Selasa, 23 Desember 2014

Sabar

            Pagi. Masih benar-benar pagi. Matahari masih baru merangkak walaupun hari sudah mulai terang. Aku duduk di halaman rumah sembari meletakkan sapu yang tadi kugunakan membersihkan halaman. Tidak berapa lama, seorang wanita menghampiriku dan duduk di sampingku. Dia adalah pahlawanku, dialah Ibuku. “Sudah selesai, Nduk?” Beliau membuka pembicaraan. Aku hanya mengangguk sembari menyeka butiran keringat yang menetes di pelipisku. “ Nduk, kalau disana di tanami bunga lili bagus tidak?” Ibu menunjuk lahan kosong di halaman rumah. Aku terdiam sebentar, “Bagus, Buk.”
“Kalau kamu balik merantau, bawakan Ibu bunga lili ya.” Aku tersenyum, “Tidak mau, Buk.”
Ibu terlihat kaget dengan jawabanku. “Kenapa? Nanti kan uangnya Ibu ganti.”
Aku menjawab denga ringan, “Bukan perkara uang, Buk.” Ibuku semakin keheranan. “Lalu?”
Aku tersenyum, “Aku tidak mau membawakan Ibu bunga lili yang sudah tumbuh menjadi pohon dan berbunga. Aku mau membawakan Ibu umbinya saja.”
Ibu nampak sedikit lega namun, masih ada pertanyaan yang mengganjal batinnya. “Memangnya apa bedanya? Kan sama-sama bunga Lili?”
Aku menatap wanita paruh baya itu, “Jelaslah berbeda Ibu. Bunga lili itu ibarat aku. Allah menganugerahkan aku kepada Ibu berawal dari segumpal darah kan? Tidak langsung datang dengan wujud perempuan yang anggun, soleha, dan sukses dalam karir dan hidupnya. Mengapa aku memberi umbi dan bukan bunga yang sudah tumbuh? Karena aku ingin Ibu bersabar dahulu. Aku sekarang masihlah umbi, aku belum menjadi perempuan yang anggun, soleha dan sukses dalam karir dan hidupnya. Aku masih berproses. Biarkan umbi itu menjadi gambaranku agar Ibu selalu ingat kepadaku. Kala umbi itu berbunga nanti, kala itu jugalah aku akan menjadi perempuan yang anggun, soleha, sukses dalam karir, dunia dan akhiratnya. Kala itu lah, aku akan melihat Ibu tersenyum penuh syukur.”
            Hening. Tidak ada jawaban. Aku hanya melihat senyum dan setitik air mata yang mendesak di pelupuk mata Ibu.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar