Selasa, 06 Januari 2015

Kecewa

            Udara pagi yang menyejukkan di pelataran kebun rumah Mala seolah membuai siapapun untuk duduk dan merasakannya. Begitu juga Mala, dia baru selesai menyapu kebun dan dia memutuskan untuk duduk di bawah pohon mangga. Deru napasnya masih memburu. Maklum saja, kebun yang baru ia bersihkan cukup luas. Peluh mengalir di dahi dan pelipisnya membuat poni Mala sedikit basah. Semilir angin pagi menerpanya mengeringkan butiran peluh yang menetes dari dahinya.
            Mala menengadahkan wajahnya menatap dahan-dahan pohon mangga. Ia mengamati satu persatu dahan untuk mencari sisa-sisa mangga di akhir musim mangga. Mala sedikit kecewa karena baru tiba di rumah pada akhir musim mangga. Karena ia tidak bisa menikmati manisnya buah mangga gadung yang matang dari pohonnya. Sesaat mata Mala terpaku pada satu dahan. Di balik dedaunan pada dahan itu, ada kilatan warna hijau kekuningan. Mala tersenyum senang dan mulai mengambil bilah bambu untuk mencari tahu apakah yang dilihatnya itu benar-benar buah mangga.
            Mala menyibakkan dedaunan di dahan itu dengan bilah bambu. Ternyata dugaannya benar, itu memang benar-benar buah mangga yang masak di pohon. Mala mencoba meraih tangkai buah tersebut dengan bilah bambu yang sudah di belah ujungnya. Setelah beberapa kali mencoba, Mala berhasil menjepit tangkai buah tersebut. Mala memutar tangkai buah itu sampai tangkai buah itu putus dan bukkk!!! Buah mangga itu jatuh di atas tanah. Mala segera menyandarkan bilah bambu itu pada pohon dan memungut buah mangga yang baru dipetiknya. “Syukurlah tidak pecah.” Mala membersihkan sisa-sisa tanah yang menempel pada kulit buah mangga.
            Tanpa Mala sadari, seorang wanita paruh baya tengah mengamatinya. Sekarang wanita itu berjalan mendekati Mala. “Nirmala.” Wanita itu memanggil nama Mala. Mala menengok dan tersenyum. “Eh, Bunda. Maaf Bunda, Mala tidak segera ke depan untuk bantuin Bunda lagi dan malah mencari mangga. Ada yang bisa Mala kerjakan lagi?” Wanita itu tersenyum dan menggeleng.  “Tidak, semua sudah selesai kok. Kamu mencari mangga? Padahal Bunda sudah sisakan untuk kamu tuh di almari dapur.” Mala terkekeh, “Kan tidak masak dari pohon Bunda, rasanya beda. Tapi Mala tetap mau kok, Mala tidak bisa menahan godaan buah mangga.” Wanita itu tersenyum kemudian duduk di bawah pohon mangga. “Bunda, Mala ambil pisau dulu ya.”
“Pagi-pagi kamu sudah mau sarapan mangga? Makan nasi dulu!”
Mala mendengus sebal. Kemudian duduk di sebelah wanita itu.
“Bagaimana kuliahmu, Nduk?”
“Lancar, Bunda. Tapi hasil yang Mala terima kurang begitu memuaskan.”
“Kok bisa? Bukannya hasil itu sesuai usaha kamu?”
“Iya sih, Bunda, tapi aku merasa belum maksimal. Aku bisa lebih dari itu.”
Wanita itu tersenyum tipis dan berkata dengan lembut.
“Hasil yang kamu terima itu pasti sesuai dengan usaha kamu. Kalau kamu mau hasil yang maksimal, usaha kamu juga harus maksimal. Mana bisa usaha biasa tapi hasil yang didapat maksimal?”
Mala menengok ke arah wanita itu kemudian menunduk.
“Iya Bunda, Mala harus lebih semangat di semester depan. Harus! Usaha Mala harus maksimal supaya hasil yang Mala dapat juga maksimal.” Mala berujar dengan penuh semangat.
“Dan pastinya, Mala ingin Bunda tersenyum bangga karena Mala.” Mala memeluk wanita di sebelahnya. Suasana hening sejenak. Mereka semua berdiam dengan hati yang tetap berbicara, berdoa kepada Tuhan.
“Mala, besok hari Minggu Bunda ada acara perkumpulan istri pegawai di kantor Ayah. Jadi maaf ya, jalan-jalannya diganti hari lain saja.”
“Oh begitu, iyaa Bunda tidak apa-apa kok. Masih ada banyak waktu.” Mala terkekeh.
“Syukurlah kamu tidak keberatan. Kalau begitu kamu segera mandi biar wangi, masak iya anak gadis pagi-pagi tidak mandi.” Wanita itu bergaya menutup hidungnya dengan telapak tangan.
“Ih, Bunda meledek. Iya Mala mandi.” Mereka berdua tergelak. Kemudian Mala berlalu meninggalkan wanita yang tadi di sebelahnya tetap duduk di bawah pohon mangga.

***
            Selepas mandi Mala merasa tubuhnya lebih segar. Ketika dia mengeringkan rambutnya yang basah, ponselnya berdering. Dia pun segera bergegas mengambil ponselnya di meja kamarnya. “Driza.” Mala segera menekan tombol berwarna hijau di ponselnya.
“Halo, Driza.” Sapa Mala dengan penuh semangat.
“Hey. Semangat banget, Non.”
“Iya, dong kan aku baru selesai mandi jadi badanku segar terus aku jadi semangat deh.” Mala terkekeh.
“Baru mandi sekali saja bangga.”
“Ih, kamu ini. Aku setiap pagi mandi ya, walaupun terkadang baru mandi setelah pukul 12.00 sih.” Mala menggerutu walaupun tahu sebenarnya Driza hanya bercanda dan menggodanya.
“Yee, begitu saja kok ngambek.” Terdengar Driza menahan tawa di ujung telefon.
“Tuh kan sok tahu. Siapa juga yang ngambek? Huuu!! Ngomong-ngomong memangnya kamu sudah mandi?” Kini giliran Mala yang mengejek.
“Ya sudah dong, Non. Aku kan rajin.”
“Rajin apanya? Haha. Aku kira kamu belum mandi. Karena biasanya kamu masih kencan kalau pagi begini.”
“Hah? Kencan? Kencan sama siapa?” Driza terdengar panik mendengar pertanyaan Mala.
“Kencan sama..... catfish alias ikan lele.” Tawa Mala pecah.
“Ah, itu sudah bosen, La. Masak setiap hari aku kencan terus sama ikan lele terus kapan aku kencan sama kamu?” Driza terkekeh.
Mala hanya diam. Pipinya memerah. Jarang sekali Driza mengajaknya bertemu dan pergi bersama. Apalagi sejak Mala melanjutkan kuliahnya di luar kota.
“Nirmala?”
“Ehm, ini beneran?” Mala bertanya tidak percaya.
“Aku bohong. Iya lah, La aku serius. Apa aku segitunya ya sampai tidak ada yang menganggapku serius?”
Mala terkekeh, “Aku percaya kok kalau kamu seirus.”
“Jadi?”
“Terserah kamu saja, Za.”
“Kalau terserah ya lebih baik tidak usah.”
“Zaa..” Mala merengek.
“Oke deh, kamu mau pilih hari apa? Sabtu, Minggu, Selasa atau Rabu?”
“Bagaimana kalau hari Sabtu?’
“Oke, deal.”
Mala terdiam dan berpikir sejenak, “Memangnya kamu akan mengajakku kemana?”
“Apa destinasi itu perlu?”
Mala terdiam, “Entahlah, kalau belum ada bayangan ya lihat saja nanti deh.”
            Ketika Mala sedang sibuk menerima telfon dari Driza, tiba-tiba Bunda memanggilnya. “Mala. Nirmala, tolong bantu Bunda sebentar, Nak.” Mala yang mendengar panggilan dari Bundanya segera mengakhiri telfonnya dengan Driza, “Za, sudah dulu ya. Aku mau membantu Ibu. See you.” Driza menjawab dengan lembut, “See you too Nirmala.” Setelah mematikan ponselnya, Mala segera menghampiri Bundanya.
***
            Hari ini sabtu pagi. Mala baru terbangun dari tidurnya ketika hari masih terlalu pagi. Tidak seperti biasanya, Mala segera bergegas bangkit dan membereskan tempat tidurnya. Ketika kewajibannya telah selesai, Mala segera membersihkan halaman dan kebun. Semua selesai tepat pukul 06.00 pagi. Mala duduk di pelataran teras untuk melepas lelah.
            Seorang laki-laki berjalan menghampiri Mala. Laki-laki itu mengenakan baju batik dengan bawahan celana panjang berwarna hitam.
“Sudah selesai bantuin Bunda?” Mala tersentak kaget.
“Eh Ayah, sudah kok.” Ayah mengusap rambut Mala.
“Mala, Ayah mau minta tolong.” Mala menatap Ayahnya.
“Tolong nanti jam sembilan pagi antarkan Ibumu ke kantor Ayah. Ayah ada rapat mendadak jadi Ayah harus berangkat sekarang.”
“Hari ini, Yah? Jam sembilan?” Ayah mengangguk. Mala terdiam. Hatinya berdebat. Bukannya hari ini dia sudah ada janji dengan Driza tapi dia tidak mungkin menolak permintaan Ayahnya.
“Bagaimana Mala? Kamu bisa tolong Ayah kan?” Mala mengangguk. Ayah tersenyum.
“Terimakasih ya sayang.” Ayah berlalu meninggalkan Mala yang terdiam menatap langit pagi.
***
            Mala beranjak masuk ke dalam rumah. Dia segera meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Driza. Beberapa kali dia menelfon Driza namun tidak ada jawaban. Akhirnya dia mencoba mengirim pesan singkat.
“Driza, maaf hari ini aku tidak bisa datang. Ayah memintaku mengantar Bunda ke kantor Ayah nanti jam sembilan karena Ayah ada rapat mendadak. Maaf ya, Za. Bisa diganti hari lain?”

Mala cemas menunggu balasan pesan singkat dari Driza. Dia mondar-mandir di dalam kamarnya sembari menggenggam ponsel di tangannya.
            Beberapa saat kemudian ponselnya bergetar tanda ada pesan singkat yang masuk. Mala segera melihat itu pesan dari siapa dan ternyata itu yang dia tunggu, dari Driza.
“Iya, tidak apa-apa. Antarkan Bundamu, itu lebih penting. Masih ada waktu lain kok.”

Mala mengembuskan napas panjang. Ia merasa lega.
“Terimakasih Driza. Diganti hari Selasa ya. See you.”

“Iya, see you too.”

***

            Senin malam. Mala tengah berbaring di kamarnya. Dia tidak bisa tidur. Dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri bimbang memikirkan esok hari. Dia baru menyadari bahwa esok adalah tanggal 30 Desember, menjelang akhir tahun. Mala tidak bisa membayangkan betapa padatnya lalu lintas yang akan di hadapinya nanti. Ya, orang-orang yang terlalu mengistimewakan tahun baru pasti akan memadati jalanan untuk mempersiapkan pesta tahun baru. Belum lagi bahu-bahu jalan yang di penuhi oleh pedagang kaki lima dadakan. Juga, tahun baru ini tepat ada di momen liburan akhir semester bagi siswa sekolah. Sudah tergambar jelas di benak Mala betapa semerawutnya lalu lintas esok hari.
            Di sisi lain, Mala tidak ingin memutuskan untuk tidak datang lagi. Kemarin dia sudah membatalakannya, tidak mungkin dia akan membatalkannya untuk yang kedua kalinya. Mala tidak ingin membuat Driza kecewa. Di tengah kebimbangannya, tiba-tiba ponsel Mala bergetar. Dari Driza.
“Jangan tidur terlalu larut, Nirmala.”

“Iya, Driza. Aku belum bisa tidur. Entah kenapa.”

“Ada yang kamu pikirkan?”

“Tidak juga”
Mala menghela napas panjang. Dia lebih bimbang lagi untuk mengataknnya kepada Driza atau tidak.

“Mala, aku tidak yakin besok kita bisa bertemu.”

“Kenapa begitu, Za?”
Mala terkejut. Sempat dia berpikir apakah Driza bisa membaca pikirannya. Ah, itu terlalu konyol, pikir Mala.

“Sebentar lagi tahun baru, aku yakin lalu lintas akan semakin ramai. Tidak ada orangtua yang rela melepas anak perempuannya keluar saat lalu lintas seperti itu, bisa membahayakan.”
            Mala tahu, Driza tidak mungkin bis menjemputnya. Jarak rumah mereka terlalu jauh. Dan tempat yang mungkin akan jadi destinasi mereka ada di antara kediaman mereka.

“Driza aku boleh jujur?”

“Tentu saja, silakan.”

“Sebenarnya aku juga bimbang untuk pergi esok pagi. Aku sudah lama tidak mengendarai motor. Belum lagi lalu lintas padat. Aku takut malah membahayakan diriku sendiri. Tapi aku juga tidak mau membatalkan ini untuk yang kedua kalinya.”

“Tidak apa-apa, Mala. Aku mengerti.”

“Maaf, Driza. Aku meminta maaf dengan sangat pada kamu. Maaf sudah membuatmu kecewa.”
Lama ponsel Mala tidak bergetar. Mala semakin merasa tidak enak kepada Driza.
“Driza?”

“Setidaknya aku hanya kecewa, Mala. Bukan sangat kecewa. Aku mengerti, Mala. Sudahlah tidak apa-apa.”

            Mala tidak sanggup membalas pesan tersebut. Mala hanya memandangi pesan terakhir itu dengan penuh rasa bersalah. Driza kecewa. Kecewa. Mala terdiam. Pikirannya melayang. Kenapa dia selalu melakukan ini? Menjadi seseorang yang penakut. Menjadi seseorang yang mudah membatalkan janji. Menjadi seseorang yang memiliki beribu alasan. Orang yang susah untuk ditemui. Ini bukanlah kali pertama dala hidup Mala. Begitulah perasaan Mala yang terus berkecamuk sampai akhirnya ia terlelap arena lelah berdepat dengan hati dan pikirannya.
***
            Beberapa hari setelah kejadian itu, masa liburan Mala telah usai. Dia akan kembali ke luar kota untuk menempuh pendidikannya di perguruan tinggi. Mala tidak menghubungi Driiza. Mala merasa itu hanya akan memperkeruh suasana. Driza masih ingin sendiri, begitu pikirnya.
            Sesampainya di kota tujuan, Mala belum juga menghubungi Driza. Sampai akhirnya pada malam hari, Mala memberanikan diri untuk menghubungi Driza. Mala akan menerima semua konsekuensinya. Mala sudah bertekat. Dia tidak mau terus diam seperti ini.
“Driza, aku sudah sampai di Surabaya.”

“Iya. Kuliah yang rajin.”

“Pasti Driza, aku harus bisa lebih baik dari semester lalu.”

“Semangat, kamu pasti bisa. Berusahalah semaksimal mungkin sehingga hasil yang kamu dapat juga maksimal. Minimal 3,9 ya IP semester depan.”

“Aku pasti berusaha semampuku, Za. Aku tidak mau main-main lagi. Aku mau benar-benar serius dengan pendidikanku.”

“Bagus. Jangan menyerah.”

“Terimakasih, Driza.”
Tidak ada jawaban. Driza memang menjawab semua pesan Mala. Driza juga tetap  memberinya dukungan. Namun, Mala merasakan ada yang berbeda. Mala tahu, Driza sedang tidak baik suasana hatinya. Mala tidak berharap pesan itu dibalas.
            Hari-hari berikutnya masih sama seperti itu.Driza tetaplah dingin. Bahkan semakin dingin. Mala semakin merasa bersalah. Mala tahu, mungkin dia hanyalah pengeruh suasana. Driza butuh teman berbagi, oleh sebab itu dia menghbunginya dan memintanya untuk bertemu tapi Mala tidak pernah datang. Mala hanya menerka-nerka. Dia hanya lah penambah masalah untuk Driza.
            Tiba-tiba, ponsel Mala bergetar. Mala berharap itu pesan dari Driza. Namun, setelah dilihatnya, itu dari Gio.
“Mal, kamu ada waktu?”

“Ada apa, Gi?”

“Aku mau ketemu kamu, aku ingin berbicara dengan kamu. Penting.”

“Ada. Besok jam tiga sore aku kosong.”

“Oke.”
            Keesokan harinya selepas kuliah, Mala pulang ke kamar kontrakan yang ia sewa sebagai tempat tinggal sementara di Surabaya. Penat, lelah, pusing, semua bercampur membuat Mala hanya ingin memejamkan matanaya sekejap. Setelah beganti pakaian, Mala merebahkan badannya pada tempat tidur. Tidak lama kemudian Mala memang benar-benar tertidur.
            Dering ponsel membangunkan Mala dari tidurnya. Dengan keadaan yang masih mengantuk, dia menjawab panggilan yang masuk itu.
“Halo.” Jawabnya lemah.
“Kamu dimana, Mal? Aku sudah di kafetaria.”
“Hah? Ini jam berapa sih?”
“Ini sudah hampir jam empat Mala.”
“Hah yang benar kamu?” Mala tersentak kaget. Matanya terbelalak. Dia segera melirik jam di dinding. Mampus, sudah pukul empat, pikirnya.
“Aku tidak tahu kafetaria itu dimana, ku pikir kamu akan menjemputku.”
“Gila, gimana sih kamu.”
“Ya, maaf tapi aku benar-benar tidak tahu.”
“Oke, aku sekarang jemput kamu.”
Mala mematikan telfonnya. Dia segera berlari ke kamar mandi membersihkan badannya dan mengganti baju. Tepat setelah itu semua selesai ponselnya bergetar.
“Aku tidak tahu dimana kontrakanmu. Aku sekarang ada di mulut gang dekat kampus kamu.”

“Iya, tunggu lima menit aku akan ke sana.”
Mala bergegas pergi menemui Gio. Ia berjalan dengan cepat namun tidak berlari.
“Sorry, Gi, aku tadi tidur dan lupa kalau ada janji sama kamu.”
“Nggak masalah kok, Mal. Ayo ikut.”
“Kemana?”
“Ke tempat yang enak dibuat ngobrol.”
Tanpa berpikir panjang, Mala menurut saja. Mereka pergi ke salah satu kafe di dekat kampus Mala. Dua jam lebih mereka menghabiskan waktu untuk berbincang. Teman-teman Mala memang merasa Mala adalah tempat yang ideal untuk berbagi, untuk itu lah Mala biasa menjadi tempat curhat bagi teman-temannya.
            Mala sampai di kontrakannya lagi setelah hari telah petang. Perutnya terasa kenyang setelah menyantap semangkuk soto ayam dan segelas teh hangat. Setelah berganti pakaian, sebersit terlintas di benak Mala untuk menghubungi Driza. Mala memberanikan dirinya lagi untuk menghubungi Driza.
“Driza, apakah kamu baik-baik saja?”

“Seperti yang kamu tahu, aku sedang kurang baik, kurang enak badan juga.”

“Baiklah, kamu istirahat saja.”
Tidak ada balasan lagi. Sepertinya Driza masih tetap sedingin es. Ya, itu semua juga tidak terlepas dari kesalahan Mala sendiri.
            Beberapa hari kemudian, tanpa di duga oleh Mala, Driza menghubunginya.
“Mala, bagaimana keadaanmu?”

“Baik, Za. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Bagimana keadaanmu? Apakah sudah lebih baik?”

“Iya, aku merasa lebih baik.”

“Syukurlah.. Driza, kemarin aku bertemu Gio. Dia mengajakku pergi dan dia bercerita banyak. Cerita-cerita Gio malah membuatku ingin menjadi penulis dadakan.. hihihi.”

“Kamu bertemu Gio???”

“Iyaa.”
Hening. Tidak ada jawaban. Lama Mala menunggu. Lama Mala berdiam. Mala bertanya-tanya mengapa Driza tidak membalas pesannya? Apakah ada kata-katanya yang menyakiti Driza. Lama Mala berpikir. Mala menghela napas panjang. Dia berpikir apakah dia salah jujur pada Driza bahwa dia baru saja pergi dengan Gio sedangkan dia membatalkan janjinya bertemu dengan Driza sebanyak dua kali? Mala terdiam.
“Driza, aku minta maaf.”
Tetap tidak ada jawaban. Mala hanya diam. Matanya terpejam. Benaknya terus saja berdebat. Seharusnya dia tidak berkata jujur pada Driza. Driza baru saja mencair tapi karena kejujuran Mala, Driza kembali membeku karena kekecewaan. Namun, Mala tidak bisa menahan untuk berkata jujur. Mala mengakui bahwa dirinya memang salah. Dua orang itu sama-sama membutuhkannya, namun ia hanya bisa membantu salah satu saja. Mala merasa kecewa kepada dirinya sendiri, mengapa ia menjadi seperi ini? Mala kecewa karena dia telah membuat kecewa orang lain. Mala tidak tahu lagi bagaimana caranya agar Driza mau memaafkannya. Mala hanya bisa menunggu dingin dan kebekuan dalam diri Driza mencair kembali walaupun itu butuh waktu yang tidak sebentar. “Driza, maafkan aku.” Mala memejamkan mata dan pada saat itu, butiran air mata luruh membasahi pipinya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar