Kamis, 26 Maret 2015

Udin Kingkong : Sepenggal Kisah si Raja Singkong part 2

http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/07/16/sepeda-tua-bapak-478223.html

 sumber gambar : http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/07/16/sepeda-tua-bapak-478223.html

Sekar berjalan menghampiri seorang laki-laki yang usianya mungkin sudah tiga perempat abad. Sekar biasa memanggilnya Abah. Beliau adalah Ayah dari Ibunya. Abah memang tinggal bersama keluarga Sekar setelah istrinya meninggal.
            Abah masih saja asik membolak-balikan koran di hadapannya. Kacamata tebal menghiasi wajahnya. Walaupun kemampuan penglihatan Abah sudah menurun, tapi Abah tidak pernah mau menghilangkan hobinya membaca. Abah selalu berkata, dengan membaca kamu akan tahu apa yang terjadi di dunia, kamu akan tahu apa yang tidak diketahui orang lain, kamu tidak akan bisa ditipu orang karena kamu tidak hanya berilmu tapi juga berwawasan.
            “Abah.” Sekar menyentuh pundak Abahnya. Abah menoleh, “Ada apa, Nduk?”
Sekar tersenyum dan berdiri di samping kursi Abah. Sekar tidak bisa jauh-jauh dari Abah bila sedang mengajak beliau berbincang karena kemampuan pendengaran Abah juga mulai menurun.
“Abah, apa Sekar boleh meminjam sekarung singkong di gudang?”
“Meminjam, nduk? Buat apa? Ambil saja seperlumu tidak usah meminjam.”
“Bukan, Bah, buka untuk Sekar.”
“Lantas untuk siapa?”
“Untuk teman Sekar, Bah. Sekar ingin meminjaminya modal.”
“Modal?”


“Iya, Bah. Sekar ingin membantu teman Sekar, Bah. Sekar tahu, dia tidak akan mau bila Sekar begitu saja memberinya uang. Oleh karena itu, Sekar berpikir untuk membantunya dengan memberinya modal. Supaya dia bisa membuat usaha yang nantinya bisa meringankan perekonomian keluarganya.”
“Usaha apa, nduk?”
“Sekar ingin dia berjualan olahan singkong, Bah.”
“Siapa memangnya temanmu itu?”
“Udin, Bah. Anaknya Pak Yono.”
Abah meletakkan koran yang tadi dibacanya. Sekar menahan napas.
“Tidak usah meminjam, Sekar. Abah dengar Udin itu anak yang rajin. Berikan saja singkong itu, sebagai gantinya biarkan dia mengurus dan mengawasi kebun singkong Abah”
“Benar, Bah?” Abahnya mengangguk, Sekar menghela mengembuskan napas panjang dan memeluk Abahnya dari belakang. “Terimakasih, Abah.”
***
            Setelah selesai membabat rumput untuk makanan kambing tetangganya, Udin bergegas ke rumah Sekar. Udin mengendarai sepeda butut berwarna coklat kemerahan. Warna merah yang dihasilkan karat dari besi yang teroksidasi. Karat itu yang menjadi saksi bisu perjuangan hidup Udin. Hujan, panas, sepeda tua itulah yang menemani Udin menerjangnya.
            Beberapa saat Udin sudah bisa melihat rumah Sekar. Udin juga melihat Sekar tengah duduk di teras rumah. Udin membelokkan sepedanya memasuki halaman rumah Sekar yang luas. Sekar segera berlari menghampiri Udin. Udin turun dari sepedanya dan menegakkan besi untuk menjaga sepedanaya agar tetap berdiri tegak. Udin mengambil rantang yang mulanya tergantung di stang sepedanya.
“Selamat sore, Sekar. Kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku bawa.”
“Dan kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan. Mari masuk, Din.”
Udin diam.
“Loh, Din. Ayooo!”
Udin menggeleng. “Bagaimana kalau di sana saja Sekar? Tidak enak masuk rumahmu, aku baru pulang ngarit.” Udin menunjuk kursi kayu panjang yang ada di bawah pohon mangga di halaman rumah Sekar.
“Baiklah.” Sekar berjalan ke bawah pohon mangga diikuti Udin.
            Mereka duduk bersebelahan. Udin membuka rantang yang dibawanya. Sekar mencium aroma gurih yang menggoda selera. Sekar pun melirik ke arah rantang itu.
“Kamu membawa apa, Din?”
“Kamu pasti tidak percaya Sekar. Ini singkong goreng spesial.”
“Spesial?” Sekar bertanya dengan tatapan ingin tahu.
“Iya.” Udin mengangguk bersemangat. Udin menyodorkan rantang itu pada Sekar. “Cicipilah.”
Sekar segera mencuil sedikit singkong goreng itu. Sekar menghirup aromanya. Menasukkan secuil singkong itu ke dalam mulutnya. Mengunyahnya. Menikmati sensai gurih dan lembut dari singkong goreng yang tidak seperti singkong goreng pada umumnya. Mata Sekar terpejam.
“Sekar, bagaimana rasanya?” Udin menatap Sekar dengan ragu.
“Luar biasa.” Sekar tersenyum lebar menimbulkan kelegaan dan perasaan hangat yang memenuhi hati Udin.
“Alhamdulillah.” Udin tersenyum puas.
“Apa yang kamu tambahkan dalam singkong goreng ini sampai teksturnya lembut dan rasanya begitu gurih?” Sekar ingin tahu bumbu rahasia apa yang dibubuhkan Udin pada singkong gorengnya.
“Mentega. Tadi aku melihat mentega cair sisa yang digunakan Ibu untuk membuat kue pesanan tetangga. Mentega yang dicairkan terlalu banyak dan menyisakan sisa. Daripada terbuang sia-sia, aku mencoba mencelupkan singkongku ke dalamnya dan mendiamkannya beberapa menit baru aku goreng. Seperti yang kamu katakan, ternyata rasanya luar biasa.”
Sekar terdiam sejenak.
“Singkong mentega!” Sekar berseru. “Bagaimana kalau kamu mencoba membuat singkong mentega dan menjualnya, pasti laku keras, Din.” Sekar tampak antusias. Pada keadaan ini, bola mata Sekar semakin berbinar penuh semangat membuat Udin luluh menatapnya.
“Hah? Boro-boro dijual Sekar, untuk makan saja susah kok.”
Sekar menepuk pelan keningnya. “Aduh, aku sampai lupa.”
Sekar menatap Udin, meyakinkan, “Kalau masalah itu kamu tenang saja, aku akan memberimu modal.”
Udin hendak menolak namun Sekar lebih cepat menyambar melanjutkan kata-katanya, “tidak cuma-cuma kok modalnya. Kamu harus mengurus kebun singkong Abah dan mengawasinya, nanti aku akan memberimu sekarung singkong. Bagaimana?”
Udin ternganga. “Kamu tidak bercanda kan Sekar?”
Sekar menggeleng pelan.
“Alhamdulillah....” Udin mengusapkan telapak tangannya pada wajahnya. “Terimakasih, Sekar.”
“Semangat ya, Udin.” Sekar meremas pundak Udin pelan. Udin mengangguk dan tersenyum.
            Udin dan Sekar tetap duduk di sana sampai jingga menggelayuti angkasa.


Bersambung....

Tidak ada komentar :

Posting Komentar