Assalamualaikum, apa kabar dandelion’s friends?
Rasanya saya sudah lama tidak menulis. Maklum saja, saya baru selesai UAS. Saya
tidak bisa menyempatkan menulis di blog ini karena saya harus menulis tugas
akhir yang tidak sedikit. Saya juga harus belajar untuk menghadapi ujian akhir.
Dan akhirnya saat hasilnya keluar, saya sedikit kecewa. Hasilnya kurang
memuaskan. Tapi itu pantas saya dapatkan karena memang semester ini saya kurang
maksimal.
Kurang
nyambung dengan judulnya? Hehehe, sebenarnya ini hanya pengantar saja sebelum
masuk ke topik utama. Jadi, setelah UAS saya memilih pulang kampung untuk
menghabiskan liburan. Malang tak bisa dihindari, sesampainya di rumah hanya ada
kakak saya karena orangtua saya sedang pergi berlibur. Saya pun langsung
menyimpulkan bahwa liburan kali ini pasti akan membosankan.
Singkat
cerita, hari keempat saya di rumah, orangtua saya pulang. Ibu saya menceritakan
pengalaman liburannya dengan sangat antusias. Saya hanya tersenyum dan
mengiyakan. Ya, karena sebenarnya saya kangen Ibu saya. Saat Ibu saya asik
bercerita, tiba-tiba ponsel Ibu berdering. Ternyata itu panggilan dari pengurus
desa, Ibu saya dijadikan perwakilan desa saya dalam pelatihan pembuatan batik
sekecamatan yang diadakan oleh PNPM. Ibu saya sangat senang dan langsug
mengiyakan tanpa banyak alasan. Karena sejak lama Ibu saya memang ingin bisa
membatik.
Awalnya
Ibu saya bingung mau mengajak siapa untuk turut menjadi perwakilan dari desa,
karena pesan dari pengurus desa yang menghubungi Ibu, Ibu harus mencari
pasangan sendiri. Sempat terpikir oleh Ibu saya untuk mengajak saya, namun
urung dilakukan karena Ibu takut jika nantinya setelah pelatihan, perwakilan
yang diutus akan dijadikan kader untuk pelatihan mandiri di desa. Kalau itu
benar, pasti saya tidak akan bisa membantu Ibu karena saya harus kuliah.
Akhirnya Ibu meminta pengurus desa yang tadi menghubungi beliau untuk
mencarikan pasangan.
Tempat
pelaksanaan pelatihan ini adalah di balai desa saya, tepatnya Balai Desa
Ngampel Kecamatan Papar. Jadi tidak terlalau jauh dari rumah saya.
Pelatihan hari pertama, Ibu tidak mengajak saya. Namun,
beliau meminta saya datang ke balai desa tengah hari untuk mengantarkan charger
handphone. Saya hanya sempat melihat-lihat tanpa sempat memotret. Sore hari
sesampainya di rumah, Ibu mencuci kain putih sepanjang 2,5 meter yang
diambilnya dari almari. Beliau bilang, kain yang disediakan panitia kurang
akhirnya dibagi sedikit-sedikit. Karena hari mulai gelap dan Ibu mulai khawatir
cuciannya tidak kering, akhirnya saya ditugaskan untuk menyetrika kain
basah.Setelah separuh kering, baru lah kain itu di jemur. Setelah kering, Ibu
mengeluarkan selembr kain yang sudah dibatik. Ibu meminta saya membantunya
menggambar pola di atas kain putih yang tadi di cuci.
Gambar pola batik yang saya gambar.
Menggambar di atas kain sepanjang 2,5 meter cukup
membuat ibu jari saya “abuh” :D
Gambar motif batik yang saya contoh.
Ini juga :)
Menggambar
pola ini tidak mudah, saya sering salah menggoreskan pensil. Namun, Ibu saya
tidak marah. Beliau berkata, tidak ada motif batik yang salah semuanya benar,
itu yang membuat batik unik dan berbeda. Beliau mengutip kata-kata ini dari
guru membatik beliau. Kesimpulannya, saat belajar membatik, kita juga belajar
untuk tidak mudah menyalahkan orang lain. Belum tentu juga yang kita lakukan
itu benar, jadi kita tidak boleh mudah menyalahkan orang lain.
Hari
kedua, Ibu meminta saya menjemput beliau jam tiga sore di balai desa. Di sana
saya bisa melihat lebih dekat proses membatik dan proses pengecatan. Kebetulan
yang saya amati adalah batik cap. Lebih mudah dan lebih cepat pembuatannya
daripada batik tulis. Dalam pembuatan batik cap, cetakan motif dicelupkan dalam
malam panas kemudian dicapkan dalam kain putih. Kain putih ini harus dileakkan
di atas alas yang cukup lunak, misalnya karpet. Karena saya tidak mengikuti
materinya saya kurang tahu kenapa hal itu dilakukan.
Hari
ketiga. Ibu saya pulang cukup sore. Dengan santainya beliau berkata pada saya,
“nanti malam, bantu Ibu nglembur batik”. Saya kaget, tapi saya senang. Ya, saya
belum bisa sama sekali membatik tapi Ibu meminta saya membantunya, tapi saya
senang karena memang saya juga ingin belajar membatik.
Pertama,Ibu
meminta saya memanaskan malam dalam wajan kecil. Karena saya tidak tahu
aturannya, saya memanaskan malam dengan api besar. Alhasil saya batuk-batuk
karena asap yang keluar cukup banyak. Setelah malam mencair, malam tetap
dipanaskan dalam api kecil. Ibu memberi saya selembar kain putih berukuran satu
meter, sebuah canting dan celemek. Celemek fungsinya agar lelehan malam panas
tidak menetes di kaki saya.
Waktunya
membatik. Ibu memberikan saya intruksi untuk mencelupkan canting ke dalam wajan
dan mengisinya dengan malam cair tidak boleh terlalu penuh. Kemudian, ujung
canting ditiup agar malam tidak terlalu panas. Karena jika tidak ditiup, cairan
malam akan “mbleber” di kain. Tapi malam juga tidak boleh dingin, karena jika
terlalu dingin, cairan malam tidak akan menembus kain dan motif batik yang
dibuat akan gagal. Ribet? sangat ribet memang. Sabar.
Tangan
saya gemetar ketika pertama kali memoleskan canting pada kain. Telapak tangan
saya yang menahan kain juga terkadang terkena malam panas. Namun, saya tidak
mau menyerah hanya karena terkena malam panas. Apa gunanya usaha kalau menyerah
sebelum bisa?
Tiga
puluh menit berlalu, Ibu melihat hasil saya membatik. Beliau berkata hasil
batik saya sudah cukup bagus. Beliau pun menminta saya membantu beliau memoles
malam pada kain 2,5 meter yang kemarin saya gambar. Pelan tapi pasti saya
memoleskan canting pada kain. Ketika saya mulai menikmati apa yang saya
kerjakan, saya selalu lupa waktu. Benar saja sampai lewat pukul 11 malam, saya
dan Ibu baru mematikan kompor dan menyelesaikan batik kami.
Keesokan
harinya, hari keempat pelatihan. Hari ini, agenda pertama yang dilakukan adalah
pengecatan. Beberapa gambar pada batik tulis saya dan Ibu akan di cat.
Kain dibentangkan di atas karpet
Cat merah untuk motif bunga.
Done ! :D
Setelah
di cat, kain harus dijemur sampai catnya kering. Hal ini bertujuan agar cat
meresap dan benar-benar meresap pada kain. Setelah itu, kain diangkat dari
jemuran dan bagian yang terkena cat harus dilapisi dengan malam panas. Kenapa
harus dilapisi lilin? Karena setelah ini kain akan di celup (diberi warna
dasar), kalau kain yang dicat tidak dilapisi lilin, cat ini akan bercampur
dengan pewarna yang digunakan untuk memberi warna dasar pada kain. Kain
didiamkan sampai lilin yang melapisinya dingin. Baru kemudian kain dicelup ke
dalam zat warna. Selanjutnya, kain di jemur sampai kering. Setelah kering, kain
dicelupkan ke dalam zat kimia (saya lupa namanya), kemudian di jemur kembali.
Kain
sudah kering, saatnya dibilas. Tahap terakhir dari proses pembuatan batik
adalah perebusan. Tahap ini fungsinya untuk meluruhkan malam. Menurut saya, ini
adalah tahap paling menyakitkan. Iya, karena saya sudah berjam-jam memoleskan
malam pada kain tapi akhirnya diluruhkan juga. Setelah di rebus, kain di bilas
dan di jemur. Dan inilah hasilnya...
Saya dan Ibu kurang puas dengan hasil pewarnaan ini
karena hasilnya tidak sesuai ekspektasi kami. Tapi tidak masalah, namanya juga
masih belajar.
Siapa
menyangka helaian kain batik yang sering kita temui di pasaran membutukan
proses yang panjang untuk sampai di tangan kita. Butuh kesabaran ekstra untuk
membuat sehelai kain batik dengan kualitas terbaik. Batik adalah warisan budaya
Indonesia. Setiap pelosok wilayah di Indonesia memiliki motif khas yang
berbeda. Motif ini mencerminkan kearifan lokal masing-masing. Sudah sepatutnya
kita generasi muda untuk melestarikannya. Bukan hanya dengan mengenakan, namun
juga membuat. Supaya kita tahu bagaimana rasanya menjaga warisan budaya itu
secara langsung. Supaya kita bisa menumbuhkan sifat-sifat mulia dalam diri
kita. Karena batik tidak hanya mengajarkan akan keindahan. Karena batik juga
mengajarkan akan kesabaran, perjuangan dan menghargai. Sekian :)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar