Hay, hay pembaca.. :D
Sudah baca cerbung Udin Kingkong belum? Tentunya sudah dong ya. Cerita yang saya bagi menjadi empat bagian ini menghabiskan sebelas halaman kertas A4. Rekor cerita terpanjang yang telah saya tulis hingga sekarang. Udin Kingkong menceritakan tentang seorang remaja laki-laki bernama Udin yang dijuluki “Kingkong” oleh teman-temannya. Bukan karena Udin berbadan tinggi besar dengan kulit yang hitam justru sebaliknya. Udin bertubuh kerempeng, ya walaupun tinggi dan hitam.
Sudah baca cerbung Udin Kingkong belum? Tentunya sudah dong ya. Cerita yang saya bagi menjadi empat bagian ini menghabiskan sebelas halaman kertas A4. Rekor cerita terpanjang yang telah saya tulis hingga sekarang. Udin Kingkong menceritakan tentang seorang remaja laki-laki bernama Udin yang dijuluki “Kingkong” oleh teman-temannya. Bukan karena Udin berbadan tinggi besar dengan kulit yang hitam justru sebaliknya. Udin bertubuh kerempeng, ya walaupun tinggi dan hitam.
Julukan
Kingkong diberikan kepada Udin karena Udin selalu membawa singkong sebagai
bekalnya ke sekolah. Udin memang bukan anak orang berada. Makan nasi bisa
dibilang adalah sebuah kemewahan.
Di
sini saya tidak akan membicarakan jalan cerita Udin Kingkong. Kalau kalian
penasaran bisa baca sendiri di blog ini. Saya akan membahas kenapa saya menulis
Udin Kingkong “sampai selesai”.
Alhamdulillah,
saya bersyukur cerita Udin Kingkong dapat saya tuntaskan dengan cukup baik.
Udin Kingkong bernasib lebih beruntung daripada cerita “Tak Ada yang Abadi”
yang sampai sekarang tidak saya selesaikan karena saya lupa jalan ceritanya.
Alhasil cerita Tak Ada yang Abadi hanya berhenti sampai bagian ketiga di blog
ini.
Saya
menuliskan cerita Udin Kingkong sepulang kuliah. Kala itu saya pulang setelah
maghrib. Kuliah saya memang selesai pukul 15.00 sore tapi setelah kuliah, saya
mendapat bagian tugas menjaga kantin ormawa di fakultas saya. FYI, saya adalah
salah satu anggota organisasi berbasis kewirausahaan di kampus.
Saat
saya menjaga kantin, teman saya mengajak saya berunding tentang mading ormawa.
Akan diisi apa mading tersebut nanti. Saya bersemangat ingin menyumbangkan
sebuah cerpen untuk mading itu. Akhirnya saat saya sampai di kos saya langsung
menuliskan Udin Kingkong dan melupakan tugas yang besok harus dikumpulkan. Ini
kebiasaan buruk saya, kalau sudah dapat inspirasi harus segera ditulis, keburu
kabur nanti inspirasinya.
Nah,
awal menuliskan cerita ini hanya berhenti sampai halaman empat, setelah itu
saya mengerjakan tugas kuliah. Setelah selesai saya langsung posting di blog
dengan tujuan supaya saya punya motivasi untuk menyelesaikan cerita si Udin.
Ternyata setelah saya posting, ada respon baik dari teman sesama blogger. Ah,
saya semakin bersemangat.
Beberapa
hari kemudian saya berpikir, apa ya mungkin cerita si Udin bisa dimuat di
mading. Karena sampai halaman empat saja cerita masih belum menampilkan
klimaksnya apalagi penyelesaian. Akhirnya saya urung menyetorkan cerita si Udin
ke mading.
Nah,
setelah itu motivasi saya melanjutkan cerita si Udin mulai menurun. Saya malah
banyak menulis hal lain dan melupakan Udin. Sampai teman sesama blogger, sebut
Kak Dhyn beberapa kali menanyakan kelanjutannya si Udin. Wah saya senang
sekali, ternyata ada yang menantikan cerita saya. Tapi, motivasi saya untuk
menuliskan cerita si Udin masih belum cukup.
Siang
hari saat saya menonton televisi di rumah, ponsel saya berdering. Ketika saya
angkat, ada suara Ibu-Ibu di ujung sana. Kurang lebih begini,
Ibu salah sambung : Halo, assalamualaikum.
Saya : Waalaikumsalam, maaf ini sia-
Ibu salah sambung : Ini Mas Udin ya? Pegawai *tiittt*
Saya : Eh? Maaf Bu saya bukan Udin, Saya Rezka.
Ibu salah sambung : Rezka temannya Mas Udin ya? Pegawai *tiittt* juga?
Saya : Bukan, Bu, saya mahasiswa. Maaf Ibu salah sambung.
Ibu salah sambung : Loh, tapi ini nomor yang dikasih Mas Udin katanya nomornya.
Saya : Ini nomor saya, Bu, sudah saya pakai dua tahun dan saya tidak kenal dengan Mas Udin pegawai *tiittt*.
Ibu salah sambung : Yang benar?
Saya : Iya, Bu.
Ibu salah sambung : Oh, ya sudah maaf ya.
Saya : Iya, Bu.
Ibu salah sambung : Halo, assalamualaikum.
Saya : Waalaikumsalam, maaf ini sia-
Ibu salah sambung : Ini Mas Udin ya? Pegawai *tiittt*
Saya : Eh? Maaf Bu saya bukan Udin, Saya Rezka.
Ibu salah sambung : Rezka temannya Mas Udin ya? Pegawai *tiittt* juga?
Saya : Bukan, Bu, saya mahasiswa. Maaf Ibu salah sambung.
Ibu salah sambung : Loh, tapi ini nomor yang dikasih Mas Udin katanya nomornya.
Saya : Ini nomor saya, Bu, sudah saya pakai dua tahun dan saya tidak kenal dengan Mas Udin pegawai *tiittt*.
Ibu salah sambung : Yang benar?
Saya : Iya, Bu.
Ibu salah sambung : Oh, ya sudah maaf ya.
Saya : Iya, Bu.
Telepon mati dan rasanya saya seperti
ditampar. Saya jadi teringat dengan cerita si Udin yang saya gantung begitu
saja. Saya terpikir untuk segera menyelesaikan cerita si Udin daripada saya di
teror dengan nama Udin yang terus terngiang-ngiang di otak saya.
Saat
saya menyalakan laptop, tiba-tiba ponsel saya bergetar ada sms masuk dari nomor
yang sama yang baru saja menelfon saya.
Assalamualaikum, ini nomor Mas Udin?
Saya matikan ponsel saya dan bergegas menyelesaikan cerita si Udin.
Intinya
adalah kita harus menyelesaikan apa yang sudah kita mulai. Suatu hal yang kita
mulai tanpa penyelesaian hanya akan menjadi sia-sia. Menghindar tidak akan
mengurangi tanggungan kita melainkan malah menambahnya menjadi beban. Jadi,
siap untuk memulai maka siap untuk mengakhiri... :)
Assalamualaikum, ini nomor Mas Udin?
Saya matikan ponsel saya dan bergegas menyelesaikan cerita si Udin.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar