Pagi. Masih benar-benar
pagi. Matahari masih baru merangkak walaupun hari sudah mulai terang. Aku duduk
di halaman rumah sembari meletakkan sapu yang tadi kugunakan membersihkan
halaman. Tidak berapa lama, seorang wanita menghampiriku dan duduk di
sampingku. Dia adalah pahlawanku, dialah Ibuku. “Sudah selesai, Nduk?” Beliau membuka pembicaraan. Aku
hanya mengangguk sembari menyeka butiran keringat yang menetes di pelipisku. “ Nduk,
kalau disana di tanami bunga lili bagus tidak?” Ibu menunjuk lahan kosong di
halaman rumah. Aku terdiam sebentar, “Bagus, Buk.”
“Kalau kamu balik merantau, bawakan Ibu bunga lili ya.” Aku tersenyum, “Tidak
mau, Buk.”
Ibu terlihat kaget dengan jawabanku. “Kenapa? Nanti kan uangnya Ibu ganti.”
Aku menjawab denga ringan, “Bukan perkara uang, Buk.” Ibuku semakin keheranan. “Lalu?”
Aku tersenyum, “Aku tidak mau membawakan Ibu bunga lili yang sudah tumbuh menjadi
pohon dan berbunga. Aku mau membawakan Ibu umbinya saja.”
Ibu nampak sedikit lega namun, masih ada pertanyaan yang mengganjal batinnya. “Memangnya
apa bedanya? Kan sama-sama bunga Lili?”
Aku menatap wanita paruh baya itu, “Jelaslah berbeda Ibu. Bunga lili itu ibarat
aku. Allah menganugerahkan aku kepada Ibu berawal dari segumpal darah kan?
Tidak langsung datang dengan wujud perempuan yang anggun, soleha, dan sukses
dalam karir dan hidupnya. Mengapa aku memberi umbi dan bukan bunga yang sudah
tumbuh? Karena aku ingin Ibu bersabar dahulu. Aku sekarang masihlah umbi, aku
belum menjadi perempuan yang anggun, soleha dan sukses dalam karir dan
hidupnya. Aku masih berproses. Biarkan umbi itu menjadi gambaranku agar Ibu
selalu ingat kepadaku. Kala umbi itu berbunga nanti, kala itu jugalah aku akan
menjadi perempuan yang anggun, soleha, sukses dalam karir, dunia dan
akhiratnya. Kala itu lah, aku akan melihat Ibu tersenyum penuh syukur.”
Hening. Tidak ada jawaban. Aku
hanya melihat senyum dan setitik air mata yang mendesak di pelupuk mata Ibu.
Selasa, 23 Desember 2014
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar