Senin, 09 Maret 2015

Di Balik Senja




http://mbaht21.blogspot.com/2012_05_01_archive.html

 sumber gambar : http://mbaht21.blogspot.com/2012_05_01_archive.html

“Kamu disini? Kenapa tidak turut mencoba jagung yang dibakar anak-anak lain?”
Aku hanya diam di bawah pohon kelapa. Menikmati senja di pinggiran pantai.
“Ran, kok diam? Ada masalah?”
Aku menggeleng dan tersenyum menatap seseorang yang menegurku.
“Akan jauh lebih baik jika aku disini, Mar.”
Mendengar jawabanku, bukannya Marni berlalu tetapi dia malah menarik tanganku dan memaksaku berdiri.
“Kemana?” Raut wajahku menyiratkan penuh tanda tanya.
“Jalan-jalan.” Jawab Marni singkat.
            Marni membawaku ke bibir pantai. Membiarkan langkah-langkah kami tersapu ombak. Menikmati belaian angin yang bertiup tidak begitu kencang namun cukup membuat daun-daun kelapa bergoyang. Beberapa waktu lamanya sampai langkah kami membawa kami sedikit lebih jauh dengan rombongan piknik hari ini.
“Kamu kenapa, Ran?”
“Aku baik-baik saja, Marni.”
“Tidak, aku tahu kamu sedang merasa tidak nyaman.”
Aku hanya menimpali dengan senyum.
“Ran..” Marni menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Air mukanya menunjukkan dia butuh sebuah penjelasan. Aku hanya tersenyum dan melanjutkan langkahku.


“Mar, kamu tahu kan Allah itu Maha Adil?”
“Iya, aku tahu.” Kini Marni berjalan di sampingku.
“Allah telah menciptakan manusia lengkap dengan kelebihan dan kekurangan sesuai porsinya. Allah selalu memberi yang dibutuhkan hambanya, bukan yang diinginkan hambanya.”
“Iya, tapi apa hubungannya?”
Aku tersenyum, “Kamu tahu, selama kamu hidup kamu pasti melakukan yang terbaik agar semua orang menerimamu. Tapi apa? Dari sekian banyak manusia pasti ada segelintir yang mencibir sebaik apapun kamu berusaha. Itu sudah hukum alam.”
Marni terdiam.
“Mereka pasti mencari kekuranganmu, tanpa mau menggubris kelebihanmu untuk terus menjatuhkanmu. Kamu pasti tidak menginginan itu, tapi sebenarnya kamu butuh.”
“Kok bisa, Ran? Aku tidak butuh orang-orang membenciku. Aku tidak mau.” Sahut Marni dengan polos.
“Iya, kamu butuh. Darimana kamu akan belajar sabar jika tidak ada mereka? Darimana kamu akan belajar mensyukuri hidupmu tanpa mereka? Darimana kamu belajar menghargai orang lain tanpa mereka? Darimana kamu belajar ikhlas tanpa mereka? Kamu tetap butuh mereka. Oleh karena itu Allah menghadirkan mereka dalam hidupmu.”
“Kok jadi membahas aku? Aku kan hanya ingin tahu alasan kamu menghindar, Ran.”
Aku terkekeh.
“Itu hanya perumpamaan, Marni.”
“Aku tidak mengerti, Ran. Jawab secara langsung saja pertanyaanku.”
“Aku tahu, Mar, sebagian dari mereka terpaksa peduli padaku, terpaksa bersikap ramah padaku dan aku tahu mereka selalu membicarakan aku di belakangku. Aku sadar aku tidak sempurna. Aku tahu sebaik apapun aku bersikap diantara mereka akhirnya tetap ada yang tidak suka padaku.”
Aku menghela napas panjang.
“Hari ini adalah hari yang spesial untuk mereka. Aku disini diundang hanya sebatas formalitas. Mereka tidak berharap aku datang. Aku tahu. Makanya lebih baik aku menyendiri saja ketika mereka tengah menikmati bahagia mereka.”
“Tapi yang kamu lakukan sekarang tidak selamanya benar, Ran.”
Marni menghela napas panjang.
“Mungkin hari ini mereka berusaha menghargaimu. Membunuh kebencian mereka, walaupun hanya untuk satu hari saja. Apa kamu tidak ingin menghargai mereka?”
Aku hanya diam.
“Mendekatlah, Ran, sapalah mereka. Hargai usaha mereka.”
Aku menatap Marni. Marni mengangguk dan menggandengku menuju gerombolan rombongan piknik hari ini.
“Wah, harum banget jagungnya.” Beberapa orang menoleh dan melambaikan tangannya mengisyaratkan agar kami mendekat. Benar kata Marni, aku harus berusaha menghargai usaha mereka juga. Kami pun bercegkerama hingga matahari benar-benar tergelincir di ufuk Barat. Kecuali Indah. Ya, aku tahu dia sangat membenciku. Aku pun tak tahu kenapa.
            Hari mulai gelap. Kami memutuskan untuk segera pulang. Saat semua orang membereskan perkakas yang berceceran di pantai, aku menyelipkan selembar kertas di tas Indah.

            Tidak ada manusia yang sempurna. Semua sudah diciptakan Allah dengan kelebihan
            dan kekurangan sesuai porsinya. Sikap kita bukan mencintai kelebihan dan membenci
            kekurangan tapi hargailah keduanya. Maaf jika belum bisa menjadi teman yang
            sempurna.

                                                                                                                        Kirana

Tidak ada komentar :

Posting Komentar