Seorang gadis berjas putih tengah berdiri menghadap lemari
asam yang suaranya menderu memecah keheningan malam. Tubuh ringkihnya seakan sudah
tak sanggup lagi berdiri tegak. Rona hitam membayangi kedua matanya. Wajahnya
kusam karena peluh. Tubuhnya tak lagi berbau Angel Heart, hanya amonium sulfida yang menguar dan menempel
menyelubunginya.
“Allena,”
seorang laki-laki bersuara berat dan berkaus hitam dengan celana jeans belel
melongok dari pintu laboratorium. Rambutnya gondrong dan berombak. Gadis itu
tak menggubris. Dalam pikirnya hanya ingin segera menyelesaikan analisis
kandungan logam berat dalam sampel limbah pabrik yang dibawa pegawai dinas
kesehatan tadi pagi.
“Allena,”
laki-laki itu tidak mau menyerah. Dia terus mencoba memanggil gadis itu
sehingga menoleh ke arahnya namun, hasilnya nihil. Gadis itu masih serius
mengamati tabung reaksi berisi sampel ditangannya.
Laki-laki
itu mulai geram. Dia pun berjalan ke arah Allena dan berbisik lembut di telinga
gadis itu. “Allena,” suara khasnya beradu dengan deru lemari asam. Tetap tidak
ada respon. Dia mulai geram. Dia berdiri di samping Allena, mengacung-acungkan
jarinya sembari memaki Allena, “Allena, apa kamu tuli? Apa kamu buta? Allena,
tengoklah aku sebentar. Aku datang sesuai janji kita.” Napas pemuda itu
tersengal. Pundaknya naik turun seiring emosi yang memuncak.
Allena
berjalan menjauh tanpa respon dan terus berkonsentrasi dengan sampel
di tangannya, “sebentar lagi akan kupasyikan adanya kandungan krom dalam limbah
ini.” Allena mengasamkan filtrat berwarna kuning dalam tabung reaksi dengan
asam sulfat kemudian menambahkan eter dan hidrogen peroksida ke dalamnya.
Allena menggoyang-goyangkan tabung reaksi itu. Tepat ketika mulai timbul warna
biru tua pada lapisan eter, ponsel Allena berbunyi.
Allena
merogoh ponsel di jas putihnya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya
masih sibuk menggoyang-goyangkan tabung reaksi. Alena melirik layar ponselnya
yang berkedip menampakkan sebuah reminder.
Hari ini ada hujan meteor
geminid.
Kita harus melihatnya bersama.
Kita harus melihatnya bersama.
Lazuardi
Allena memejamkan matanya sejenak. Dia memasukkan ponsel itu
kembali ke dalam kantung jas putihnya kemudian mengamati lapisan biru pada
tabung reaksinya. Allena segera mencatat semua hasil uji yang telah
dilakukannya.
Tepat
pukul 02.00 Allena membereskan laporan hasil uji sampel limbah untuk diserahkan
kepada dinas kesehatan esok pagi. Dia juga sudah melipat jas putihnya dan
memasukkannya ke dalam tas. Setelah dirasa cukup, Allena mengecek aliran
listrik pada alat-alat yang tadi digunakannya untuk penelitian. Kemudian Allena
mengunci pintu laboratorium dan berjalan keluar. Sudah bukan hal baru jika ia
harus bekerja di laboratorium hingga dini hari.
Allena
berjalan menyusuri jalanan di antara gedung-gedung tinggi. Sampai tiba di tanah
yang lebih lapang, Allena menengadah menatap langit. Tampak cahaya putih
bergerak melintasi langit. Indah. Bagaikan harapan di tengah keputus asaan.
Allena meraih ponselnya dan mengabadikan momen itu dengan senyum di bibirnya.
***
Allena
berjalan tergopoh menyusuri lorong rumah sakit. Langkahnya baru terhenti ketika
ia sampai di ujung lorong. Seorang wanita berpakaian putih keluar sambil
membawa laporan di tangannya. Wanita itu tersenyum dan menyilakan Allena untuk
masuk.
Allena
masuk dan mendapati sosok tubuh yang tergolek lemah di atas tempat tidur dengan
mata terpejam. Tubuh itu tetap hidup bertopang pada alat-alat disekelilingnya.
Allena mendekati tubuh itu dan membelai tangannya, “Selamat pagi, Kakak. Sesuai
janji kita, kita akan melihat meteor geminid bersama.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar