Kamis, 04 Juni 2015

Udin Kingkong Part IV



Keesokan harinya Udin menjalankan apa yang dikatakan Sekar kemarin sore di kebun. Dia datang lebih pagi hari ini. Dari tempat parkir dia berjalan menuju jajaran warung kecil di kantin. Udin mulai mencoba menitipkan dagangannya dari warung yang letaknya paling utara.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Kantinnya belum buka, kalau mau makan nanti saja.” jawab pemilik warung dengan ketus.
“Ehm.. anu.. saya bukan mau makan di kantin, Bu, tapi saya mau menitipkan ini.”
Pemilik warung itu melirik apa yang dibawa Udin. Singkong goreng.
“Tidak, saya tidak mau. Warung saya tidak menjual makanan seperti itu.” jawabnya sedikit mengejek.
Udin menghela napas panjang, “Oh, ya sudah, Bu, terimakasih.”
            Udin meyakinkan dirinya untuk tidak menyerah. Ini baru satu warung, masih ada tiga warung lagi, pikirnya. Udin mulai menawarkan untuk menitipkan dagangannya lagi. Dua warung yang didatangi selanjutnya memberikan penolakan yang sama namun, penolakan yang lebih sopan daripada warung pertama.
            Udin tidak putus harapan. Masih ada satu warung lagi. Udin berharap banyak semoga disini tidak ada penolakan. Memang warung terakhir ini lebih kecil dari tiga warung yang lainnya, tapi siapa yang tahu jika di warung ini malah menerima titipan Udin?
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Ada apa cah bagus?” jawab Ibu pemilik warung dengan ramah.
“Eh, ini Bu, apa boleh saya mau titip gorengan disini?” Udin menunjukkan singkong gorengnya. Seketika itu aroma gurih singkong goreng mentega buatan Udin menguar di udara.
“Mau sampean jual berapa?”

            Mendengar kata-kata itu Udin seperti tidak percaya. Apakah ini salah satu tanda penerimaan?
Le, cah bagus?” Ibu pemilik warung menepuk pundak Udin, menyadarkannya dari lamunan sesaatnya.
“Dari saya lima ratus, Bu. Nanti Ibu bisa menjualnya seribu lima ratus dapat dua.” Udin meyakinkan.
Ibu itu malah tertawa, “gampang lah itu, Le. Sampean taruh sini saja.”
“Alhamdulillah. Terimakasih banyak ya, Bu. Assalamualaikum.” Udin meletakkan singkongnya di meja warung itu kemudian berjalan menuju kelasnya dengan wajah sumringah.
***
            Sebelum pulang sekolah, Udin menghampiri warung yang tadi pagi dititipinya singkong goreng. Dia berharap walaupun tidak laku semua, setidaknya ada beberapa yang terjual supaya dia bisa pulang tidak dengan tangan hampa.
            Kala itu kantin masih agak ramai. Udin memilih untuk duduk di bangku panjang tak jauh dari kantin. Dia menunggu sampai kantin sepi. Setidaknya masih ada harapan sebuah, dua buah singkongnya akan laku lagi.
            Beberapa saat kemudian kantin sudah mulai sepi. Udin berjalan perlahan menghampiri pemilik warung yang tadi dititipinya singkong goreng.
“Assalamualaikum.”
Perempuan itu menoleh dan tersenyum ketika melihat Udin disana, “mau mengambil titipan ya, Le? Sebentar ya, Ibu hitung dulu.” Perempuan itu bergegas menghitung sisa singkong goreng yang tadi dititipkan Udin.
“Tadi sampean titip dua belas biji ya, ini sisanya ada enam berarti uangnya tiga ribu.” Ibu itu mengeluarkan tiga lembar uang seribuan, “ini uangnya. Tidak usah khawatir kalau dagangan sampean tidak habis. Yang penting sampean sudah berusaha. Jangan kapok titip di sini ya, Le.”
            Udin menerima uang dari pemilik warung penuh syukur, tidak lupa ia juga membungkus sisa singkong gorengnya, “Alhamdulillah. Iya, Bu. Terimakasih banyak ya, Bu. Saya pulang dulu, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
            Udin mengayuh sepedanya pulang dengan penuh syukur. Udin bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan untuknya hari ini. Tidak banyak memang, hanya tiga ribu rupiah. Tapi tiga ribu rupiah itu sangatlah berarti untuk keluarga Udin. Udin bertekad untuk terus berusaha. Hari ini boleh hanya mendapat tiga lembar seribuan, tapi besok harus bisa lebih dari itu.
***
            Hari-hari berikutnya Udin terus menitipkan singkong gorengnya di warung paling selatan di kantin. Kadang titipannya habis, kadang sisa. Tidak tentu. Tapi Udin selalu bersyukur atas itu.
            Setiap hari Udin memberanikan diri untuk menambah jumlah titipannya. Sekarang Udin tidak hanya menitipkan singkongnya pada warung paling selatan di kantin sekolahnya. Dua warung yang sempat menolaknya pun kini juga mau menerima titipan singkong goreng Udin. Udin juga menitipkan singkongnya di warung kopi sebelah rumahnya. Singkong goreng Udin sudah semakin banyak peminatnya.
***
“Wah, sekarang kamu jadi Kingkong beneran ya, Din.”
Rina, teman sekelas Udin yang dulu sering mengolok-olok Udin tiba-tiba berdiri di samping tempat duduk Udin.
Udin menoleh, “Belum kok, Na. Ini masih awal, suatu saat aku harus jadi pengusaha olahan singkong supaya menjadi seperti yang kamu katakan. Aku si Udin Kingkong.” Udin terkekeh, “Oh iya, terimakasih ya sudah memberiku julukan itu.”
            Seketika itu juga wajah Rina merah padam. Ia merasa malu atas perlakuannya pada Udin selama ini, “Maafkan aku, Din.” Rina berlutut di samping tempat duduk Udin.
Udin kelabakan, dia kaget dengan sikap Rina, “Rin, jangan seperti itu dong. Aku tidak marah padamu, sungguh Rin.” Udin membantu Rina berdiri.
“Benar, Din kamu tidak marah?”
Udin menggeleng kuat.
“Terimakasih ya, Din kamu baik sekali. Padahal aku sudah jahat sama kamu.” ucap Rina penuh penyesalan.
“Sudahlah, Rin, jangan dipikirkan lagi.” kata Udin ramah.
“Sekarang kita berteman kan?” Rina mengulurkan tangannya.
“Loh, lha memangnya selama ini apa kita bukan teman?” Udin menjabat uluran tangan Rina. Mereka berdua pun tergelak.
“Eh, ngomong-ngomong singkong kamu ternyata rasanya enak.” kata Rina disela tawanya.
“Oh, jadi sekarang kamu mau makan singkongku juga?”
“Iya, aku sekarang kan Rina singkong lover.”
Mereka pun tenggelam dalam canda.
            Sekar berjalan ke kelas, dari pintu dia melihat Udin tengah tertawa bersama Rina.
“Ciyee, ada yang sudah akur nih.” Sekar masuk dengan senyum menggoda.
“Nah, ini nih. Pahlawan yang sudah membawaku menjadi seperti ini.” Udin berdiri menyambut Sekar.
“Ehem.” Rina berlaga terbatuk walaupun sebenarnya tenggorokannya tidak gatal.
“Kamu itu terlalu berlebihan, Din.” Sekar tersenyum malu.
“Loh, aku serius Sekar.” Udin menghela napas panjang, “Terimakasih banyak ya, Sekar. Oh, ya nanti sore aku mau sowan ke rumah kamu boleh? Aku mau membagi singkong gorengku ke Abah?”
Sekar mengangguk tanda setuju, “Sama-sama, Din, kita semua kan teman, jadi sudah semestinya saling membantu. Benar kan, Rin?” Sekar menyenggol lengan Rina dengan sikunya. Rina mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.
***
            Tidak ada lagi permusuhan. Tidak ada lagi kalimat ejekan. Semua menyatu dalam kebersamaan. Udin tidak pernah dendam dengan orang-orang yang dulu pernah memandangnya sebelah mata. Justru mereka adalah cambuk bagi Udin untuk membuktikan kemampuannya.
            Udin Kingkong. Udin si raja singkong. Udin bertekad untuk mewujudkan ejekan itu menjadi kenyataan. Suatu saat ia akan membuktikan pada dunia bahwa dia mampu menyandang gelar itu. Udin Kingkong, Udin si Raja Singkong.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar