Asa, harapan, angan, cita-cita tidak dapat
dipisahkan dari hidup manusia. Bahkan manusia yang berkata tidak memiliki
harapanpun sebenarnya mereka masih memilikinya. Hanya mereka harus menemukan
harapan itu jauh di dalam hatinya.
Jika
ditanya harapan saya? Saya tidak bisa menjawabnya karena terlalu banyak yang
ingin saya capai. Namun, semua harapan saya memiliki inti yang sama. Saya ingin
hidup bahagia dan cara untuk menempuh kebahagiaan dalam hidup saya adalah hidup
saya harus bermanfaat untuk saya, orang lain, keluarga, bangsa, negara dan
agama. Di sini saya akan menguraikan dua harapan saya. Kenapa dua? Karena dua
hal ini benar-benar ingin saya wujudkan segera.
Saya
ingat sebelum saya kuliah, Ibu mengingatkan saya akan kata-kata saya sendiri.
Kala itu usia saya baru sekitar lima tahun. Anak pada usia tersebut biasanya
memiliki imajinasi yang tinggi dan jika ditanya cita-cita mereka akan
mengatakan cita-cita mereka tanpa mereka sadari rasionalisasinya. Beberapa
keponakan saya atau anak-anak yang saya temui beberapa waktu terakhir jika
ditanya apa cita-cita mereka, mereka menjawab ada yang ingin menjadi princess,
peri dan jawaban yang paling umum adalah ingin menjadi dokter. Lantas apa
jawaban saya ketika empat belas tahun lalu pertanyaan itu diajukan kepada saya?
Inilah jawaban saya...
“Buk, aku nanti kalau sudah besar kalau ke sekolah aku pakai kerudung ya. Terus nanti aku sekolah yang pinter biar bisa jadi guru. Nanti kalau uangku sudah banyak kita naik haji ya, Buk. Kalau kita naik haji sekolahku, aku liburkan.”
Kurang lebih itu lah jawaban saya. Saya ingin
menjadi seorang guru. Saya ingin membagikan ilmu yang saya dapat kepada para
generasi penerus bangsa Indonesia. Cita-cita saya semakin mantap saya wujudkan
ketika saya sudah menempuh kuliah. Saya mendapat banyak pengalaman selama
beberapa waktu kuliah. Saya sempat membantu mengajar di salah satu lembaga
pendidikan nonformal untuk memenuhi tugas mata kuliah dan di sanalah saya
semakin yakin akan cita-cita saya. Saya bertemu dengan anak-anak hebat yang
memiliki semangat belajar tinggi walaupun daerah mereka minim akan fasilitas
pendidikan. Saya juga bertemu para pemuda hebat yang tanpa pamrih mau membantu
anak-anak di sana dengan mendirikan lembaga pendidikan nonformal yang
manfaatnya sangat dirasakan oleh anak-anak dan masyarakat di sana. Awalnya saya
heran kenapa hanya ada satu sekolah dasar swasta seadanya dengan tiga ruang
kelas saja di sana, tapi ini lah ironi pendidikan di Indonesia. Ketika di
perkotaan sekolah-sekolah didirikan begitu lengkap dengan fasilitas, di
pedesaan, di pegunungan sekolah hanya berdiri seadanya. Seharusnya anak bangsa
memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak. Namun,
ketidakmerataan pembangunan membuat semuanya menjadi timpang.
Menjadi
seorang guru sekarang ini sering dibayangkan akan memperoleh gaji yang cukup
besar, tapi bukan itu inti menjadi seorang guru sejati. Guru sejati adalah guru
yang rela mengabdi, bukan hanya menjadi seorang pembelajar tapi juga seorang
pendidik. Bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja tapi juga membentuk
karakter. Mengembalikan karakter bangsa Indonesia yang kian lama kian luntur.
Saya berharap saya bisa seperti itu, menjadi guru yang sejati sehingga hidup
saya dapat bermanfaat dan tidak sia-sia.
Ketika
harapan saya yang pertama adalah menjadi seorang guru, harapan kedua saya
adalah menjadi seorang penulis. Penulis buku cerita anak-anak. Jujur saja saya
sangat prihatin dengan anak-anak zaman sekarang. Dulu ketika saya masih TK yang
saya tahu hanyalah bermain, tapi kemarin saat saya mendengar cerita dari sepupu
saya yang sekarang masih TK, saya tercengang. Bagaimana tidak, dia bertanya
tentang keanehan sikap temannya. Teman TK sepupu saya berkata kepada sepupu
saya bahwa sebut saja si A sering menatap teman TK sepupu saya mungkin si A
“mencintainya”. Astagfirullah hal adzim, mereka bahkan baru berusia lima tahun.
Saya sangat miris mendengarnya.
Masih
cerita dari sepupu saya lagi, dia juga menjadi korban penganiayaan oleh
temannya sendiri. Sepupu saya adalah anak yang supel dan mau berteman dengan
siapa saja. Pada suatu ketika salah satu temannya tidak suka sepupu saya berteman
dengan anak lain selain dia. Sepupu saya pun dipukuli dan sepupu saya tidak
berani lapor siapapun. Sampai akhirnya dia sering menangis tengah malam dan
mengeluh badannya sakit. Setelah didesak Ibunya dia baru mau bercerita.
Anak-anak
zaman sekarang terlalu sering menyaksikan acara televisi yang tidak
diperuntukan untuk mereka. Sehingga mereka bertindak sesuai apa yang mereka
lihat di televisi. Karena anak-anak cenderung melakukan seperti apa yang mereka
lihat dan yang mereka dengar. Kemajuan teknologi juga memberikan satu dampak
negatif bagi anak. Anak-anak zaman sekarang lebih suka bermain game di
handphone atau komputer daripada bermain dengan teman sebayanya. Hal ini dapat
mengurangi kemampuan anak untuk bersosialisasi dengan orang lain dan
lingkungannya.
Ketika
saya masih anak-anak, saya menghabiskan banyak waktu saya untuk bermain dan
membaca. Bermain di luar rumah bersama teman-teman saya. Saya mendapat banyak
pengalaman dari sana. Mengenal karakter orang lain, memecahkan masalah,
berbagi, bekerjasama dan masih banyak lagi. Selain itu saya juga sering
menghabiskan waktu saya untuk membaca. Dulu saya selalu meminta hadiah sebuah buku
jika Ayah saya bertanya “minta hadiah apa?”. Karena melalui buku saya belajar
banyak hal. Saya tahu banyak hal dari sana. Saya sangat suka membaca majalah
Bobo kala itu, banyak rubrik yang sangat saya sukai. Ada dongeng, cergam,
cerpen dan masih banyak lagi. Saya ingat dongeng, cerpen dan cergam yang saya
baca menyelipkan banyak nasihat dan tindakan yang bisa diteladani.
Minat
baca dari anak-anak yang rendah dapat menjadi sebuah
kebiasaan yang akan mereka bawa sampai dewasa. Ketika mereka malas membaca mereka
akan malas untuk belajar, malas menambah ilmu dan wawasannya. Oleh karena itu
saya berharap bisa menulis untuk anak-anak. Membagikan kepada mereka
cerita-cerita yang akan membangkitkan semangat mereka untuk terus belajar dan
tidak bermalas-malasan. Pastinya cerita yang dapat meningkatkan minat membaca
mereka dan juga minat belajar mereka.
Saya
sudah pernah mencoba menuliskan cerita anak-anak di blog ini tapi saya rasa
masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari cerita tersebut. Menurut saya
menulis cerita anak lebih sulit daripada menulis cerita roman karena cerita
anak menggunakan kalimat yang sederhana namun sarat akan makna.
“Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway 2.0: What Is Your Aspiration? —mfrosiy”
gaji guru nggak besar, gaji pensiunnya yang lumayan dan yang lebih besar lagi pahalanya juga hehe
BalasHapusrezka waktu kecil saya pengin jadi guru hanya karena orang tua saya keduanya guru
kemudian saya nyadar saya nggak bisa ngajar hehehe tapi nggak tahu juga kalau suatu saat bisa tercapai. ibu saya pernah komentar, peningkatan dong jadi dosen gitu... yang berubah ketika saya SMA. saya pengin jadi ekonom atau at least dosen ekonomi. (eh tapi mikir kuliah lagi kok males hehehe)
Semoga sukses untuk giveawaynya ya. Salam kenal dari blog mas hendra
BalasHapusHebat ey, masi kecil uda bertekad pake krudung gedeannya
BalasHapus