Keesokan
harinya Udin menjalankan apa yang dikatakan Sekar kemarin sore di kebun. Dia
datang lebih pagi hari ini. Dari tempat parkir dia berjalan menuju jajaran
warung kecil di kantin. Udin mulai mencoba menitipkan dagangannya dari warung
yang letaknya paling utara.
“Assalamualaikum,
Bu.”
“Waalaikumsalam. Kantinnya belum buka, kalau mau makan nanti saja.” jawab pemilik warung dengan ketus.
“Waalaikumsalam. Kantinnya belum buka, kalau mau makan nanti saja.” jawab pemilik warung dengan ketus.
“Ehm..
anu.. saya bukan mau makan di kantin, Bu, tapi saya mau menitipkan ini.”
Pemilik
warung itu melirik apa yang dibawa Udin. Singkong goreng.
“Tidak,
saya tidak mau. Warung saya tidak menjual makanan seperti itu.” jawabnya
sedikit mengejek.
Udin
menghela napas panjang, “Oh, ya sudah, Bu, terimakasih.”
Udin meyakinkan dirinya untuk tidak
menyerah. Ini baru satu warung, masih ada tiga warung lagi, pikirnya. Udin
mulai menawarkan untuk menitipkan dagangannya lagi. Dua warung yang didatangi
selanjutnya memberikan penolakan yang sama namun, penolakan yang lebih sopan
daripada warung pertama.
Udin tidak putus harapan. Masih ada
satu warung lagi. Udin berharap banyak semoga disini tidak ada penolakan.
Memang warung terakhir ini lebih kecil dari tiga warung yang lainnya, tapi
siapa yang tahu jika di warung ini malah menerima titipan Udin?
“Assalamualaikum,
Bu.”
“Waalaikumsalam.
Ada apa cah bagus?” jawab Ibu pemilik
warung dengan ramah.
“Eh,
ini Bu, apa boleh saya mau titip gorengan disini?” Udin menunjukkan singkong
gorengnya. Seketika itu aroma gurih singkong goreng mentega buatan Udin menguar
di udara.
“Mau
sampean jual berapa?”
Mendengar kata-kata itu Udin seperti
tidak percaya. Apakah ini salah satu tanda penerimaan?
“Le, cah bagus?” Ibu pemilik warung
menepuk pundak Udin, menyadarkannya dari lamunan sesaatnya.
“Dari
saya lima ratus, Bu. Nanti Ibu bisa menjualnya seribu lima ratus dapat dua.”
Udin meyakinkan.
Ibu
itu malah tertawa, “gampang lah itu, Le.
Sampean taruh sini saja.”
“Alhamdulillah.
Terimakasih banyak ya, Bu. Assalamualaikum.” Udin meletakkan singkongnya di
meja warung itu kemudian berjalan menuju kelasnya dengan wajah sumringah.
***
Sebelum pulang sekolah, Udin
menghampiri warung yang tadi pagi dititipinya singkong goreng. Dia berharap
walaupun tidak laku semua, setidaknya ada beberapa yang terjual supaya dia bisa
pulang tidak dengan tangan hampa.
Kala itu kantin masih agak ramai.
Udin memilih untuk duduk di bangku panjang tak jauh dari kantin. Dia menunggu
sampai kantin sepi. Setidaknya masih ada harapan sebuah, dua buah singkongnya
akan laku lagi.
Beberapa saat kemudian kantin sudah
mulai sepi. Udin berjalan perlahan menghampiri pemilik warung yang tadi
dititipinya singkong goreng.
“Assalamualaikum.”
Perempuan
itu menoleh dan tersenyum ketika melihat Udin disana, “mau mengambil titipan
ya, Le? Sebentar ya, Ibu hitung
dulu.” Perempuan itu bergegas menghitung sisa singkong goreng yang tadi
dititipkan Udin.
“Tadi
sampean titip dua belas biji ya, ini sisanya ada enam berarti uangnya tiga
ribu.” Ibu itu mengeluarkan tiga lembar uang seribuan, “ini uangnya. Tidak usah
khawatir kalau dagangan sampean tidak
habis. Yang penting sampean sudah
berusaha. Jangan kapok titip di sini ya, Le.”
Udin menerima uang dari pemilik
warung penuh syukur, tidak lupa ia juga membungkus sisa singkong gorengnya,
“Alhamdulillah. Iya, Bu. Terimakasih banyak ya, Bu. Saya pulang dulu,
assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Udin mengayuh sepedanya pulang
dengan penuh syukur. Udin bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan untuknya
hari ini. Tidak banyak memang, hanya tiga ribu rupiah. Tapi tiga ribu rupiah
itu sangatlah berarti untuk keluarga Udin. Udin bertekad untuk terus berusaha.
Hari ini boleh hanya mendapat tiga lembar seribuan, tapi besok harus bisa lebih
dari itu.
***
Hari-hari berikutnya Udin terus
menitipkan singkong gorengnya di warung paling selatan di kantin. Kadang
titipannya habis, kadang sisa. Tidak tentu. Tapi Udin selalu bersyukur atas
itu.
Setiap hari Udin memberanikan diri
untuk menambah jumlah titipannya. Sekarang Udin tidak hanya menitipkan
singkongnya pada warung paling selatan di kantin sekolahnya. Dua warung yang
sempat menolaknya pun kini juga mau menerima titipan singkong goreng Udin. Udin
juga menitipkan singkongnya di warung kopi sebelah rumahnya. Singkong goreng
Udin sudah semakin banyak peminatnya.
***
“Wah,
sekarang kamu jadi Kingkong beneran ya, Din.”
Rina,
teman sekelas Udin yang dulu sering mengolok-olok Udin tiba-tiba berdiri di
samping tempat duduk Udin.
Udin
menoleh, “Belum kok, Na. Ini masih awal, suatu saat aku harus jadi pengusaha
olahan singkong supaya menjadi seperti yang kamu katakan. Aku si Udin
Kingkong.” Udin terkekeh, “Oh iya, terimakasih ya sudah memberiku julukan itu.”
Seketika itu juga wajah Rina merah
padam. Ia merasa malu atas perlakuannya pada Udin selama ini, “Maafkan aku,
Din.” Rina berlutut di samping tempat duduk Udin.
Udin
kelabakan, dia kaget dengan sikap Rina, “Rin, jangan seperti itu dong. Aku
tidak marah padamu, sungguh Rin.” Udin membantu Rina berdiri.
“Benar,
Din kamu tidak marah?”
Udin
menggeleng kuat.
“Terimakasih
ya, Din kamu baik sekali. Padahal aku sudah jahat sama kamu.” ucap Rina penuh
penyesalan.
“Sudahlah,
Rin, jangan dipikirkan lagi.” kata Udin ramah.
“Sekarang
kita berteman kan?” Rina mengulurkan tangannya.
“Loh,
lha memangnya selama ini apa kita bukan teman?” Udin menjabat uluran tangan
Rina. Mereka berdua pun tergelak.
“Eh,
ngomong-ngomong singkong kamu ternyata rasanya enak.” kata Rina disela tawanya.
“Oh,
jadi sekarang kamu mau makan singkongku juga?”
“Iya,
aku sekarang kan Rina singkong lover.”
Mereka
pun tenggelam dalam canda.
Sekar berjalan ke kelas, dari pintu
dia melihat Udin tengah tertawa bersama Rina.
“Ciyee,
ada yang sudah akur nih.” Sekar masuk dengan senyum menggoda.
“Nah,
ini nih. Pahlawan yang sudah membawaku menjadi seperti ini.” Udin berdiri
menyambut Sekar.
“Ehem.”
Rina berlaga terbatuk walaupun sebenarnya tenggorokannya tidak gatal.
“Kamu
itu terlalu berlebihan, Din.” Sekar tersenyum malu.
“Loh,
aku serius Sekar.” Udin menghela napas panjang, “Terimakasih banyak ya, Sekar.
Oh, ya nanti sore aku mau sowan ke
rumah kamu boleh? Aku mau membagi singkong gorengku ke Abah?”
Sekar
mengangguk tanda setuju, “Sama-sama, Din, kita semua kan teman, jadi sudah
semestinya saling membantu. Benar kan, Rin?” Sekar menyenggol lengan Rina
dengan sikunya. Rina mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.
***
Tidak ada lagi permusuhan. Tidak ada
lagi kalimat ejekan. Semua menyatu dalam kebersamaan. Udin tidak pernah dendam
dengan orang-orang yang dulu pernah memandangnya sebelah mata. Justru mereka
adalah cambuk bagi Udin untuk membuktikan kemampuannya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar