Sinar matahari yang terik serasa membakar kulit Niar dan
Sarah yang tengah berjalan pulang dari sekolah yang jaraknya sekitar empat
kilometer dari panti asuhan. Ya, kaki adalah moda transportasi utama mereka dan
satu-satunya. Peluh bagai butiran jagung yang berlomba turun dari dahi mereka.
Panas. Belum lagi asap kendaraan bermotor yang menyesakkan dada menambah polusi
udara. Tenggorokan mereka terasa kering menahan dahaga. “Kak, Sarah haus.”
Tangannya membelai lembut lehernya mengisyaratkan dahaganya sudah tak
tertahankan. Niar segera membuka ranselnya untuk melihat persediaan air di
botol yang di bawanya dari panti asuhan. Dikeluarkannya botol yang berisi air
putih yang kira-kira hanya tersisa seper sepuluh bagian. Sangat sedikit. Niar
sendiri haus namun dia lebih memilih memberikan air minum yang tersisa itu pada
Sarah. “Ini. Hanya ini yang tersisa.” Disodorkannya botol air minum itu pada
Sarah. Diraihnya botol itu dan diteguknya sedikit air yang tersisa. “Sarah
masih haus, Kak.” Kini Niar merogoh sakunya, ada selembar pecahan dua ribu dan
dua lembar uang pecahan seribu. Sisa uang jajannya selama satu minggu yang akan
ia tabung untuk membeli buku. Namun, ia lebih memilih menggunakan uang itu
untuk membelikan minum untuk Sarah. Ia tidak ingin melihat Sarah terus menahan
dahaga. “Kita beli minum saja ya, Sarah. Di depan situ ada warung.” Sarah
mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan menuju warung kecil di pinggir jalan
itu.
Setelah
membeli satu botol air mineral, Niar segera membayarnya ke pemilik warung
sementara Sarah segera meneguk air itu sembari menyaksikan riuhnya hilir mudik
kendaraan di jalanan pada siang yang terik itu. Di tengah riuhnya lalu lintas
itu, mata Sarah kini terpusat kepada sosok wanita di seberang jalan yang baru
saja keluar dari sebuah mobil mewah. Badannya tinggi, kulitnya putih mulus.
Rambutnya panjang. Nampak sakelibat wajahnya yang cantik walaupun tanpa riasan
yang tebal. Matanya bulat dengan sorot mata yang tajam. Seperti bidadari yang
turun dari surga. “Mama.” Ucap Sarah tertahan. Namun, ia tidak yakin wanita di
seberang jalan itu adalah orang yang telah melahirkannya. Jikalau memang benar
itu mamanya, seharusnya dia telah menjemput Sarah dari panti sesaat setelah
tiba di kota ini seperti janjinya beberapa tahun silam. Sarah tetap saja
memperhatikan gerak gerik wanita itu dan sepertinya wanita itu tengah
kebingungan mencari alamat yang tertera di selembar kertas yang digenggamnya.
Terbukti ketika wanita itu terus mondar mandir bertanya kepada orang-orang yang
ada di sana sembari menunjuk-nunjuk jalan sekenanya. Ketika Sarah hendak
memalingkan pandangannya dari wanita itu, ia melihat sesuatu tengah dikeluarkan
dari tas wanita itu. Sebuah boneka hello kitty lusuh yang kemudian dipeluknya
erat. Sarah menatapnya lekat-lekat. Ia yakin itu adalah boneka miliknya. Tidak
salah lagi, wanita di seberang jalan itu adalah mamanya. “Sarah, jangan
bengong. Yuk pulang.” Tiba-tiba Niar mengejutkan. “Kak, Sarah lihat mama. Mama
sudah pulang Kak, mama nyariin Sarah.” Niar memandangnya sedikit tidak percaya.
“Ah, yang benar? Mungkin kamu salah lihat.” Jawab Niar enteng. “Tidak Kak, coba
Kakak lihat di seberang sana.” Sarah menunjuk-nunjuk ke arah seberang jalan.
“Kakak tidak lihat apa-apa Sarah. Hanya ada lalu lalang kendaraan.” Sarah
celingukan mencari sosok wanita itu yang kini telah lenyap dalam keramaian. Ia
pun tertunduk lesu. “Tapi tadi Sarah lihat mama. Sarah yakin itu Mama.” Niar
tersenyum, ia kini berjongkok di depan gadis kecil bernama Sarah itu. Jemari
kecilnya mencoba menghapus butiran air mata yang mulai mengalir dari pelupuk
mata Sarah. “Kamu yakin itu mama kamu?” Tanya Niar dengan lembut. Sarah hanya
mengangguk. Niar pun tersenyum dan menjawab, “Kalau memang Sarah yakin itu mama
Sarah, besok pagi Kakak bantu deh nyari jejaknya ‘mama Sarah’. Nanti kakak antar
Sarah ketemu Mama, bagaimana?” Sarah
menatap Niar lekat-lekat. Kedua bola mata bulat itu kini beradu dengan bola
mata Niar. Niar tersenyum dan mengangguk, menjawab isyarat tatapan Sarah.
“Kakak serius?” Sarah masih terus mencoba memastikan. Niar mengangkat
kelingkingnya, “Kakak serius, kakak janji.” Sarah pun mengaitkan kelingkingnya
di kelingking Niar. “Jangan nangis lagi ya, kalau nangis jelek tau. Yuk
pulang.” Sarah terkekeh kemudian menggenggam erat jemari Niar dan berjalan
pulang beriringan. Tanpa disadari, sepasang mata telah melirik gerak gerik
mereka sedari tadi dan terus memperhatikan mereka ketika mereka berlalu.
Berambung...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar