sumber gambar : http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/07/08/cerita-tentang-kota-dan-sebuah-dusun-475473.html
Pagi ini boleh dibilang
pagi yang syahdu. Awan mendung yang bergelayut manja di angkasa menambah redup
matahari yang baru beranjak berdiri. Kilatan sinar matahari masih samar-samar
menembus pepohonan. Sisanya menyoroti butir-butir padi yang bijinya mulai
menguning. Cantik. Tak luput samarnya sinar itu juga turut menyinariku. Tidak
panas justru menghangatkan. Memantulkan kilau kecoklatan mahkotaku.
Aku berdiri memandangi lalu lalang kendaraan di
hadapanku. Masih terbilang sepi. Hanya beberapa orang yang berlalu. Ada yang
berseragam, membawa cangkul, bahkan ada yang berlari kecil menyongsong pagi.
Pagi ini belum berisik dan berpolusi. Sungguh jalanan ini berbeda jauh dengan
ketika aku pertama kali berdiri disini. Dulu jalanan ini hanyalah hamparan
tanah dengan pinggiran berpasir. Mereka yang lalu lalang hanya menggunakan
sepeda angin dan kaki. Pohon-pohon di pinggiran jalan juga masih banyak dan
teduh. Namun setelah hamparan tanah itu ditutupi aspal dan sebagian pohon
ditebang, keadaan menjadi begitu jauh berbeda. Mereka yang berseliweran
mengendarai motor memacunya dengan kencang. Belum lagi asap yang keluar dari
knalpotnya. Menjadikan bumi semakin panas dengan sumbangan polutannya.
Samar terlihat di kejauhan seorang gadis berseragam putih
abu-abu mengendarai sepedanya ke arahku. Si gadis tukang tanya. Terlihat wajah
ayunya dihinggapi peluh yang menetes di pelipisnya. Semakin dekat terdengar
suara napasnya yang terengah. Begitu saja dia memarkirkan sepedanya di sebelahku
kemudian duduk denganku. “Gila, aku kepagian.” gerutunya. Selain tukang tanya,
dia juga penggerutu. Seperti biasa, aku hanya diam dan berlaga sebagai
pendengar setia. “Ini jam berapa sih?” tidak ada respon, dia pun menengok
pergelangan tangannya. “Ternyata masih jam enam lewat lima belas menit, pantas
kok masih sepi.” Aku tersenyum melihatnya. Biasanya orang akan menggerutu jika
dia datang kesiangan, beda dengan dia yang malah menggerutu ketika datang
"kepagian".
“Sekarang hari apa sih?” sunyi. “Oh iya, hari selasa. Hari ini aku ada janji untuk bertemu Kak Oki, pantas aku datang pagi sekali.” satu hal yang patut dicatat lagi, dia juga gadis yang pelupa. “Duh, aku kok jadi pikun. Kenapa ya?” gadis itu menyangga dagunya dengan tangannya.
“Sekarang hari apa sih?” sunyi. “Oh iya, hari selasa. Hari ini aku ada janji untuk bertemu Kak Oki, pantas aku datang pagi sekali.” satu hal yang patut dicatat lagi, dia juga gadis yang pelupa. “Duh, aku kok jadi pikun. Kenapa ya?” gadis itu menyangga dagunya dengan tangannya.
Dari kejauhan tampak seorang pemuda mengenakan kaos putih
mengayuh sepedanya mendekat. Kulitnya gelap, badannya tegap, namun pipinya
terlihat berisi. Senyumnya ramah dan sorot matanya teduh. Gadis penggerutu yang
duduk denganku mulai melirik ke arah pamuda itu. “Apakah itu dia?” gadis itu
tampak salah tingkah. Nama pemuda itu adalah Oki. Ya, aku ingat beberapa waktu
lalu gadis ini bercerita padaku dan teman-temannya tentang pemuda bernama Oki. Dia mengatakan
padaku bahwa dia punya sahabat maya yang ternyata tinggal tidak jauh darinya
bernama Oki. Sudah empat tahun lamanya mereka bersahabat namun belum pernah
sekalipun mereka bertemu. Hari ini adalah hari pertama mereka bertemu dan aku
adalah saksinya.
Gadis penggerutu itu menunduk menyembunyikan rona merah
yang timbul di wajahnya. Pemuda itu semakin dekat dan berhenti tepat di depanku
dan gadis itu. “Sudah lama?” gadis itu mendongakkan kepalanya menatap pemuda
itu. “Kak Oki?” gadis itu bertanya ragu. Pemuda itu hanya mengangguk kecil dan
tersenyum ramah. “Kamu Mala kan?” gadis itu mengangguk mantap. “Berarti aku
tidak salah orang.” Pemuda itu menatap Mala, Mala pun melakukan hal yang sama.
Pada suatu titik aku melihat kedua mata mereka bertemu. Hanya sekejap namun,
membekas cukup dalam. Tanpa disadari, pemuda itu menyodorkan tangannya ke arah
Mala. “Hah?” Mala tampak bingung tapi membalasnya dengan menjabat tangan pemuda
itu. Pemuda itu tersenyum, “Oki Danuarta.” Mala menatapnya bingung, “Kan kita
sudah kenal?” Oki mengedipkan sebelah matanya,
“Tapi kan belum kenalan secara resmi.” Mala mengangguk dan menjabat tangan Oki lebih erat, “Tyas Nirmala.” Mala melepaskan tangannya. Keduanya terdiam sejenak sampai Mala membuka pembicaraan. “Ehm, mana Kak titipanku?” Mala membuka suara memecahkan dimensi yang sempat membeku di antara mereka. “Titipan apa sih?” goda pemuda bernama Oki tersebut. “Itu, tetralogi supernovaku.” jawab Mala sedikit sebal. Oki tersenyum dan mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Lalu menyodorkan sebuah bungkusan dalam kresek hitam kepada Mala. “Ini.” Mata Mala membulat dan berbinar. Dia tampak bahagia dengan senyum lebar di bibirnya. “Kakak sudah baca?” Oki mengangguk, “Sudah tapi belum semuanya.” Mala semakin ingin tahu, “Bagaimana Kak ceritanya? Bagus?”
“Ehm, lumayan lah. Aku sih sulit memahami yang seri pertama. Maklumlah aku sudah lama tidak belajar fisika dan kawan-kawannya.”
“Tapi kan belum kenalan secara resmi.” Mala mengangguk dan menjabat tangan Oki lebih erat, “Tyas Nirmala.” Mala melepaskan tangannya. Keduanya terdiam sejenak sampai Mala membuka pembicaraan. “Ehm, mana Kak titipanku?” Mala membuka suara memecahkan dimensi yang sempat membeku di antara mereka. “Titipan apa sih?” goda pemuda bernama Oki tersebut. “Itu, tetralogi supernovaku.” jawab Mala sedikit sebal. Oki tersenyum dan mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Lalu menyodorkan sebuah bungkusan dalam kresek hitam kepada Mala. “Ini.” Mata Mala membulat dan berbinar. Dia tampak bahagia dengan senyum lebar di bibirnya. “Kakak sudah baca?” Oki mengangguk, “Sudah tapi belum semuanya.” Mala semakin ingin tahu, “Bagaimana Kak ceritanya? Bagus?”
“Ehm, lumayan lah. Aku sih sulit memahami yang seri pertama. Maklumlah aku sudah lama tidak belajar fisika dan kawan-kawannya.”
Mala cekikikan.
“Kok tertawa? Meledek nih. Baru ketemu saja sudah meledek apalagi kalau sudah akrab.” Oki meletakkan tangannya di dagu berpura-pura sedang berpikir.
“Memangnya di seri pertama ada rumus-rumusnya gitu? Apa kita harus mentukan gaya, usaha dan daya?” Tawa Mala kian meledak.
“Kok tertawa? Meledek nih. Baru ketemu saja sudah meledek apalagi kalau sudah akrab.” Oki meletakkan tangannya di dagu berpura-pura sedang berpikir.
“Memangnya di seri pertama ada rumus-rumusnya gitu? Apa kita harus mentukan gaya, usaha dan daya?” Tawa Mala kian meledak.
“Kepo.” Oki menjulurkan
lidahnya.
“Terus-terus yang paling keren yang mana? Yang paling Kakak suka? Yang ceritanya paling menarik?”
“Kepo. Baca saja sendiri.” Kini Oki yang tergelak puas.
Mala memasang wajah cemberut dan mengembuskan napas panjang.
“Sudah siang loh, cepat berangkat sekolah sana.”
Mala menengok pergelangan tangannya. Sudah pukul enam lebih empat puluh lima menit. “Duh, kok sudah hampir jam tujuh.” Mala bergegas memasukkan bungkusan hitam yang tadi diberikan Oki.
“Kak, jadi harganya berapa?”
“Lah berapa?”
“Aku tidak tahu, kan aku titip ke Kakak.”
“Tidak usah.” Oki tersenyum. Sementara Mala mendengus sebal dan mengeluarkan bungkusan itu lagi.
“Kalau tidak usah ini aku kembalikan.”
Mereka terdiam sejenak. Kemudian Oki menyebutkan harga titipan Mala.
“Harganya Rp. 200.000,00 La.”
Mala mengeluarkan lembaran uang di dompetnya dan memberikannya pada Oki. Dengan enggan Oki menerimanya.
“Terimakasih, Kakak.” Mala tertawa renyah.
“Sudah siang, Mala, cepatlah berangkat sekolah.”
“Iya, Kak. Sekali lagi terimakasih ya.”
“Terus-terus yang paling keren yang mana? Yang paling Kakak suka? Yang ceritanya paling menarik?”
“Kepo. Baca saja sendiri.” Kini Oki yang tergelak puas.
Mala memasang wajah cemberut dan mengembuskan napas panjang.
“Sudah siang loh, cepat berangkat sekolah sana.”
Mala menengok pergelangan tangannya. Sudah pukul enam lebih empat puluh lima menit. “Duh, kok sudah hampir jam tujuh.” Mala bergegas memasukkan bungkusan hitam yang tadi diberikan Oki.
“Kak, jadi harganya berapa?”
“Lah berapa?”
“Aku tidak tahu, kan aku titip ke Kakak.”
“Tidak usah.” Oki tersenyum. Sementara Mala mendengus sebal dan mengeluarkan bungkusan itu lagi.
“Kalau tidak usah ini aku kembalikan.”
Mereka terdiam sejenak. Kemudian Oki menyebutkan harga titipan Mala.
“Harganya Rp. 200.000,00 La.”
Mala mengeluarkan lembaran uang di dompetnya dan memberikannya pada Oki. Dengan enggan Oki menerimanya.
“Terimakasih, Kakak.” Mala tertawa renyah.
“Sudah siang, Mala, cepatlah berangkat sekolah.”
“Iya, Kak. Sekali lagi terimakasih ya.”
Untung jarak sekolah Mala dengan tempatnya bertemu pemuda bernama Oki ini hanya 50 meter. Jadi Mala tidak perlu tergesa-gesa mengayuh sepedanya.
Kini Mala menaiki sepedanya dan menengok ke arah pemuda itu. Mala tersenyum begitu juga pemuda itu. “Hati-hati.” tanpa sadar mereka menyerukan kata yang sama pada waktu yang bertepatan. Mereka tersenyum kembali diiringi anggukan kecil. Lama mereka terpaku, saling menatap dan tersenyum sebelum akhirnya memutuskan untuk mengayuh sepeda mereka masing-masing.
Aku
hanyalah saksi bisu dari pertemuan dua anak manusia ini. Aku tiada mengerti apa
yang akan terjadi di kemudian hari. Hanya saja aku tahu ada bekas yang mendalam
dari tatapan mereka dan dari senyum yang selalu membingkai wajah mereka. Bekas
yang hangat dan menentramkan satu sama lain. Aku hanya berharap suatu hari
ketika gadis itu kembali, dia akan kembali bersama pemuda itu. Duduk dan
bercengkerama menghabiskan waktu bersamaku. Dalam tubuh reotku yang mulai
digerogoti rayap namun masih kokoh untuk menopang kisah indah yang akan muncul
dari Oki dan Nirmala.Kini Mala menaiki sepedanya dan menengok ke arah pemuda itu. Mala tersenyum begitu juga pemuda itu. “Hati-hati.” tanpa sadar mereka menyerukan kata yang sama pada waktu yang bertepatan. Mereka tersenyum kembali diiringi anggukan kecil. Lama mereka terpaku, saling menatap dan tersenyum sebelum akhirnya memutuskan untuk mengayuh sepeda mereka masing-masing.
#TantanganZelie - Pochemuchka & Koi no Yokan
haihai rezkaaa... saya baca chat kamu... oh ya mending ditulis via email aja yah... email saya ada di contact blog... biar balesnya bisa dimanapun dan lebih cepat ^^
BalasHapus