Jumat, 07 Maret 2014

Ketika Kelud Erupsi




            Kamis malam, tanggal 13 Februari 2014 sekitar pukul 22.50 yang lalu, gunung api kebanggaan warga Kediri yaitu Gunung Kelud mengalami erupsi. Erupsi terjadi beberapa jam setelah status gunung tersebut dinaikan menjadi awas. Detik-detik ketika terjadi erupsi ditandai dengan terdengarnya bunyi gemuruh. Bahkan suara gemuruh tersebut terdengar hingga radius lebih dari 60 km. Seperti ada kilat dan petir yang menyambar langit kota Kediri waktu itu. Hujan pun turun. Bukan hujan air, melainkan hujan pasir dan kerikil. Mengerikan, ya mungkin itu kata yang terlintas saat kita membayangkan kejadian tersebut.
Seluruh wilayah Kediri dan sekitarnya terselimuti oleh butiran pasir dan kerikil material erupsi Gunung Kelud. Bahkan bukan hanya wilayah Kediri namun, abu ini menyelimuti hampir sebagian pulau Jawa dengan ketebalan abu yang bervariasi. Saya tidak akan membahas secara mendetail dampak erupsi Gunung Kelud kali ini. Yang akan saya bahas adalah dampak erupsi Gunung Kelud yang saya alami.
Kejadian ini di mulai pukul 22.50 WIB. Ketika itu saya baru saja terlelap dan baru memasuki alam mimpi. Ibu saya masih terjaga dan beliau tengah menyaksikan acara televisi. Sampai tiba-tiba terdengar gemuruh dan suara seperti hujan. Ponsel Ibu saya berdering menandakan ada panggilan masuk. Dan benar saja, Ayah saya yang masih berada di Pare menelpon Ibu saya. Memberitahukan bahwa Gunung Kelud meletus. Sontak Ibu saya mematikan televise dan berjalan keluar rumah. Tak lupa beliau mencoba membangunkan saya dan kakak saya terlebih dahulu.
Di kamar Mas Dit…
Ibu       : Dit, tangi. Gunung Kelud mbledos. (Dit, bangun. Gunung Kelud meletus).
Mas     : ehmm. Sampun mbledos, Buk? (ehmm. Sudah meletus, Buk?)
Ibu       : Uwis, mulane tangio. (Sudah, makanya bangun.)
Mas     : Nggih mpun toh, Buk. Gunung Kelud mbledos lak yoben, arep kon ngapakne? (Ya sudah toh,
              Buk. Gunung Kelud meletus ya biarkan saja, mau diapakan lagi?)
Tentu saja, Kakak saya berdialog dengan Ibu saya dalam keadaan setengah sadar dengan mata yang masih terpejam.
Akhirnya Ibu masuk ke kamar saya…
Ibu       : Cha..
Jelas tidak ada jawaban. Karena saya tidur terlalu nyenyak.
Ibu       : Cha.. (sambil menggerakkan tangan saya dengan tujuan membangunkan saya).
Dan sudah jelas tidak ada respon apapun dari saya.
Ibu saya mulai putus asa dan akhirnya mengarahkan sinar senter ke arah wajah saya, berharap saya silau dan terbangun. Namun, hasilnya tetap nihil. Saya tetap terlelap.
            Akhirnya Ibu keluar rumah sendiri. Dan ternyata di teras rumah ada beberapa orang tetangga yang juga tengah menyaksikan hujan pasir. Mereka menggunakan caping.
Keesokan paginya ketika saya bangun. Saya membuka pintu dan kaget. Hawa mistis menyelimuti seperti substansi abu-abu yang menyelimuti permukaan tanah dan apapun yang saya lihat di luar. Cukup lama saya berdiri dan membeku disana. Sampai akhirnya saya mengurungkan niat untuk ke kamar mandi dan memilih meringkuk kembali di kamar sambil melihat ponsel saya. Ada empat pesan belum terbaca. Pesan pertama dari Syafi’, sahabat sekaligus teman sekelas saya :
“Rek, bangun. Ada hujan pasir dan kerikil.”
Pesan kedua dari Arma, sahabat sekaligus teman sekelas saya juga :
 "Beb, gimana keadaan disana? Baik-baik saja?”
Dua pesan selanjutnya tidak untuk dibahas disini :p
Dengan penuh kebingungan saya membalas pesan singkat mereka :
"Hey, ada apaan sih? Kok di hujan kerikil sama pasir? Rumahku jadi serem.”
“Ya ampun. Kemana aja kamu? Itu dampak Gunung Kelud yang meletus semalam”

“Oh, Gunung Kelud meletus ya? Wah aku baru tahu. Hehe, semalem aku tidur.”
“Masih bisa tidur? Padahal gemuruhnya itu serem banget kencang banget kamu nggak dengar dan nggak bangun?”

“Hehehe. Engaak. :D” 
 “Dasar kebo.”
Itulah sekilas percakapan singkat saya melalui media pesan singkat.
            Setelah itu, saya keluar rumah dan mencoba mengabadikan sisa-sisa letusan Gunung Kelud yang menyelimuti kebun Ibu saya. Dan inilah hasilnya :






Tidak ada komentar :

Posting Komentar