Rabu, 29 Januari 2014

Tak Ada Yang Abadi (Part 1)


            Karya Warastri Rezka Hardini


         
                Suasana malam di tepian kota metropolitan yang sarat akan hiruk pikuk pekerja ibukota yang berlomba pulang memang riuh. Deru kendaraan terus menerus melintas di jalan seakan tiada habisnya. Malam seharusnya menjadi waktu yang sunyi ketika semua orang beristirahat dari kesibukan dan rutinitas sehari-hari. Namun, inilah hidup. Mereka adalah para pekerja yang berlomba membanting tulang di ibukota demi sesuap nasi untuk anak istrinya di rumah.
                Di sudut lain, seorang gadis kecil duduk termangu menatap hilir mudik kendaraan yang melintas di jalan di depannya. Di sebuah teras rumah yang cukup besar namun, terasa kecil dengan penghuni yang membludak. Dia memandang para pekerja yang berlomba pulang itu dengan hati yang getir. Memorinya terbang jauh ke masa dulu, ketika ia ada di rumahnya sendiri dalam keadaan yang hampir sama dengan sekarang. Hanya bedanya, dulu dia duduk untuk menanti Ayahnya pulang bekerja dan sekarang, dia duduk untuk menanti bayangan yang tak akan kunjung datang. Tanpa terasa butiran air menetes dari pelupuk matanya. Miris. Hidup memang keras. Dan mungkin terkadang menyakitkan.
                Seorang gadis lain yang berusia lebih muda, berjalan membawa sebuah boneka beruang lusuh berwarna coklat. Wajahnya polos. Dia berjalan menuju teras, hendak melihat bintang. Namun, keinginannya itu kini beralih karena rasa penasarannya terhadap sosok yang tengah termangu menatap jalanan. Di hampirinya sosok itu, disapanya perlahan, “Kak Niar?” Sosok itu terlihat terkejut mendengar suara kecil yang memanggil namanya. Buru-buru diusapnya air mata yang menetes di pipinya. “Sarah, kok kamu belum tidur?” Niar menoleh dan menjawab teguran gadis kecil itu. “Belum, Sarah ingin melihat bintang. Kak Niar habis nangis ya?” jawabnya polos. “Nggak kok, kakak Cuma kelilipan aja.” Gadis kecil itu terus menatapnya tak percaya walaupun Niar berusaha menutupinya dengan senyum yang terus berkembang di wajahnya. “Sarah nggak percaya sama kakak? Ya sudah, terserah Sarah saja deh.” Niar kembali tersenyum. Sarah menyerah, akhirnya ia pun percaya. “Iya iya Sarah percaya kok.” Niar kemudian menjulurkan tangannya, hendak menggendong gadis kecil berusia enam tahun bernama Sarah itu, “Katanya mau lihat Bintang?”. Sarah terkekeh.  “Sarah udah gede loh Kak, memangnya Kakak masih kuat nggendong Sarah?”.Ekspresi wajahnya kini menjadi sedikit mengejek. Niar berlagak bak binaraga. Memamerkan otot di lengannya yang sebenarnya lebih terlihat seperti tulang dibalut sehelai daging. Kurus. “Kuat dong, Kak Niar.” Nada bicaranya sedikit disombongkan. Tawa pun pecah di antara mereka.
Sarah kini sudah berada dalam dekapan Niar. Niar tampak sangat berusaha keras menahan bobot gadis kecil itu yang sekarang tumbuh semakin besar. “Kamu semakin gendut ya, Sarah?” Sarah tertawa. “Aku itu nggak semakin gendut, tapi Kakak yang semakin kurus.” Jawabnya polos. Ya, faktanya memang begitu. Niar memang semakin kurus. Ia bahkan sering di juluki si tiang listrik karena postur tubuhnya yang kurus dan cukup tinggi untuk anak berusia sepuluh tahun pada umumnya. Niar tak menghiraukan ucapan Sarah. “Sarah, lihat deh bintangnya bagus ya.” Telunjuk Niar mengarah pada hamparan langit kelam yang berhias titik-titik terang yang disebut bintang. “Yang itu yang paling terang, Kak.” Sambungnya antusias. Beberapa saat, ada pemandangan langka yang terjadi di langit malam itu. “Kak, lihat ada bintang jatuh.” Suara Sarah memecah keheningan. “Kata orang, kalau kita berdoa saat ada bintang jatuh pasti akan dikabulkan. Memangnya itu benar ya Kak?” Timpal Sarah. “Berdoa itu bisa kapan saja Sarah. Kita berdoanya kepada Tuhan. Pasti dikabulkan, apalagi kita berdoanya sepenuh hati.” Sarah manggut-manggut dan Niar tersenyum, “Kita berdoa pada Tuhan yuk.” Sarah mengangguk. Mereka pun mengheningkan cipta sejenak. Kini Niar menatap Sarah yang terlihat sangat serius. “Sarah berdoa apa kok kelihatannya serius sekali?” Tanya Niar lembut. “Sarah ingin bertemu Mama. Mama dulu janji akan menjemput Sarah.” Ucapnya polos. “Kalau Kak Niar?” Seketika air wajah Niar berubah pilu, namun ia berusaha menyembunyikannya di balik senyum manisnya, “Kakak ingin mempertemukan Sarah sama Mama Sarah.” Sarah menatapnya heran, “Memangnya Kakak tau, Mamaku? Apa Kakak nggak berdoa biar Kakak punya keluarga lagi?” Niar menggeleng. “Kak Niar nggak tau Mama Sarah. Kakak juga belum ingin ada yang mengadopsi Kakak. Kakak ingin di sini nemenin Sarah sama Bunda Rini. Kalian lah keluarga Kakak sekarang. Sarah adik Kak Niar.” Sarah memeluk Niar. Ya, sejak pertama kali Sarah masuk ke panti asuhan ini dia sering diganggu dan dijahili penghuni panti lain yang usil. Hampir setiap hari dia menangis. Entah karena bonekanya di lempar hingga nyangkut ke pohon, entah didorong hingga jatuh, dan kejahilan lainnya. Hanya Niar lah yang membantu dan membela Sarah dari anak-anak nakal di panti itu karena memang hanya Niar lah yang berani. Sejak saat itu hubungan mereka kian dekat. Layaknya sepasang saudari yang lama terpisah.
“Sarah, sudah malam. Waktunya tidur.” Niar menurunkan Sarah dari gendongannya dan menggandeng Sarah menuju kamar. Mereka berdua berjalan menyusuri lorong-lorong gelap hingga sampai ke kamar mereka.
 
 Bersambung...

Tidak ada komentar :

Posting Komentar