Senin, 21 April 2014

Destiny

Karya Warastri Rezka Hardini




Nia hanya memainkan sendok di atas pancake ice cream yang dipesannya. Sedangkan tangannya yang lain bertumpu pada meja kafe untuk menopang kepalanya. Dia merasa sangat jengkel. Wajahnya menatap ke arah jendela. Menerawang hiruk pikuk lalu lintas di luar jendela. Sesekali ditatapnya pemuda yang duduk di depannya, kemudian mendengus kesal. Pemuda itu duduk dan asik menghabiskan pancake dengan toping ice cream vanila pesanannya. "Kamu yakin nggak mau makan pancake itu?" pemuda itu buka suara sembari menunjuk pancake di depan Nia. "Nggak selera. Kalau kamu mau, makan aja." Nia menyodorkan sepiring pancake kepada pemuda itu. "Kamu kenapa sih? Tadi waktu ngajak kesini semangat banget, setelah aku turutin kamu malah kaya gini." pemuda itu berbicara dengan mulut penuh pancake. "Entahlah." Nia kembali menatap ke arah jendela. Dia sangat kesal. Dia sudah begitu sabar selama satu tahun terakhir ini untuk menghadapi tingkah pemuda di depannya. Dia tak pernah menuntut macam-macam, hanya ingin pemuda di depannya memperlakukannya seperti kekasihnya seperti semestinya. Ya, semenjak pemuda itu mengungkapkan perasaannya kepada Nia dan bersepakat untuk berjalan bersama, pemuda itu tak pernah memperlakukan Nia seperti layaknya kekasihnya. Namun, sebenarnya Nia tidak pernah mengeluhkan hal itu, hanya saja hari ini dia benar-benar kesal.

Sebelum pesanan panceke di meja mereka datang, mereka sempat berbincang.
"Nia, tumben ngajak kesini."
"Iya dong sayang, kan hari ini hari yang spesial."
"Spesial? Memangnya hari ini ada apa? Kamu ulang tahun?"
"Ya nggak lah sayang, kan ulang tahunku masih bulan depan."
"Terus apa yang spesial? Kamu dapat nilai bagus? Hari ulang tahun mama kamu? Oh, tunggu, jangan-jangan kamu mau punya adik?"
"Kamu benar-benar nggak ingat sekarang tanggal berapa?"
"Tanggal 13 Agustus."
"Kamu nggak ingat peristiwa apa yang spesial di hari itu?."
"Ehm, kayanya nggak ada deh."
"Ya sudah."
Itulah yang menjadi awal kekesalan Nia. Satu tahun yang lalu tepat ditanggal itu, mereka saling mengungkapkan isi hati mereka.
Namun, pemuda itu tidak mengingatnya. Nia tau, pemuda yang disayanginya memang seorang yang cuek tapi dia hanya ingin sekali saja pemuda itu peduli dengan salah satu hari spesial ini.

                Tiba-tiba penjaga kafe memutar lagu. Suaranya mengalun lembut memenuhi kafe. Lagu milik Christian Bautista, Since I Found You. Mendengar lagu yang mengalun lembut, suasana hati Nia menjadi lebih tenang dan santai. Kemudian Nia pun mulai buka suara. Dia menatap lekat-lekat pemuda di depannya.
"Ka, satu tahun yang lalu tepat ditanggal yang sama, kamu mengungkapkan perasaanmu. Hari itu, aku bahagia sekali. Mungkin itulah alasan kenapa hari ini menjadi hari yang spesial untukku. Dan sepertinya hanya spesial untukku. Awalnya aku kesal, kecewa karena kamu tidak mengingat ini, tapi ya begitulah kamu. Aku saja yang terlalu berharap lebih kamu juga akan mengingat hari ini sebagai hari yang spesial."
Pemuda itu terdiam, dia tidak melanjutkan menghabiskan pancake di hadapannya.
"Aska, aku tahu kamu mengatakan kalau kamu menyayangiku hanya pada hari itu. Selama kita berjalan bersama satu tahun terakhir ini, kamu tidak pernah mengatakannya lagi. Ka, boleh aku minta satu hal sama kamu?"
"Apa Nia?"
"Aku ingin dengar, satu kata saja dari kamu yang menggambarkan aku bagi kamu. Boleh?"
Pemuda itu mengangguk, dia tersenyum dan meraih jemari Nia. Menggenggamnya. Tatapan mereka bertemu.
"Destiny. You are my destiny."
Nia hanya terdiam, dia tak mampu berkata apa pun.
"Maaf, jika aku menyayangimu dengan cara yang berbeda dan tidak seperti yang kamu harapkan. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, sejak pertama kali aku mengatakan aku menyayangimu, di saat itulah aku yakin, you are my destiny."
Segaris senyum menghiasi wajah mereka. Kekesalan Nia kini pudar dan hilang. Sekarang ia tahu dan sadar, di balik kecuekan Aska, sebenarnya Aska peduli dan menyayanginya. Dan Nia tahu, Aska bukan tipe orang yang suka main-main dengan apa yang dia katakan.


Sekian :)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar