Kamis, 13 Agustus 2015

Mak Comblang

http://rossyatesyak.blogspot.com/2013/01/or-choose-pink.html
sumber : http://rossyatesyak.blogspot.com/2013/01/or-choose-pink.html

Aku menatap kaca kecil yang terpasang di dekat tempat wudhu mushola. Tanganku bergerak lincah membenarkan kerudung warna putih yang hendak ku kenakan. Sesekali ku tengokkan sedikit kepalaku untuk memastikan bagian lipatan kerudungku rapi.
            Anita berdiri di sebelahku. Dia menatapku sembari sesekali tersenyum kecil. Matanya yang sipit tampak terpejam. Aku hanya meliriknya dengan wajah dongkol. Setelah kerudungku sudah terpasang rapi, aku menggait tangan Anita dan mengajaknya kembali ke kelas, “jangan ketawa terus kamu. Yuk, balik!” Diluar dugaan, tawa Anita malah pecah.
            Aku menggigit bibir bawahku dan menyeret Anita menjauhi mushola. Aku benar-benar kesal. Tak sampai di kelas langkahku terhenti, “ini semua gara-gara kamu. Ini ide gila kamu!” suaraku tertahan. Anita mengacungkan dua jarinya membentuk huruf v. “Ampun, Win. Damai ya.”
            Aku memundurkan tubuhku dan bersandar pada tembok, “lihat sekarang hasil perbuatanmu. Dia merasa aku punya hati sama dia.” Anita cekikikan, “bukannya memang benar begitu ya, Win?” Tidak ada jawaban. Hanya lirikan tajam dan membunuh yang ku tujukan pada Anita. Anita kembali mengacungkan dua jarinya membentuk huruf v.
            “Kamu kan tahu kalau aku tidak mau pacaran.”
“Tapi bukan berarti kamu tidak mau membuka hati juga, kan?” Anita mengedipkan sebelah matanya. “Tidak. Aku juga tidak akan membuka hatiku untuk dia maupun siapapun sebelum waktunya.” Aku terdiam. Benarkah aku memang seperti itu? Benarkah aku tidak membuka hatiku? Dan kenapa sekarang aku merasa seperti telah membohongi diriku sendiri? Aku menelan ludah yang terasa sangat susah.
            “Sudahlah, kamu tidak usah berbohong pada dirimu sendiri.” Seaakan bisa membaca pikiranku, perkataan Anita benar-benar menusukku. “Tak masalah jika kamu tidak mau pacaran, tapi aku yakin dia pasti akan jadi salah satu nominasi pendamping hidupmu kelak.” Anita terkekeh dan aku merasa ada rona merah yang timbul di wajahku. “Kita masih terlalu kecil, masih belum waktunya membicarakan pendamping hidup.” Ucapku tegas. Anita mengangkat bahu. “Aku berani bertaruh, saat pulang sekolah dia akan menawarimu tumpangan untuk pulang.” Anita melangkahkan kakinya menuju kelas. Meninggalkan aku yang semakin sebal.
            Tepat setelah bel pulang berbunyi dan satu persatu murid keluar dari kelasnya, ada sosok pemuda yang menghampiriku. Pemuda itu semakin mendekat dan berhenti tepat di depanku, “Winda nanti kamu pulang sama siapa? Bareng aku yuk!” Aku melongo sejenak. Aku melirik tajam ke arah Anita. Aku melihat bibirnya bergerak melafalkan “mie ayam Pak Ujo” tanpa suara.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar