Rabu, 18 Februari 2015

Malu



http://fighteden.deviantart.com/art/Danbo-is-sleepy-330565601

 sumber gambar : http://fighteden.deviantart.com/art/Danbo-is-sleepy-330565601

Ara masih terdiam di ujung telfon. Ia menunggu seseorang di ujung telfon lainnya mengucapkan sesuatu sembari memainkan kabel telepon yang berbentuk spiral. Satu menit, dua menit, hanya terdengar suara embusan napas saja. Ara mencoba membuka suara.
“Kok diam sih, Al? Nanti kalau aku tinggal kabur bagaimana?” Ara menggoda dan terkekeh. Terdengar suara tawa pula dari ujung telfon.
“Kalau pun kamu kabur, aku bisa apa sih, Ra?”
“Kok ngomongnya gitu sih, aku kan cuma bercanda.”
Kembali tak ada suara yang terdengar. Sosok itu hanya tersenyum di ujung telfon.
“Ra.. aku mikir sesuatu.”
“Mikir apa, Aldi?” Sahut Ara antusias.
“Mikir seandainya suatu saat aku sama kamu ada di tengah keramaian.”
“Di tengah keramaian seperti apa maksudnya? Keramaian macam apa?” Suara Ara memelan.
“Ya keramaian. Entah itu di jalan, di taman, di manapun dan di sana kita bersama. Berjalan bergandengan. Di sana pula ada teman-temanku dan teman-temanmu. Pada saat itu kita melepas genggaman tangan kita dan berjalan ke arah teman kita masing-masing.”
“Kenapa tidak kita temui bersama saja? Kenapa harus melepasnya?”  Tanya Ara penuh rasa ingin tahu.
“Karena aku berpikir kamu pasti malu... bersamaku.”


Ara menghela napas panjang dan terdiam sejenak.
“Kenapa aku harus malu, Al? Apa yang membuatku malu? Memangnya aku sedang berjalan dengan pencuri? Pembunuh? Kamu kan bukan pencuri, bukan juga pembunuh. Jadi tidak ada alasan untukku merasa malu”
“Ya, mungkin saja.”
“Semua manusia itu sama, tidak peduli laki-laki perempuan, tua muda, miskin kaya, semua sama di hadapan Tuhan. Hanya amalan yang membedakannya. Kita sudah tinggal selangkah lagi untuk bersama, apa kamu mau mundur?”
Suasana hening. Kedua manusia itu terdiam di ujung telfon masing-masing.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan sekarang. Sudahlah, tidak usah mementingkan pandangan orang lain dan perasaan-perasaan negatif yang meracunimu untuk ragu. Kita sudah sejauh ini, sangat sakit jika harus mundur dan jatuh.”
Tidak ada jawaban. Masih diam.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu, Al. Semua keputusan ada padamu...”  Suara Ara melemah.
“Aku tidak akan mundur, Ra. Aku tidak mau membuang apa yang selama ini aku perjuangkan dan sudah ku genggam.”
Ara tersenyum di ujung telfon, menitikkan sedikit air mata yang mendesak keluar dari pelupuk matanya. Jawaban itu sangat melegakan baginya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar