Senin, 03 Agustus 2015

Debur Ombak di Kala Senja



                Tidak ada yang lebih indah daripada menyaksikan matahari terbenam di tepi pantai. Senja, itu lah namanya. Nama itu juga sangat akrab dengan usia manusia yang mulai menua.
                Aku tak ingat jelas sudah berapa lama aku tidak menjejakkan kaki-kakiku di antara pasir putih yang sedang disapu ombak ini. Dan aku merasa pasir-pasir ini masih selembut dan sehangat dulu. Bahkan ombak yang ada di bibir pantai pun masih deras menyeruakkan rasa dingin ketika ia melewati jari-jari kakiku.
                Mungkin memang baginilah cara Tuhan mengatur alam. Membiarkan semua yang berlawanan bersatu dan saling melengkapi. Tentu saja dengan caranya yang begitu canggih, meletakkan semua sesuai porsinya sehingga menciptakan harmoni alam yang menawan.
                Aku ingat pohon kelapa itu. Dia masih saja kokoh berdiri dan sepertinya dia jauh lebih tinggi. Dulu aku sering duduk di bawahnya, menunggu dan memerhatikan dari jauh sosok pemuda berbadan tegap yang mengenakan kacamata. Dia yang selalu dingin seperti ombak. Suaranya berat seperti deburan ombak, namun mengalun indah ketika kata demi kata mengalir dari bibirnya.

                Pemuda yang selalu mengakhiri harinya dengan berjalan di bibir pantai. Menanti langit kemerahan berganti kehitaman. Peluh selalu mengucur dari pelipis juga sela-sela rambutnya. Tampak rambutnya selalu setengah basah.
                Aku tidak pernah tahu kenapa dia selalu menutup harinya dengan menyaksikan senja. Bahkan sampai sekarang. Namun, ada satu peristiwa yang benar-benar membuat kisah kami tidak berakhir hanya sebagai pengagum rahasia dan sosok yang didamba.
                Saat itu, dia berjalan dengan tangan yang tenggelam dalam saku celananya. Kemejanya tampak sudah kusut dan setengah basah. Saat dia hendak beranjak setelah melakukan ritualnya, aku melihat sebuah benda jatuh dari saku celananya. Dia tidak menyadarinya. Aku memberanikan diri untuk menghampiri benda apa itu. Dompet, ternyata benda itu adalah dompet.
                Aku berlari mengejarnya, “Mas, tolong berhenti sebentar.” Tidak ada jawaban bahkan menoleh saja tidak. Semakin lama dia semakin menjauh dan aku hanya mampu menikmati siluetnya.
                Aku kembali memberanikan diriku untuk melihat benda itu. Pelan, aku membuka dompet itu. Jantungku serasa memompa darah lebih cepat dari biasanya. Bahkan aku sampai dapat mendengar degubnya karena aku merasa dunia seketika menjadi hening. Aku langsung melihat tanda pengenalnya, dengan tangan yang berkeringat dingin aku mengeluarkan kartu tanda penduduknya. Untuk pertama kalinya aku tahu siapa nama pemuda dambaanku itu, “Lazuardi Septianto”.
                Aku terduduk, rasanya lututku tak berdaya menopang tubuhku ketika nama itu pertama kali terdengar di telingaku. Napasku memburu, degub jantungku kian cepat. Aku merasa ada taman bunga di sekitarku.
                Keesokan harinya, saat malam baru saja berganti pagi, aku bergegas menuju alamat yang tertera di kartu tanda penduduk tersebut. Hari ini adalah hari Minggu, aku merasa dia pasti ada di rumahnya. Dengan mengendarai angkot, aku mencoba menemukan kediamannya.
                “Jadi, di sana dia bermukim?” Aku bergumam menyaksikan sebuah rumah sederhana bercat biru dengan keramik berwarna putih. Cukup sulit menemukannya karena aku harus bertanya kepada beberapa penduduk setempat sebelum aku tepat berdiri disini sekarang.
                Aku mengambil napas dalam. Pelan tapi pasti aku mencoba melangkahkan kakiku menuju rumah itu. Degub jantungku kembali meningkat, jemariku terasa dingin dan basah. tanganku bergetar ketika akan mengetuk pintu. Baru satu ketukan pintu itu sudah terbuka. Sosok itu berdiri disana. Mengenakan kaos putih dan celana pendek. Dia tidak mengenakan kacamatanya. Aku semakin gugup, inilah kali pertamaku menatapnya dengan jelas dan dekat.
“A..a..” tidak ada kata yang sanggup terucap. Pemuda itu berdehem, “Anda mencari siapa dan ada perlu apa?”
Aku mengeluarkan dompet yang ada di dalam tasku, “I..ini punya kamu?”
“Oh, ya. Terimakasih.” Ujarnya singkat. Kemudian pintu dihadapanku tertutup begitu saja. Itulah kenapa aku mengatakan dia memiliki sikap yang dingin.
                Aku tersenyum mengingatnya, saat pertama kali kami bersapa. Rasanya hal itu baru berlangsung kemarin. Aku menoleh pada sosok berambut putih di sampingku. Tubuhnya tidak setegap dulu namun, suaranya tetap sama. Aku menggeser jemariku mendekati jemarinya dan menggenggamnya, “Selamat ulang tahun pernikahan, sayang.”
                Sosok itu tersenyum ke arahku, senyum lembut yang selalu menghangatkan hatiku. “Tidak terasa, 40 tahun sudah kita menikah dan selama itu pulalah aku tidak pernah memberitahumu kenapa aku selalu menutup hari-hariku di pantai ini.”
                Aku tersentak dan bergumam dalam hati, “jadi apakah dia juga memikirkan hal yang sama denganku? mengingat hal yang sama?”
                Sosok itu hanya terkekeh kemudian merangkulkan tangannya di pundakku, “Biarkan ini menjadi hadiah ulang tahun pernikahan kita dariku untukmu.” Sosok itu menarik napas dalam, “Setiap senja aku selalu menutup hariku disini karena aku ingin melihat sosok seorang gadis yang entah sejak kapan mencuri perhatianku. Senyumnya yang manis seakan menjadi obat paling ampuh untuk segala permasalahan dan stres karena pekerjaan yang menumpuk. Tapi apa daya, menegurnya saja aku tak berani. Aku terlalu gugup. Jadi, aku hanya mencuri pandang padanya saat berjalan di bibir pantai.”
                Aku merasa ada rasa sakit yang muncul dihatiku. “Apakah aku cemburu? Dia kan sudah memilihku dan mungkin saja gadis itu kini sudah membangun keluarganya sendiri dengan orang lain.”
“Gadis itulah yang mampu membuat jantungku berdegub cepat saat berada di dekatnya.”
Aku merasa semakin pilu.
“Gadis itu adalah gadis yang mengantarkan dompetku ketika aku menjatuhkannya di pantai itu.” Dan satu kecupan mendarat di keningku. Menyisakan rasa lega dan hangat.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar