Udara
pagi yang menyejukkan di pelataran kebun rumah Mala seolah membuai siapapun
untuk duduk dan merasakannya. Begitu juga Mala, dia baru selesai menyapu kebun
dan dia memutuskan untuk duduk di bawah pohon mangga. Deru napasnya masih
memburu. Maklum saja, kebun yang baru ia bersihkan cukup luas. Peluh mengalir
di dahi dan pelipisnya membuat poni Mala sedikit basah. Semilir angin pagi
menerpanya mengeringkan butiran peluh yang menetes dari dahinya.
Mala
menengadahkan wajahnya menatap dahan-dahan pohon mangga. Ia mengamati satu
persatu dahan untuk mencari sisa-sisa mangga di akhir musim mangga. Mala
sedikit kecewa karena baru tiba di rumah pada akhir musim mangga. Karena ia
tidak bisa menikmati manisnya buah mangga gadung yang matang dari pohonnya. Sesaat
mata Mala terpaku pada satu dahan. Di balik dedaunan pada dahan itu, ada
kilatan warna hijau kekuningan. Mala tersenyum senang dan mulai mengambil bilah
bambu untuk mencari tahu apakah yang dilihatnya itu benar-benar buah mangga.
Mala
menyibakkan dedaunan di dahan itu dengan bilah bambu. Ternyata dugaannya benar,
itu memang benar-benar buah mangga yang masak di pohon. Mala mencoba meraih
tangkai buah tersebut dengan bilah bambu yang sudah di belah ujungnya. Setelah
beberapa kali mencoba, Mala berhasil menjepit tangkai buah tersebut. Mala
memutar tangkai buah itu sampai tangkai buah itu putus dan bukkk!!! Buah mangga
itu jatuh di atas tanah. Mala segera menyandarkan bilah bambu itu pada pohon
dan memungut buah mangga yang baru dipetiknya. “Syukurlah tidak pecah.” Mala
membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel pada kulit buah mangga.
Tanpa
Mala sadari, seorang wanita paruh baya tengah mengamatinya. Sekarang wanita itu
berjalan mendekati Mala. “Nirmala.” Wanita itu memanggil nama Mala. Mala
menengok dan tersenyum. “Eh, Bunda. Maaf Bunda, Mala tidak segera ke depan
untuk bantuin Bunda lagi dan malah mencari mangga. Ada yang bisa Mala kerjakan
lagi?” Wanita itu tersenyum dan menggeleng.
“Tidak, semua sudah selesai kok. Kamu mencari mangga? Padahal Bunda sudah
sisakan untuk kamu tuh di almari dapur.” Mala terkekeh, “Kan tidak masak dari
pohon Bunda, rasanya beda. Tapi Mala tetap mau kok, Mala tidak bisa menahan
godaan buah mangga.” Wanita itu tersenyum kemudian duduk di bawah pohon mangga.
“Bunda, Mala ambil pisau dulu ya.”
“Pagi-pagi kamu sudah mau sarapan mangga? Makan nasi dulu!”
Mala mendengus sebal. Kemudian duduk di sebelah wanita itu.
“Bagaimana kuliahmu, Nduk?”
“Lancar, Bunda. Tapi hasil yang Mala terima kurang begitu memuaskan.”
“Kok bisa? Bukannya hasil itu sesuai usaha kamu?”
“Iya sih, Bunda, tapi aku merasa belum maksimal. Aku bisa lebih dari itu.”
Wanita itu tersenyum tipis dan berkata dengan lembut.
“Hasil yang kamu terima itu pasti sesuai dengan usaha kamu. Kalau kamu mau hasil yang maksimal, usaha kamu juga harus maksimal. Mana bisa usaha biasa tapi hasil yang didapat maksimal?”
Mala menengok ke arah wanita itu kemudian menunduk.
“Iya Bunda, Mala harus lebih semangat di semester depan. Harus! Usaha Mala harus maksimal supaya hasil yang Mala dapat juga maksimal.” Mala berujar dengan penuh semangat.
“Dan pastinya, Mala ingin Bunda tersenyum bangga karena Mala.” Mala memeluk wanita di sebelahnya. Suasana hening sejenak. Mereka semua berdiam dengan hati yang tetap berbicara, berdoa kepada Tuhan.
“Pagi-pagi kamu sudah mau sarapan mangga? Makan nasi dulu!”
Mala mendengus sebal. Kemudian duduk di sebelah wanita itu.
“Bagaimana kuliahmu, Nduk?”
“Lancar, Bunda. Tapi hasil yang Mala terima kurang begitu memuaskan.”
“Kok bisa? Bukannya hasil itu sesuai usaha kamu?”
“Iya sih, Bunda, tapi aku merasa belum maksimal. Aku bisa lebih dari itu.”
Wanita itu tersenyum tipis dan berkata dengan lembut.
“Hasil yang kamu terima itu pasti sesuai dengan usaha kamu. Kalau kamu mau hasil yang maksimal, usaha kamu juga harus maksimal. Mana bisa usaha biasa tapi hasil yang didapat maksimal?”
Mala menengok ke arah wanita itu kemudian menunduk.
“Iya Bunda, Mala harus lebih semangat di semester depan. Harus! Usaha Mala harus maksimal supaya hasil yang Mala dapat juga maksimal.” Mala berujar dengan penuh semangat.
“Dan pastinya, Mala ingin Bunda tersenyum bangga karena Mala.” Mala memeluk wanita di sebelahnya. Suasana hening sejenak. Mereka semua berdiam dengan hati yang tetap berbicara, berdoa kepada Tuhan.
“Mala, besok hari Minggu Bunda ada acara perkumpulan
istri pegawai di kantor Ayah. Jadi maaf ya, jalan-jalannya diganti hari lain
saja.”
“Oh begitu, iyaa Bunda tidak apa-apa kok. Masih ada banyak waktu.” Mala terkekeh.
“Syukurlah kamu tidak keberatan. Kalau begitu kamu segera mandi biar wangi, masak iya anak gadis pagi-pagi tidak mandi.” Wanita itu bergaya menutup hidungnya dengan telapak tangan.
“Ih, Bunda meledek. Iya Mala mandi.” Mereka berdua tergelak. Kemudian Mala berlalu meninggalkan wanita yang tadi di sebelahnya tetap duduk di bawah pohon mangga.
“Oh begitu, iyaa Bunda tidak apa-apa kok. Masih ada banyak waktu.” Mala terkekeh.
“Syukurlah kamu tidak keberatan. Kalau begitu kamu segera mandi biar wangi, masak iya anak gadis pagi-pagi tidak mandi.” Wanita itu bergaya menutup hidungnya dengan telapak tangan.
“Ih, Bunda meledek. Iya Mala mandi.” Mereka berdua tergelak. Kemudian Mala berlalu meninggalkan wanita yang tadi di sebelahnya tetap duduk di bawah pohon mangga.
***
Selepas
mandi Mala merasa tubuhnya lebih segar. Ketika dia mengeringkan rambutnya yang
basah, ponselnya berdering. Dia pun segera bergegas mengambil ponselnya di meja
kamarnya. “Driza.” Mala segera menekan tombol berwarna hijau di ponselnya.
“Halo, Driza.” Sapa Mala dengan penuh semangat.
“Hey. Semangat banget, Non.”
“Iya, dong kan aku baru selesai mandi jadi badanku segar terus aku jadi semangat deh.” Mala terkekeh.
“Baru mandi sekali saja bangga.”
“Ih, kamu ini. Aku setiap pagi mandi ya, walaupun terkadang baru mandi setelah pukul 12.00 sih.” Mala menggerutu walaupun tahu sebenarnya Driza hanya bercanda dan menggodanya.
“Yee, begitu saja kok ngambek.” Terdengar Driza menahan tawa di ujung telefon.
“Tuh kan sok tahu. Siapa juga yang ngambek? Huuu!! Ngomong-ngomong memangnya kamu sudah mandi?” Kini giliran Mala yang mengejek.
“Ya sudah dong, Non. Aku kan rajin.”
“Rajin apanya? Haha. Aku kira kamu belum mandi. Karena biasanya kamu masih kencan kalau pagi begini.”
“Hah? Kencan? Kencan sama siapa?” Driza terdengar panik mendengar pertanyaan Mala.
“Kencan sama..... catfish alias ikan lele.” Tawa Mala pecah.
“Ah, itu sudah bosen, La. Masak setiap hari aku kencan terus sama ikan lele terus kapan aku kencan sama kamu?” Driza terkekeh.
Mala hanya diam. Pipinya memerah. Jarang sekali Driza mengajaknya bertemu dan pergi bersama. Apalagi sejak Mala melanjutkan kuliahnya di luar kota.
“Nirmala?”
“Ehm, ini beneran?” Mala bertanya tidak percaya.
“Aku bohong. Iya lah, La aku serius. Apa aku segitunya ya sampai tidak ada yang menganggapku serius?”
Mala terkekeh, “Aku percaya kok kalau kamu seirus.”
“Jadi?”
“Terserah kamu saja, Za.”
“Kalau terserah ya lebih baik tidak usah.”
“Zaa..” Mala merengek.
“Oke deh, kamu mau pilih hari apa? Sabtu, Minggu, Selasa atau Rabu?”
“Bagaimana kalau hari Sabtu?’
“Oke, deal.”
Mala terdiam dan berpikir sejenak, “Memangnya kamu akan mengajakku kemana?”
“Apa destinasi itu perlu?”
Mala terdiam, “Entahlah, kalau belum ada bayangan ya lihat saja nanti deh.”
“Halo, Driza.” Sapa Mala dengan penuh semangat.
“Hey. Semangat banget, Non.”
“Iya, dong kan aku baru selesai mandi jadi badanku segar terus aku jadi semangat deh.” Mala terkekeh.
“Baru mandi sekali saja bangga.”
“Ih, kamu ini. Aku setiap pagi mandi ya, walaupun terkadang baru mandi setelah pukul 12.00 sih.” Mala menggerutu walaupun tahu sebenarnya Driza hanya bercanda dan menggodanya.
“Yee, begitu saja kok ngambek.” Terdengar Driza menahan tawa di ujung telefon.
“Tuh kan sok tahu. Siapa juga yang ngambek? Huuu!! Ngomong-ngomong memangnya kamu sudah mandi?” Kini giliran Mala yang mengejek.
“Ya sudah dong, Non. Aku kan rajin.”
“Rajin apanya? Haha. Aku kira kamu belum mandi. Karena biasanya kamu masih kencan kalau pagi begini.”
“Hah? Kencan? Kencan sama siapa?” Driza terdengar panik mendengar pertanyaan Mala.
“Kencan sama..... catfish alias ikan lele.” Tawa Mala pecah.
“Ah, itu sudah bosen, La. Masak setiap hari aku kencan terus sama ikan lele terus kapan aku kencan sama kamu?” Driza terkekeh.
Mala hanya diam. Pipinya memerah. Jarang sekali Driza mengajaknya bertemu dan pergi bersama. Apalagi sejak Mala melanjutkan kuliahnya di luar kota.
“Nirmala?”
“Ehm, ini beneran?” Mala bertanya tidak percaya.
“Aku bohong. Iya lah, La aku serius. Apa aku segitunya ya sampai tidak ada yang menganggapku serius?”
Mala terkekeh, “Aku percaya kok kalau kamu seirus.”
“Jadi?”
“Terserah kamu saja, Za.”
“Kalau terserah ya lebih baik tidak usah.”
“Zaa..” Mala merengek.
“Oke deh, kamu mau pilih hari apa? Sabtu, Minggu, Selasa atau Rabu?”
“Bagaimana kalau hari Sabtu?’
“Oke, deal.”
Mala terdiam dan berpikir sejenak, “Memangnya kamu akan mengajakku kemana?”
“Apa destinasi itu perlu?”
Mala terdiam, “Entahlah, kalau belum ada bayangan ya lihat saja nanti deh.”
Ketika
Mala sedang sibuk menerima telfon dari Driza, tiba-tiba Bunda memanggilnya. “Mala.
Nirmala, tolong bantu Bunda sebentar, Nak.” Mala yang mendengar panggilan dari
Bundanya segera mengakhiri telfonnya dengan Driza, “Za, sudah dulu ya. Aku mau
membantu Ibu. See you.” Driza menjawab dengan lembut, “See you too Nirmala.”
Setelah mematikan ponselnya, Mala segera menghampiri Bundanya.
***
Hari
ini sabtu pagi. Mala baru terbangun dari tidurnya ketika hari masih terlalu
pagi. Tidak seperti biasanya, Mala segera bergegas bangkit dan membereskan
tempat tidurnya. Ketika kewajibannya telah selesai, Mala segera membersihkan
halaman dan kebun. Semua selesai tepat pukul 06.00 pagi. Mala duduk di
pelataran teras untuk melepas lelah.
Seorang
laki-laki berjalan menghampiri Mala. Laki-laki itu mengenakan baju batik dengan
bawahan celana panjang berwarna hitam.
“Sudah selesai bantuin Bunda?” Mala tersentak kaget.
“Eh Ayah, sudah kok.” Ayah mengusap rambut Mala.
“Mala, Ayah mau minta tolong.” Mala menatap Ayahnya.
“Tolong nanti jam sembilan pagi antarkan Ibumu ke kantor Ayah. Ayah ada rapat mendadak jadi Ayah harus berangkat sekarang.”
“Hari ini, Yah? Jam sembilan?” Ayah mengangguk. Mala terdiam. Hatinya berdebat. Bukannya hari ini dia sudah ada janji dengan Driza tapi dia tidak mungkin menolak permintaan Ayahnya.
“Bagaimana Mala? Kamu bisa tolong Ayah kan?” Mala mengangguk. Ayah tersenyum.
“Terimakasih ya sayang.” Ayah berlalu meninggalkan Mala yang terdiam menatap langit pagi.
“Sudah selesai bantuin Bunda?” Mala tersentak kaget.
“Eh Ayah, sudah kok.” Ayah mengusap rambut Mala.
“Mala, Ayah mau minta tolong.” Mala menatap Ayahnya.
“Tolong nanti jam sembilan pagi antarkan Ibumu ke kantor Ayah. Ayah ada rapat mendadak jadi Ayah harus berangkat sekarang.”
“Hari ini, Yah? Jam sembilan?” Ayah mengangguk. Mala terdiam. Hatinya berdebat. Bukannya hari ini dia sudah ada janji dengan Driza tapi dia tidak mungkin menolak permintaan Ayahnya.
“Bagaimana Mala? Kamu bisa tolong Ayah kan?” Mala mengangguk. Ayah tersenyum.
“Terimakasih ya sayang.” Ayah berlalu meninggalkan Mala yang terdiam menatap langit pagi.
***
Mala
beranjak masuk ke dalam rumah. Dia segera meraih ponselnya dan mencoba
menghubungi Driza. Beberapa kali dia menelfon Driza namun tidak ada jawaban.
Akhirnya dia mencoba mengirim pesan singkat.
“Driza, maaf hari ini aku tidak bisa datang. Ayah
memintaku mengantar Bunda ke kantor Ayah nanti jam sembilan karena Ayah ada
rapat mendadak. Maaf ya, Za. Bisa diganti hari lain?”
Mala cemas menunggu balasan pesan singkat dari
Driza. Dia mondar-mandir di dalam kamarnya sembari menggenggam ponsel di
tangannya.
Beberapa
saat kemudian ponselnya bergetar tanda ada pesan singkat yang masuk. Mala
segera melihat itu pesan dari siapa dan ternyata itu yang dia tunggu, dari
Driza.
“Iya, tidak apa-apa. Antarkan Bundamu, itu lebih
penting. Masih ada waktu lain kok.”
Mala mengembuskan napas panjang. Ia merasa lega.
“Terimakasih Driza. Diganti hari Selasa ya. See you.”
“Iya, see you too.”
***
Senin
malam. Mala tengah berbaring di kamarnya. Dia tidak bisa tidur. Dia hanya berguling
ke kanan dan ke kiri bimbang memikirkan esok hari. Dia baru menyadari bahwa
esok adalah tanggal 30 Desember, menjelang akhir tahun. Mala tidak bisa
membayangkan betapa padatnya lalu lintas yang akan di hadapinya nanti. Ya,
orang-orang yang terlalu mengistimewakan tahun baru pasti akan memadati jalanan
untuk mempersiapkan pesta tahun baru. Belum lagi bahu-bahu jalan yang di penuhi
oleh pedagang kaki lima dadakan. Juga, tahun baru ini tepat ada di momen
liburan akhir semester bagi siswa sekolah. Sudah tergambar jelas di benak Mala
betapa semerawutnya lalu lintas esok
hari.
Di
sisi lain, Mala tidak ingin memutuskan untuk tidak datang lagi. Kemarin dia
sudah membatalakannya, tidak mungkin dia akan membatalkannya untuk yang kedua
kalinya. Mala tidak ingin membuat Driza kecewa. Di tengah kebimbangannya,
tiba-tiba ponsel Mala bergetar. Dari Driza.
“Jangan tidur terlalu larut, Nirmala.”
“Iya, Driza. Aku belum bisa tidur. Entah kenapa.”
“Ada yang kamu pikirkan?”
“Tidak juga”
Mala menghela napas panjang. Dia lebih bimbang lagi
untuk mengataknnya kepada Driza atau tidak.
“Mala, aku tidak yakin besok kita bisa bertemu.”
“Kenapa begitu, Za?”
Mala terkejut. Sempat dia berpikir apakah Driza bisa
membaca pikirannya. Ah, itu terlalu konyol, pikir Mala.
“Sebentar lagi tahun baru, aku yakin lalu lintas akan semakin ramai. Tidak ada orangtua yang rela melepas anak perempuannya keluar saat lalu lintas seperti itu, bisa membahayakan.”
Mala
tahu, Driza tidak mungkin bis menjemputnya. Jarak rumah mereka terlalu jauh.
Dan tempat yang mungkin akan jadi destinasi mereka ada di antara kediaman
mereka.
“Driza aku boleh jujur?”
“Tentu saja, silakan.”
“Sebenarnya aku juga bimbang untuk pergi esok pagi. Aku sudah lama tidak mengendarai motor. Belum lagi lalu lintas padat. Aku takut malah membahayakan diriku sendiri. Tapi aku juga tidak mau membatalkan ini untuk yang kedua kalinya.”
“Tidak apa-apa, Mala. Aku mengerti.”
“Maaf, Driza. Aku meminta maaf dengan sangat pada kamu. Maaf sudah membuatmu kecewa.”
Lama ponsel Mala tidak bergetar. Mala semakin merasa
tidak enak kepada Driza.
“Driza?”
“Setidaknya aku hanya kecewa, Mala. Bukan sangat kecewa. Aku mengerti, Mala. Sudahlah tidak apa-apa.”
Mala
tidak sanggup membalas pesan tersebut. Mala hanya memandangi pesan terakhir itu
dengan penuh rasa bersalah. Driza kecewa. Kecewa. Mala terdiam. Pikirannya
melayang. Kenapa dia selalu melakukan ini? Menjadi seseorang yang penakut.
Menjadi seseorang yang mudah membatalkan janji. Menjadi seseorang yang memiliki
beribu alasan. Orang yang susah untuk ditemui. Ini bukanlah kali pertama dala
hidup Mala. Begitulah perasaan Mala yang terus berkecamuk sampai akhirnya ia
terlelap arena lelah berdepat dengan hati dan pikirannya.
***
Beberapa
hari setelah kejadian itu, masa liburan Mala telah usai. Dia akan kembali ke
luar kota untuk menempuh pendidikannya di perguruan tinggi. Mala tidak
menghubungi Driiza. Mala merasa itu hanya akan memperkeruh suasana. Driza masih
ingin sendiri, begitu pikirnya.
Sesampainya
di kota tujuan, Mala belum juga menghubungi Driza. Sampai akhirnya pada malam
hari, Mala memberanikan diri untuk menghubungi Driza. Mala akan menerima semua
konsekuensinya. Mala sudah bertekat. Dia tidak mau terus diam seperti ini.
