sumber gambar : https://lieshadie.wordpress.com/2013/07/10/weekly-photo-challenge-nostalgic/
Kriiiing!!!!
Semua murid bersorak dengan gembira. Bel telah berbunyi, tanda jam istirahat dimulai. Mereka tidak peduli lagi dengan guru yang belum juga keluar dari kelas. Mereka segera bergegas untuk keluar. Sementara sang guru pun turut keluar karena kelas sudah tidak bisa dikendalikan. Tinggalah beberapa orang murid yang masih di kelas. Salah satunya adalah Udin. “Eh, kamu bawa bekal apa, Na?” salah seorang murid berceletuk dengan nada sedikit mengejek sembari melirik ke arah Udin. “Yang jelas bukan singkong.” murid yang lain menjawab dengan nada tak kalah mengejek. Mereka pun tergelak. “Sudah-sudah, kita makan bekal di kantin saja daripada di sini. Nanti bekal kita kalah sama singkong si Udin. Hahaha.” Mereka berlalu dengan tawa mengejek yang sama. Udin yang sudah terbiasa dengan perlakuan itu diam saja tidak menghiraukan.
Semua murid bersorak dengan gembira. Bel telah berbunyi, tanda jam istirahat dimulai. Mereka tidak peduli lagi dengan guru yang belum juga keluar dari kelas. Mereka segera bergegas untuk keluar. Sementara sang guru pun turut keluar karena kelas sudah tidak bisa dikendalikan. Tinggalah beberapa orang murid yang masih di kelas. Salah satunya adalah Udin. “Eh, kamu bawa bekal apa, Na?” salah seorang murid berceletuk dengan nada sedikit mengejek sembari melirik ke arah Udin. “Yang jelas bukan singkong.” murid yang lain menjawab dengan nada tak kalah mengejek. Mereka pun tergelak. “Sudah-sudah, kita makan bekal di kantin saja daripada di sini. Nanti bekal kita kalah sama singkong si Udin. Hahaha.” Mereka berlalu dengan tawa mengejek yang sama. Udin yang sudah terbiasa dengan perlakuan itu diam saja tidak menghiraukan.
Setelah dua orang murid itu keluar,
tersisa Udin dan satu murid perempuan, Sekar namanya. Sekar berbeda dengan
murid-murid lain yang suka mengejek si Udin. Sekar priatin dengan perlakuan
murid-murid lain tehadap Udin. Sekar menghampiri Udin, “Din, sudah makan? Makan
bareng yuk.” Udin menoleh melihat sesosok gadis bernama Sekar. Gadis manis
bertubuh mungil dengan kulit kuning langsat yang mulus. Matanya lebar dan berbinar.
Rambutnya tergerai sebahu. Dan yang tak pernah Udin lupakan dari gadis ini
adalah parfum beraroma bunga mawar yang selalu tercium ketika Sekar berlalu. “Din?”
Sekar menggerakkan telapak tangannya di depan muka Udin. “Eh, anu, ehm.” Udin
tersadar dan salah tingkah. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kamu
ini diajak makan siang bareng kok malah melamun.” Sekar tersenyum melihat
tingkah konyol Udin. Senyum Sekar, membuat Udin merasa melayang. Bibir tipis
berwarna merah muda, lesung pipit samar yang muncul ketika dia tersenyum
benar-benar membuat Udin terpesona. Tapi kali ini Udin segera tersadar dan
menjawab dengan lembut, “Eh, tidak usah Sekar, kamu makan siang di kantin saja
bersama teman-temanmu. Biarkan aku di sini menikmati bekalku sendiri.” Udin
tersenyum ramah ke arah Sekar. Sekar tidak peduli dan duduk begitu saja di
samping Udin. “Aku mau makan siang disini, sama kamu titik.” Udin menghela
napas panjang dan mengeluarkan sesuatu dari dalam laci meja. Sesuatu yang
dibungkus dengan daun pisang. Singkong. Ya, Udin memang selalu membawa singkong
sebagai bekal makannya. Beras terasa sangat mahal dan berharga bagi keluarga
Udin. Udin bukanlah anak dari keluarga berada. Sehari bisa makan saja sudah
sangat Udin syukuri. Singkong ini pun adalah sarapan Udin, tapi dia memilih
memakannya kala siang di sekolah. Udin menabung rasa laparnya. Tidak banyak
memang, hanya dua potong dan memang hanya itu yang disiapkan Ibunya pagi tadi.
Sekar mengeluarkan sekotak nasi
dalam wadah berwarna merah jambu. Ketika ia membuka kotak itu, aroma rendang
menyeruak menggoda siapapun untuk mencicipinya tidak terkecuali Udin. Namun
Udin tahu diri, dia menatap penuh syukur atas dua potong singkong dihadapannya
kemudian dilahapnya penuh syukur. “Din, kamu mau mencoba ini? Ini masakan
spesial Ibuku loh.” Sekar menyodorkan kotak itu dihadapan Udin. Udin
menggeleng, “Tidak, itu makan siang kamu. Ibumu pasti sudah menyiapkan itu
spesial untuk kamu. Begitu juga singkong ini, sudah disiapkan Ibuku dengan
penuh cinta untukku.” Sekar tersenyum dan mulai melahap bekalnya.
Setelah selesai makan, mereka tetap
duduk berdampingan. “Din, apa kamu tidak bosan makan singkong terus?” Sekar
membuka pembicaraan. Udin menggeleng, “Tidak, itu rezeki dari Allah untukku dan
keluargaku Sekar. Toh singkong juga tak kalah gizinya dengan nasi. Beras
terlalu mahal untuk keluargaku.” Sekar menatap wajah polos Udin dengan seksama.
Menilisik sorot mata Udin yang diam-diam selalu diperhatikannya. Sorot mata
yang teduh, penuh semangat walaupun dari sorot mata itu juga tersirat kesedihan
yang mendalam. “Din.” Udin menoleh, “Iya, Sekar ada apa?”
“Pernahkah kamu berpikir tentang singkong yang kamu makan?”
Udin menatap Sekar dengan heran, sesekali dia melirik sorot mata Sekar. Mata itu, yang selalu menyiratkan semangat. Sorot mata yang kritis dalam menilai sesuatu. Namun dari sanalah, timbul ide-ide cemerlang yang terkadang sulit diterima nalar. “Berpikir apa, Sekar? Aku hanya berpikir sehari bisa makan dengan dua potong singkong adalah anugrah luar biasa dari Allah.” Udin terkekeh.
“Pernahkah kamu berpikir tentang singkong yang kamu makan?”
Udin menatap Sekar dengan heran, sesekali dia melirik sorot mata Sekar. Mata itu, yang selalu menyiratkan semangat. Sorot mata yang kritis dalam menilai sesuatu. Namun dari sanalah, timbul ide-ide cemerlang yang terkadang sulit diterima nalar. “Berpikir apa, Sekar? Aku hanya berpikir sehari bisa makan dengan dua potong singkong adalah anugrah luar biasa dari Allah.” Udin terkekeh.
“Tidak.
Bukan itu.” Sekar terdiam sejenak. “Apa kamu tidak berpikir dari singkongmu itu
kamu bisa menghasilkan uang?”
“Hah?”
“Iya, Udin. Apa kamu tidak berpikir mengolah singkong-singkong itu menjadi makanan yang lebih enak mungkin, yang bisa menarik orang untuk membelinya.”
“Apa Sekar? Singkong ya cuma bisa digoreng, direbus, dibuat jemblem, ya itu-itu saja. Banyak yang sudah tidak tertarik dengan itu. Mereka bilang itu makanan ndeso.”
“Nah.” Sekar menjentikkan jemarinya membuat Udin sedikit kaget. Ekspresi yang sama yang selalu dilihat Udin ketika ide-ide itu mulai membanjiri kepala Sekar. “Kamu harus membuat inovasi, Din.” Sekar diam sejenak. “Besok, aku tunggu di rumahku jam 3 sore. Jangan telat.” Sekar beranjak meninggalkan Udin dengan tatapan kebingungan. Sekar hanya mengedipkan matanya kemudian berlalu. Aroma bunga mawar menguap di udara.
“Hah?”
“Iya, Udin. Apa kamu tidak berpikir mengolah singkong-singkong itu menjadi makanan yang lebih enak mungkin, yang bisa menarik orang untuk membelinya.”
“Apa Sekar? Singkong ya cuma bisa digoreng, direbus, dibuat jemblem, ya itu-itu saja. Banyak yang sudah tidak tertarik dengan itu. Mereka bilang itu makanan ndeso.”
“Nah.” Sekar menjentikkan jemarinya membuat Udin sedikit kaget. Ekspresi yang sama yang selalu dilihat Udin ketika ide-ide itu mulai membanjiri kepala Sekar. “Kamu harus membuat inovasi, Din.” Sekar diam sejenak. “Besok, aku tunggu di rumahku jam 3 sore. Jangan telat.” Sekar beranjak meninggalkan Udin dengan tatapan kebingungan. Sekar hanya mengedipkan matanya kemudian berlalu. Aroma bunga mawar menguap di udara.
Bersambung....
Tidak ada komentar :
Posting Komentar