Kamis malam, tanggal 13 Februari
2014 sekitar pukul 22.50 yang lalu, gunung api kebanggaan warga Kediri yaitu
Gunung Kelud mengalami erupsi. Erupsi terjadi beberapa jam setelah status
gunung tersebut dinaikan menjadi awas. Detik-detik ketika terjadi erupsi
ditandai dengan terdengarnya bunyi gemuruh. Bahkan suara gemuruh tersebut
terdengar hingga radius lebih dari 60 km. Seperti ada kilat dan petir yang
menyambar langit kota Kediri waktu itu. Hujan pun turun. Bukan hujan air,
melainkan hujan pasir dan kerikil. Mengerikan, ya mungkin itu kata yang
terlintas saat kita membayangkan kejadian tersebut.
Seluruh wilayah Kediri dan sekitarnya terselimuti oleh
butiran pasir dan kerikil material erupsi Gunung Kelud. Bahkan bukan hanya
wilayah Kediri namun, abu ini menyelimuti hampir sebagian pulau Jawa dengan
ketebalan abu yang bervariasi. Saya tidak akan membahas secara mendetail dampak
erupsi Gunung Kelud kali ini. Yang akan saya bahas adalah dampak erupsi Gunung
Kelud yang saya alami.
Kejadian ini di mulai pukul 22.50 WIB. Ketika itu saya baru
saja terlelap dan baru memasuki alam mimpi. Ibu saya masih terjaga dan beliau
tengah menyaksikan acara televisi. Sampai tiba-tiba terdengar gemuruh dan suara
seperti hujan. Ponsel Ibu saya berdering menandakan ada panggilan masuk. Dan
benar saja, Ayah saya yang masih berada di Pare menelpon Ibu saya.
Memberitahukan bahwa Gunung Kelud meletus. Sontak Ibu saya mematikan televise
dan berjalan keluar rumah. Tak lupa beliau mencoba membangunkan saya dan kakak
saya terlebih dahulu.
Di kamar Mas Dit…
Ibu : Dit, tangi. Gunung Kelud mbledos. (Dit, bangun. Gunung Kelud meletus).
Mas : ehmm. Sampun mbledos, Buk? (ehmm. Sudah meletus, Buk?)
Ibu : Uwis, mulane tangio. (Sudah, makanya bangun.)
Mas : Nggih mpun toh, Buk. Gunung Kelud mbledos lak yoben, arep kon ngapakne? (Ya sudah toh,
Buk. Gunung Kelud meletus ya biarkan saja, mau diapakan lagi?)
Tentu saja, Kakak saya berdialog dengan Ibu saya dalam keadaan setengah sadar dengan mata yang masih terpejam.
Ibu : Dit, tangi. Gunung Kelud mbledos. (Dit, bangun. Gunung Kelud meletus).
Mas : ehmm. Sampun mbledos, Buk? (ehmm. Sudah meletus, Buk?)
Ibu : Uwis, mulane tangio. (Sudah, makanya bangun.)
Mas : Nggih mpun toh, Buk. Gunung Kelud mbledos lak yoben, arep kon ngapakne? (Ya sudah toh,
Buk. Gunung Kelud meletus ya biarkan saja, mau diapakan lagi?)
Tentu saja, Kakak saya berdialog dengan Ibu saya dalam keadaan setengah sadar dengan mata yang masih terpejam.
Akhirnya Ibu masuk ke kamar saya…
Ibu : Cha..
Jelas tidak ada jawaban. Karena saya tidur terlalu nyenyak.
Ibu : Cha.. (sambil menggerakkan tangan saya dengan tujuan membangunkan saya).
Dan sudah jelas tidak ada respon apapun dari saya.
Ibu saya mulai putus asa dan akhirnya mengarahkan sinar senter ke arah wajah saya, berharap saya silau dan terbangun. Namun, hasilnya tetap nihil. Saya tetap terlelap.
Ibu : Cha..
Jelas tidak ada jawaban. Karena saya tidur terlalu nyenyak.
Ibu : Cha.. (sambil menggerakkan tangan saya dengan tujuan membangunkan saya).
Dan sudah jelas tidak ada respon apapun dari saya.
Ibu saya mulai putus asa dan akhirnya mengarahkan sinar senter ke arah wajah saya, berharap saya silau dan terbangun. Namun, hasilnya tetap nihil. Saya tetap terlelap.
Akhirnya Ibu keluar rumah sendiri.
Dan ternyata di teras rumah ada beberapa orang tetangga yang juga tengah
menyaksikan hujan pasir. Mereka menggunakan caping.
Keesokan
paginya ketika saya bangun. Saya membuka pintu dan kaget. Hawa mistis
menyelimuti seperti substansi abu-abu yang menyelimuti permukaan tanah dan
apapun yang saya lihat di luar. Cukup lama saya berdiri dan membeku disana.
Sampai akhirnya saya mengurungkan niat untuk ke kamar mandi dan memilih
meringkuk kembali di kamar sambil melihat ponsel saya. Ada empat pesan belum
terbaca. Pesan pertama dari Syafi’, sahabat sekaligus teman sekelas saya :
“Rek, bangun. Ada hujan pasir dan kerikil.”
Pesan kedua dari Arma, sahabat sekaligus teman sekelas saya juga :
"Beb, gimana keadaan disana? Baik-baik saja?”
Dua pesan selanjutnya tidak untuk dibahas disini :p
Dengan penuh kebingungan saya membalas pesan singkat mereka :
"Hey, ada apaan sih? Kok di hujan kerikil sama pasir? Rumahku jadi serem.”
“Ya ampun. Kemana aja kamu? Itu dampak Gunung Kelud yang meletus semalam”
“Oh, Gunung Kelud meletus ya? Wah aku baru tahu. Hehe, semalem aku tidur.”
“Masih bisa tidur? Padahal gemuruhnya itu serem banget kencang banget kamu nggak dengar dan nggak bangun?”
“Hehehe. Engaak. :D”
“Dasar kebo.”
“Rek, bangun. Ada hujan pasir dan kerikil.”
Pesan kedua dari Arma, sahabat sekaligus teman sekelas saya juga :
"Beb, gimana keadaan disana? Baik-baik saja?”
Dua pesan selanjutnya tidak untuk dibahas disini :p
Dengan penuh kebingungan saya membalas pesan singkat mereka :
"Hey, ada apaan sih? Kok di hujan kerikil sama pasir? Rumahku jadi serem.”
“Ya ampun. Kemana aja kamu? Itu dampak Gunung Kelud yang meletus semalam”
“Oh, Gunung Kelud meletus ya? Wah aku baru tahu. Hehe, semalem aku tidur.”
“Masih bisa tidur? Padahal gemuruhnya itu serem banget kencang banget kamu nggak dengar dan nggak bangun?”
“Hehehe. Engaak. :D”
“Dasar kebo.”
Itulah
sekilas percakapan singkat saya melalui media pesan singkat.
Setelah itu, saya keluar rumah dan
mencoba mengabadikan sisa-sisa letusan Gunung Kelud yang menyelimuti kebun Ibu
saya. Dan inilah hasilnya :
Tidak ada komentar :
Posting Komentar