“Driza, aku sudah sampai di Surabaya.”
“Iya. Kuliah yang rajin.”
“Pasti Driza, aku harus bisa lebih baik dari
semester lalu.”
“Semangat, kamu pasti bisa. Berusahalah semaksimal
mungkin sehingga hasil yang kamu dapat juga maksimal. Minimal 3,9 ya IP
semester depan.”
“Aku pasti berusaha semampuku, Za. Aku tidak mau
main-main lagi. Aku mau benar-benar serius dengan pendidikanku.”
“Bagus. Jangan menyerah.”
“Terimakasih, Driza.”
Tidak ada jawaban. Driza memang menjawab semua pesan
Mala. Driza juga tetap memberinya
dukungan. Namun, Mala merasakan ada yang berbeda. Mala tahu, Driza sedang tidak
baik suasana hatinya. Mala tidak berharap pesan itu dibalas.
Hari-hari
berikutnya masih sama seperti itu.Driza tetaplah dingin. Bahkan semakin dingin.
Mala semakin merasa bersalah. Mala tahu, mungkin dia hanyalah pengeruh suasana.
Driza butuh teman berbagi, oleh sebab itu dia menghbunginya dan memintanya
untuk bertemu tapi Mala tidak pernah datang. Mala hanya menerka-nerka. Dia
hanya lah penambah masalah untuk Driza.
Tiba-tiba,
ponsel Mala bergetar. Mala berharap itu pesan dari Driza. Namun, setelah
dilihatnya, itu dari Gio.
“Mal, kamu ada waktu?”
“Ada apa, Gi?”
“Aku mau ketemu kamu, aku ingin berbicara dengan
kamu. Penting.”
“Ada. Besok jam tiga sore aku kosong.”
“Oke.”
Keesokan
harinya selepas kuliah, Mala pulang ke kamar kontrakan yang ia sewa sebagai tempat
tinggal sementara di Surabaya. Penat, lelah, pusing, semua bercampur membuat
Mala hanya ingin memejamkan matanaya sekejap. Setelah beganti pakaian, Mala
merebahkan badannya pada tempat tidur. Tidak lama kemudian Mala memang
benar-benar tertidur.
Dering
ponsel membangunkan Mala dari tidurnya. Dengan keadaan yang masih mengantuk,
dia menjawab panggilan yang masuk itu.
“Halo.” Jawabnya lemah.
“Kamu dimana, Mal? Aku sudah di kafetaria.”
“Hah? Ini jam berapa sih?”
“Ini sudah hampir jam empat Mala.”
“Hah yang benar kamu?” Mala tersentak kaget. Matanya terbelalak. Dia segera melirik jam di dinding. Mampus, sudah pukul empat, pikirnya.
“Aku tidak tahu kafetaria itu dimana, ku pikir kamu akan menjemputku.”
“Gila, gimana sih kamu.”
“Ya, maaf tapi aku benar-benar tidak tahu.”
“Oke, aku sekarang jemput kamu.”
Mala mematikan telfonnya. Dia segera berlari ke kamar mandi membersihkan badannya dan mengganti baju. Tepat setelah itu semua selesai ponselnya bergetar.
“Halo.” Jawabnya lemah.
“Kamu dimana, Mal? Aku sudah di kafetaria.”
“Hah? Ini jam berapa sih?”
“Ini sudah hampir jam empat Mala.”
“Hah yang benar kamu?” Mala tersentak kaget. Matanya terbelalak. Dia segera melirik jam di dinding. Mampus, sudah pukul empat, pikirnya.
“Aku tidak tahu kafetaria itu dimana, ku pikir kamu akan menjemputku.”
“Gila, gimana sih kamu.”
“Ya, maaf tapi aku benar-benar tidak tahu.”
“Oke, aku sekarang jemput kamu.”
Mala mematikan telfonnya. Dia segera berlari ke kamar mandi membersihkan badannya dan mengganti baju. Tepat setelah itu semua selesai ponselnya bergetar.
“Aku tidak tahu dimana kontrakanmu. Aku sekarang ada
di mulut gang dekat kampus kamu.”
“Iya, tunggu lima menit aku akan ke sana.”
Mala bergegas pergi menemui Gio. Ia berjalan dengan
cepat namun tidak berlari.
“Sorry, Gi, aku tadi tidur dan lupa kalau ada janji
sama kamu.”
“Nggak masalah kok, Mal. Ayo ikut.”
“Kemana?”
“Ke tempat yang enak dibuat ngobrol.”
Tanpa berpikir panjang, Mala menurut saja. Mereka pergi ke salah satu kafe di dekat kampus Mala. Dua jam lebih mereka menghabiskan waktu untuk berbincang. Teman-teman Mala memang merasa Mala adalah tempat yang ideal untuk berbagi, untuk itu lah Mala biasa menjadi tempat curhat bagi teman-temannya.
“Nggak masalah kok, Mal. Ayo ikut.”
“Kemana?”
“Ke tempat yang enak dibuat ngobrol.”
Tanpa berpikir panjang, Mala menurut saja. Mereka pergi ke salah satu kafe di dekat kampus Mala. Dua jam lebih mereka menghabiskan waktu untuk berbincang. Teman-teman Mala memang merasa Mala adalah tempat yang ideal untuk berbagi, untuk itu lah Mala biasa menjadi tempat curhat bagi teman-temannya.
Mala
sampai di kontrakannya lagi setelah hari telah petang. Perutnya terasa kenyang
setelah menyantap semangkuk soto ayam dan segelas teh hangat. Setelah berganti
pakaian, sebersit terlintas di benak Mala untuk menghubungi Driza. Mala
memberanikan dirinya lagi untuk menghubungi Driza.
“Driza, apakah kamu baik-baik saja?”
“Seperti yang kamu tahu, aku sedang kurang baik,
kurang enak badan juga.”
“Baiklah, kamu istirahat saja.”
Tidak ada balasan lagi. Sepertinya Driza masih tetap
sedingin es. Ya, itu semua juga tidak terlepas dari kesalahan Mala sendiri.
Beberapa
hari kemudian, tanpa di duga oleh Mala, Driza menghubunginya.
“Mala, bagaimana keadaanmu?”
“Baik, Za. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu.
Bagimana keadaanmu? Apakah sudah lebih baik?”
“Iya, aku merasa lebih baik.”
“Syukurlah.. Driza, kemarin aku bertemu Gio. Dia
mengajakku pergi dan dia bercerita banyak. Cerita-cerita Gio malah membuatku
ingin menjadi penulis dadakan.. hihihi.”
“Kamu bertemu Gio???”
“Iyaa.”
Hening. Tidak ada jawaban. Lama Mala menunggu. Lama
Mala berdiam. Mala bertanya-tanya mengapa Driza tidak membalas pesannya? Apakah
ada kata-katanya yang menyakiti Driza. Lama Mala berpikir. Mala menghela napas
panjang. Dia berpikir apakah dia salah jujur pada Driza bahwa dia baru saja
pergi dengan Gio sedangkan dia membatalkan janjinya bertemu dengan Driza
sebanyak dua kali? Mala terdiam.
“Driza, aku minta maaf.”
Tetap tidak ada jawaban. Mala hanya diam. Matanya
terpejam. Benaknya terus saja berdebat. Seharusnya dia tidak berkata jujur pada
Driza. Driza baru saja mencair tapi karena kejujuran Mala, Driza kembali membeku
karena kekecewaan. Namun, Mala tidak bisa menahan untuk berkata jujur. Mala
mengakui bahwa dirinya memang salah. Dua orang itu sama-sama membutuhkannya,
namun ia hanya bisa membantu salah satu saja. Mala merasa kecewa kepada dirinya
sendiri, mengapa ia menjadi seperi ini? Mala kecewa karena dia telah membuat
kecewa orang lain. Mala tidak tahu lagi bagaimana caranya agar Driza mau
memaafkannya. Mala hanya bisa menunggu dingin dan kebekuan dalam diri Driza
mencair kembali walaupun itu butuh waktu yang tidak sebentar. “Driza, maafkan
aku.” Mala memejamkan mata dan pada saat itu, butiran air mata luruh membasahi
pipinya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar