sumber gambar : http://mutiarasukma.net/inspirasi-mutiarasukma-3709.html
Aku
duduk di balkon. Menatap bintang dalam gelap malam. Secercah cahaya yang
terlihat kecil namun sebenarnya menyimpan sebuah kekuatan yang besar.
Sesungguhnya aku tidak sendiri. Ada seseorang yang berjanji menemaniku malam
ini. Tapi ia tak kunjung datang entah sudah berapa lama. Aku tiada pernah bosan
menunggunya di sini. Setiap hari, setiap malam, pada waktu dan tempat yang sama
aku selalu menunggu. Aku berharap malam ini dia menemuiku.
Aku
terus menatap langit. Menghubungkan cahaya-cahaya kecil itu membentuk nama
seseorang yang ku tunggu. Tidak ada menfaatnya memang. Lebih cenderung pada
pekerjaan yang sia-sia. Aku mendengus sebal. Angin malam mulai menyerangku. Aku
takut pertahananku pada dingin akan runtuh. Aku pun memeluk erat kedua kakiku
dan menyandarkan kepalaku di sana.
“Sudah lama kamu menunggu?”
Aku tersentak dan memalingkan wajahku pada asal suaru itu.
“Bayu?”
Sosok itu tersenyum menatapku. Aku merasa sedikit bingung, bagaimana bisa dia sampai disini dengan mudah? Tapi aku tidak mempedulikannya.
“Akhirnya kamu datang.” Aku membuang muka. Perasaanku terasa campur aduk. Aku bahagia. Sangat bahagia. Tapi aku juga muak, sebal, benci. Entahlah, semua terasa seperti adukan adonan kue. Menyatu. Aku bahagia melihat sosok itu hadir juga, tapi aku muak karena dia baru memunculkan batang hidungnya setelah penantianku yang tidak sebentar.
“Darimana saja? Sudah puas kamu membuatku seperti ini?”
Sosok itu hanya diam dan tersenyum.
“Seharusnya kamu tidak usah menungguku lagi.”
“Kenapa?” Aku langsung menyahutnya dan lagi-lagi dia hanya tersenyum.
“Aku hanya menunggumu menepati janjimu malam itu. Kamu telah membuatku melambung dengan alunan dawai dan indah syairmu, tapi sekarang apa? Kamu menjatuhkanku ke jurang.”
Aku tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Bayu. Dia hanya tersenyum dan tersenyum menanggapiku. Semakin lama aku semakin ttidak karuan. Rasa muak yang kini muncul bertarung hebat dengan rasa bahagia yang terus bertahan.
Aku tersentak dan memalingkan wajahku pada asal suaru itu.
“Bayu?”
Sosok itu tersenyum menatapku. Aku merasa sedikit bingung, bagaimana bisa dia sampai disini dengan mudah? Tapi aku tidak mempedulikannya.
“Akhirnya kamu datang.” Aku membuang muka. Perasaanku terasa campur aduk. Aku bahagia. Sangat bahagia. Tapi aku juga muak, sebal, benci. Entahlah, semua terasa seperti adukan adonan kue. Menyatu. Aku bahagia melihat sosok itu hadir juga, tapi aku muak karena dia baru memunculkan batang hidungnya setelah penantianku yang tidak sebentar.
“Darimana saja? Sudah puas kamu membuatku seperti ini?”
Sosok itu hanya diam dan tersenyum.
“Seharusnya kamu tidak usah menungguku lagi.”
“Kenapa?” Aku langsung menyahutnya dan lagi-lagi dia hanya tersenyum.
“Aku hanya menunggumu menepati janjimu malam itu. Kamu telah membuatku melambung dengan alunan dawai dan indah syairmu, tapi sekarang apa? Kamu menjatuhkanku ke jurang.”
Aku tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan Bayu. Dia hanya tersenyum dan tersenyum menanggapiku. Semakin lama aku semakin ttidak karuan. Rasa muak yang kini muncul bertarung hebat dengan rasa bahagia yang terus bertahan.
Hening.
Tidak ada suara. Aku menoleh ke sebelah. Bayu telah hilang. “Seharusnya aku
tidak menunggunya. Seharusnya aku tidak menanggapi kehadirannya.” Aku beranjak
dan berdiri di pinggir balkon menatap bintang-bintang semakin indah saja
sinarnya.
Sayup-sayup,
aku mendengar suara itu lagi. Suara alunan syair indah beserta petikan dawai
gitar Bayu. Suara yang selalu ku tunggu kehadirannya. Suara yang selalu
membuatku rindu. Aku menunduk menatap seseorang di bawah tengah memetik dawai
gitarnya. Bayu.
Apakah ini nyata
Atau hanya bayangan
Ketika kau turun menemuiku
Kau kibaskan basah rambutmu
Engkaulah gadis yang hadir di mimpiku
Lidahku kelu tercekat
Atau hanya bayangan
Ketika kau turun menemuiku
Kau kibaskan basah rambutmu
Engkaulah gadis yang hadir di mimpiku
Lidahku kelu tercekat
Kuhela nafas dalam
Mengatur debar jantungku
Hanya sepenggal kata yang kutangkap
Ketika kau bicara panjang
Aku hanyut di arus asmara
Rasanya aku tenggelam
Mengatur debar jantungku
Hanya sepenggal kata yang kutangkap
Ketika kau bicara panjang
Aku hanyut di arus asmara
Rasanya aku tenggelam
Semakin jauh bayang senyummu
Tak mampu kubuang
Aku jatuh hati
Saat pertama menatapmu
Tak mampu kubuang
Aku jatuh hati
Saat pertama menatapmu
Mungkinkah samudera
Dapat menolong aku
Mengungkapkan rasa
Cintaku yang membara
Tetapi badai mengingatkanku
Untuk menyerah
Sebab engkau terlalu tinggi untuk kuraih
Sebab engkau
Terlalu jauh untuk kurengkuh
Dapat menolong aku
Mengungkapkan rasa
Cintaku yang membara
Tetapi badai mengingatkanku
Untuk menyerah
Sebab engkau terlalu tinggi untuk kuraih
Sebab engkau
Terlalu jauh untuk kurengkuh
Mataku
terpejam menikmati setiap alunan syair yang berpadu dengan petikan dawai gitar
itu. Aku seperti melayang. Terbang jauh menyentuh angkasa, memetik bintang.
“Lintang.” Aku merasa seseorang
memegang pundakku. Aku mencoba membuka mataku dan menoleh ke arahnya. “Kak
Awan.” Aku melihat sosok Kakakku. Dia kini duduk di sampingku, merangkulku. “Sudahlah,
Lintang. Kamu tidak boleh seperti ini terus.” Aku hanya diam. Dalam hati aku
mengumpat. “Perjalananmu masih terlalu panjang, jangan terlalu lama singgah.
Lanjutkan langkahmu.” Aku masih saja diam. Kak Awan mematikan radio tape yang
memutar rekaman suara Bayu tak jauh dariku. “Ikhlaskan Bayu, Lintang.” Kak Awan
berlalu dan aku masih terdiam.
Mimpi. Tadi hanyalah sebuah mimpi.
Ya, setidaknya Bayu sudah menepati janjinya walaupun hanya dalam sebuah mimpi.
Aku menitikkan air mataku. Mengingat terakhir kali kami bertemu. Ketika dia
bejanji. Ketika dia tersenyum lalu pergi. Pergi untuk selamanya.
*Lirik lagu
tersebut diambil dari lagu Ebiet G Ade - Serenade
Tidak ada komentar :
Posting Komentar