Rabu, 26 Februari 2014

Tak Ada yang Abadi (Part 2)


Sinar matahari yang terik serasa membakar kulit Niar dan Sarah yang tengah berjalan pulang dari sekolah yang jaraknya sekitar empat kilometer dari panti asuhan. Ya, kaki adalah moda transportasi utama mereka dan satu-satunya. Peluh bagai butiran jagung yang berlomba turun dari dahi mereka. Panas. Belum lagi asap kendaraan bermotor yang menyesakkan dada menambah polusi udara. Tenggorokan mereka terasa kering menahan dahaga. “Kak, Sarah haus.” Tangannya membelai lembut lehernya mengisyaratkan dahaganya sudah tak tertahankan. Niar segera membuka ranselnya untuk melihat persediaan air di botol yang di bawanya dari panti asuhan. Dikeluarkannya botol yang berisi air putih yang kira-kira hanya tersisa seper sepuluh bagian. Sangat sedikit. Niar sendiri haus namun dia lebih memilih memberikan air minum yang tersisa itu pada Sarah. “Ini. Hanya ini yang tersisa.” Disodorkannya botol air minum itu pada Sarah. Diraihnya botol itu dan diteguknya sedikit air yang tersisa. “Sarah masih haus, Kak.” Kini Niar merogoh sakunya, ada selembar pecahan dua ribu dan dua lembar uang pecahan seribu. Sisa uang jajannya selama satu minggu yang akan ia tabung untuk membeli buku. Namun, ia lebih memilih menggunakan uang itu untuk membelikan minum untuk Sarah. Ia tidak ingin melihat Sarah terus menahan dahaga. “Kita beli minum saja ya, Sarah. Di depan situ ada warung.” Sarah mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan menuju warung kecil di pinggir jalan itu.
                Setelah membeli satu botol air mineral, Niar segera membayarnya ke pemilik warung sementara Sarah segera meneguk air itu sembari menyaksikan riuhnya hilir mudik kendaraan di jalanan pada siang yang terik itu. Di tengah riuhnya lalu lintas itu, mata Sarah kini terpusat kepada sosok wanita di seberang jalan yang baru saja keluar dari sebuah mobil mewah. Badannya tinggi, kulitnya putih mulus. Rambutnya panjang. Nampak sakelibat wajahnya yang cantik walaupun tanpa riasan yang tebal. Matanya bulat dengan sorot mata yang tajam. Seperti bidadari yang turun dari surga. “Mama.” Ucap Sarah tertahan. Namun, ia tidak yakin wanita di seberang jalan itu adalah orang yang telah melahirkannya. Jikalau memang benar itu mamanya, seharusnya dia telah menjemput Sarah dari panti sesaat setelah tiba di kota ini seperti janjinya beberapa tahun silam. Sarah tetap saja memperhatikan gerak gerik wanita itu dan sepertinya wanita itu tengah kebingungan mencari alamat yang tertera di selembar kertas yang digenggamnya. Terbukti ketika wanita itu terus mondar mandir bertanya kepada orang-orang yang ada di sana sembari menunjuk-nunjuk jalan sekenanya. Ketika Sarah hendak memalingkan pandangannya dari wanita itu, ia melihat sesuatu tengah dikeluarkan dari tas wanita itu. Sebuah boneka hello kitty lusuh yang kemudian dipeluknya erat. Sarah menatapnya lekat-lekat. Ia yakin itu adalah boneka miliknya. Tidak salah lagi, wanita di seberang jalan itu adalah mamanya. “Sarah, jangan bengong. Yuk pulang.” Tiba-tiba Niar mengejutkan. “Kak, Sarah lihat mama. Mama sudah pulang Kak, mama nyariin Sarah.” Niar memandangnya sedikit tidak percaya. “Ah, yang benar? Mungkin kamu salah lihat.” Jawab Niar enteng. “Tidak Kak, coba Kakak lihat di seberang sana.” Sarah menunjuk-nunjuk ke arah seberang jalan. “Kakak tidak lihat apa-apa Sarah. Hanya ada lalu lalang kendaraan.” Sarah celingukan mencari sosok wanita itu yang kini telah lenyap dalam keramaian. Ia pun tertunduk lesu. “Tapi tadi Sarah lihat mama. Sarah yakin itu Mama.” Niar tersenyum, ia kini berjongkok di depan gadis kecil bernama Sarah itu. Jemari kecilnya mencoba menghapus butiran air mata yang mulai mengalir dari pelupuk mata Sarah. “Kamu yakin itu mama kamu?” Tanya Niar dengan lembut. Sarah hanya mengangguk. Niar pun tersenyum dan menjawab, “Kalau memang Sarah yakin itu mama Sarah, besok pagi Kakak bantu deh nyari jejaknya ‘mama Sarah’. Nanti kakak antar Sarah ketemu Mama, bagaimana?”  Sarah menatap Niar lekat-lekat. Kedua bola mata bulat itu kini beradu dengan bola mata Niar. Niar tersenyum dan mengangguk, menjawab isyarat tatapan Sarah. “Kakak serius?” Sarah masih terus mencoba memastikan. Niar mengangkat kelingkingnya, “Kakak serius, kakak janji.” Sarah pun mengaitkan kelingkingnya di kelingking Niar. “Jangan nangis lagi ya, kalau nangis jelek tau. Yuk pulang.” Sarah terkekeh kemudian menggenggam erat jemari Niar dan berjalan pulang beriringan. Tanpa disadari, sepasang mata telah melirik gerak gerik mereka sedari tadi dan terus memperhatikan mereka ketika mereka berlalu.

Berambung...

Tidak ada komentar :

Posting Komentar