering diganggu oleh anak-anak lainnya karena mereka menganggap dia
berbeda, tidak sempurna. Memang miris.
Dari
dia saya belajar tentang arti berbagi dan menghargai orang lain. Tidak
memandang orang lain dari kekurangannya. Setiap orang punya kesempatan yang
sama.
Yang
ketiga adalah seorang pemuda yang menderita keterbelakangan mental, tuna wicara
pula. Keadaannya lebih parah dibandingkan anak laki-laki tadi. Usianya sekitar
20 tahunan lebih namun, tingkah lakunya seperti anak berusia tiga tahun. Dia
adalah teman anak laki-laki tadi. Mereka berasal dari dusun yang sama dan hampir
setiap hari mereka berjalan bersama dari ujung timur desa sampai ujung utara
desa dan singgah di lapangan voli. Yang berkesan adalah ketika bulan puasa
tahun lalu. Dia tengah berjalan seorang diri di jalanan yang sepi sampai
tiba-tiba segerombolan anak-anak berjalan mengikutinya dan melemparinya dengan kerikil.
Dia menjerit ketakutan dan berlari namun, gerombolan anak-anak itu masih saja
mengejarnya dan melemparinya sampai tiba di dekat rumah saya. Dia menjerit,
menangis ketakutan dan bersembunyi di balik sumur di belakang rumah saya. Kakak
saya langsung keluar rumah dan memarahi gerombolan anak nakal itu. Kemudian
segerombolan anak-anak itu lari tunggang langgang. Kakak saya menghampiri
pemuda tersebut di balik sumur dan mencoba menenangkannya. Kakak saya sudah
terbiasa menghadapi orang seperti pemuda itu karena semasa kuliah Kakak saya
pernah membantu mengajar di sekolah luar biasa. Cukup lama Kakak saya berusaha
menenangkan pemuda itu sampai akhirnya Kakak saya berhasil meyakinkannya bahwa
keadaan akan baik-baik saja. Kemudian pemuda itu melanjutkan perjalanannya.
Dari
sini saya belajar untuk menolong semua orang yang membutuhkan pertolongan tanpa
membeda-bedakan siapa orang yang butuh pertolongan. Tidak peduli orang itu
menderita keterbelakangan mental sekalipun. Mereka punya hak yang sama dengan
manusia normal lainnya. Saya bersyukur karena saya berada di tengah-tengah
kelurga yang selalu mengajarkan saya untuk menghargai dan menghormati orang
lain. Menerima dan tulus membantu orang lain tanpa memandang kekurangan mereka.
Dan saya bersyukur Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang tersebut. Saya
menyadari bahwa tidak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan muncul ketika ada
kekurangan dan kelebihan yang melebur dan saling melengkapi. Kesempurnaan yang
hakiki tetaplah milik Allah, Tuhan semesta alam. Jadi untuk apa kita terus
membuang waktu lagi untuk memburu hal yang menurut kita sempurna? Hal yang kita
anggap sempurna untuk kita, tidak selalu sempurna juga menurut Tuhan. Tetapi
hal yang diciptakan Tuhan untuk kita pasti sempurna untuk kita, walaupun
mungkin kita tidak menganggapnya begitu. Tuhan tahu mana yang terbaik untuk
kita, jadi mulailah mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan untuk kita karena
itu lah yang terbaik.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar