Rabu, 03 Juni 2015

Udin Kingkong Part III



Keesokan harinya, Udin membawa singkong goreng menteganya ke sekolah dengan senyum merekah. Masih dalam bungkus yang sama, daun pisang. Entah kenapa, daun pisang turut menyumbangkan aroma nikmat dan menggunggah selera ketika digunakan untuk membungkus makanan. Hari ini bukan cuma dua iris singkong tapi dua belas. Ya, hanya duabelas. Sebenarnya Udin ingin sekali membawa lebih banyak, namun Ibunya melarang. Ibunya khawatir jika singkong goreng mentega itu tidak diminati teman-teman Udin dan tidak laku.
            Jam istirahat dimulai. Udin mengeluarkan bungkusannya lebih cepat sebelum teman-temannya keluar. Seketika itu aroma singkong goreng mentega yang gurih menguar di udara. Sedap. Beberapa siswa menoleh ke arah Udin, namun tidak sedikit juga yang acuh. Sementara itu Sekar dengan penuh semangat segera menghampiri Udin, “Hey, teman-teman Udin sekarang berjualan singkong goreng loh. Singkong gorengnya dijamin enaaak banget.” Sekar begitu saja mengumumkan kepada teman-teman sekelasnya bahwa Udin sekarang berjualan singkong goreng sedangkan Udin hanya diam.
            Dia masih merasa canggung dan bingung bagaimana caranya berjualan. Dia sedikit lega ketika Sekar berbuat seperti ini. Setidaknya apa yang dilakukan Sekar cukup membantu Udin mempromosikan dagangannya.
“Din, aku beli satu dong.”

“Eh, tidak usah Sekar. Gratis untuk kamu kan kamu sudah membantuku promosi.”
Sekar menggeleng kuat, “Teman ya teman, tapi bisnis tetaplah bisnis.” Sekar mengedipkan matanya.
            Dia mencomot dua iris singkong goreng di depan Udin, “Berapa, Din harganya?” Udin menggeleng, “tidak usah Sekar.” Sekar mendengus, kemudian ia mengambil uang di saku seragamnya. Selembar dua ribuan. “Ini ya, Din. Semoga laku keras.” Sekar meletakkan uang tersebut di samping tangan Udin.
            Udin hanya melihat apa yang dilakukan Sekar. “Ini terlalu banyak, Sekar. Harganya hanya lima ratusan satu potong.”
“Sudah simpan saja kembaliannya. Buat penglaris, Din.” Sekar meninggalkan Udin.
“Terimakasih, Sekar.” Udin mengucapkannya penuh syukur.
“Iya, sama-sama.” jawab Sekar sedikit berteriak karena kini jaraknya dengan Udin semakin jauh.
            Udin terdiam melihat Sekar berlalu begitu juga teman-teman sekelasnya yang acuh dengan dirinya dan apa yang dilakukannya sekarang. Tidak sedikit juga yang kembali mengolok-oloknya. Udin hanya tersenyum dan berpikir bahwa ini semua adalah cobaan, ujian untuk dirinya.
            Sampai jam pulang sekolah, singkong Udin masih tersisa delapam buah. Dua buah dibeli Sekar dan dua buah dia makan untuk makan siang. Ibunya benar, dia tidak bisa langsung membawa banyak singkong goreng sekaligus.
***
            Sepulang sekolah, Udin segera bersiap menuju kebun Abah Sekar. Udin harus membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar kebun. Sambil menyelam minum air, mungkin itu lah peribahasa yang tepat. Sembari membersihkan kebun, Udin juga ngarit untuk pakan kambing tetangganya.
            Kebun Abah Sekar cukup luas. Udin tidak membersihkan semua rumput di kebun sekaligus, tapi bertahap. Selain karena ia tidak mampu, dia juga memanfaatkan rumput-rumput itu sebagai pakan kambing. Kambing tetangganya tidak akan mampu menghabiskan rumput satu kebun sekaligus, begitu pikirnya.
            Abah Sekar setuju dengan apa yang dilakukan Udin. Abah Sekar malah senang ketika rumput-rumput yang biasanya hanya mengotori kebunnya itu masih bisa dimanfaatkan.
            Sudah hampir pukul tiga sore, Udin mulai mengikat karung berisi rumput ke sepedanya. Ia hendak pulang dan memberikan rumput-rumput itu pada kambing tetangganya. Pada saat itu, dari kejauhan Sekar berteriak memanggil nama Udin. Dia mengendarai sepeda mininya mendekati Udin. Udin berdiri menunggu Sekar.
“Din... anu... aku mau ngomong.” napas Sekar belum teratur. Dia masih terengah-engah.
“Ada apa to, kok sepertinya penting sekali sampai kamu harus datang kemari?” Udin menjawabnya polos. Sekar masih berusaha menormalkan napasnya.
“Ya sudah duduk di sana saja, yuk. Di sini panas.” Udin berjalan menuju saung yang ada di pinggir kebun dan Sekar mengikutinya.
“Ini minum dulu kalau kamu haus.” Udin menyodorkan botol berisi air yang dibawanya dari rumah. Sekar langsung meneguknya.
            Kini mereka berdua tengah duduk di saung pinggir kebun singkong Abah Sekar.
“Ada apa kamu sampai kemari, Sekar?”
“Aku punya ide, Din.” napas Sekar sudah kembali normal sehingga ia bisa berbicara dengan lebih lancar.
Udin tertawa terbahak-bahak, “Oalah Sekar, Sekar. Jadi kamu kesini cuma buat ngomong ide kamu? Apa tidak bisa besok saja waktu di sekolah?” Udin masih tertawa.
“Yee.. aku serius Udin. Ini tidak bisa ditunda.”
            Udin berusaha keras menghentikan tertawanya. Kini ia menunggu Sekar berbicara.
Mangga, mau ngomong apa?”
“Din, aku baru terpikir bagaimana kalau kamu titipkan saja singkongmu itu ke Ibu kantin. Pasti laku, Din!!” seru Sekar penuh antusias.
            Udin terdiam sejenak memikirkan kalimat yang baru saja terlontar dari mulut Sekar.
“Oh, iya ya kok aku tidak berpikir sampai kesana.” Udin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Maka dari itu setelah aku dapat ide itu aku langsung kesini supaya besok bisa langsung kamu lakukan.” Sekar tersenyum penuh kemenangan.
“Iya Mbak Sekar. Maafkan Udin ya, yang langsung menertawakan tanpa mendengarkan terlebih dahulu.” mereka berdua pun tergelak bersama.

Bersambung...

Tidak ada komentar :

Posting Komentar