sumber gambar : https://sourandsugar.wordpress.com/2013/01/01/resume-muhasabah-akhir-tahun-aa-gym/cermin-diri/
Aku hanya mampu duduk dan menatap pilu sosok itu. Bibirku
terkatup rapat dan air mataku meleleh perlahan. Gadis cantik berambut panjang
yang mengenakan seragam putih abu-abu. Jari telunjuk dan jari tengahnya
mengapit tembakau yang di sulut ujungnya. Sesekali dia menyesapnya dan mengembuskan
asap dari bibir tipisnya.
Hatiku
getir ketika melihat seorang wanita paruh baya berteriak histeris ke arah gadis
itu, “berhentilah melakukan hal biadab itu!”
Si
gadis hanya tersenyum sinis dan malah berjalan menghampiri wanita itu dan mengembuskan
asap di hadapannya kemudian berlalu begitu saja. Sontak sang wanita paruh baya
terbatuk-batuk. Satu tangannya mengusap air mata yang meleleh di pipinya dan
tangan yang lain mengelus dadanya, “Duh, Gusti, kuatkanlah hambamu ini.”
Malam
semakin larut tapi si gadis belum terlihat batang hidungnya. Wanita paruh baya
itu kini mengenakan daster bermotif bunga berwarna jingga. Dia berjalan
mondar-mandir di teras rumahnya. Wajahnya terlihat penuh kekhawatiran. Dia
tengah menunggu. Menunggu si gadis, putri tunggalnya.
Sudah
hampir tengah malam membuat wanita paruh baya itu semakin gelisah. Jemarinya
tak henti memencet tombol ponsel yang di genggambanya. Dalam cahaya remang dia
berusaha menghubungi teman-teman si gadis untuk menanyakan keberadaannya dan
hasilnya nihil. Wajah keriputnya semakin tampak berkerut. Pertahanannya mulai
runtuh, “Duh, Gusti, ampunilah hamba yang tidak mampu menjaga amanah-Mu. Hamba
sudah tidak sanggup, hamba serahkan putri hamba kepada-Mu.” Air mata mulai
meleleh dari pelupuk matanya.
Wanita
itu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, menutup pintunya dan duduk di sofa
ruang tamu. Dia tetap berusaha walaupun kantuk akhirnya melemahkannya. Dia
tidur dalam posisi duduk dengan sejuta kekhawatiran yang berjubel di benaknya.
Kira-kira pukul empat dini hari, ponselnya berdering. Ada nomor tidak dikenal
tampak di layarnya. Tanpa pikir panjang dia pun meraih ponselnya dan memencet
tombol hijau,
“Halo, Assala-“
“Mamaa..” terdengar suara lemah dan bergetar dari ujung telepon.
“Shinta? Apa ini benar kamu, Nak? Kamu di mana?” Antara percaya dan tidak, sedih dan bahagia, khawatir dan lega, wanita itu mengajukan banyak pertanyaan kepada si gadis.
“Maa, tolong... aku di seko-“ suara itu terputus dan berganti dengan suara jeritan.
“Halo, Assala-“
“Mamaa..” terdengar suara lemah dan bergetar dari ujung telepon.
“Shinta? Apa ini benar kamu, Nak? Kamu di mana?” Antara percaya dan tidak, sedih dan bahagia, khawatir dan lega, wanita itu mengajukan banyak pertanyaan kepada si gadis.
“Maa, tolong... aku di seko-“ suara itu terputus dan berganti dengan suara jeritan.
“Shinta? Halo, Nak?” Telepon terputus. Jantungnya kini berdegub
kencang. Tanpa berpikir panjang wanita itu bergegas menuju sekolah Shinta. Dia
hanya menyambar jaket lusuh berwarna coklat miliknya kemudian mengendarai
sepedanya.
Sesampainya
di sekolah Shinta, wanita itu segera berlari dan memanggil-manggil putrinya, “Shintaa..
Shintaa...” lama sampai dia melewati sebuah ruangan yang tampak seperti gudang.
Dia mendengar suara lemah merintih. Dia pun segera memasuki ruangan itu dan
menyalakan saklar lampu yang terletak di balik pintu.
Bagai
di sambar petir wanita itu terduduk lemas dan air matanya meleleh. Mulutnya tak
sanggup berucap. Dia mendapati putrinya tergeletak dengan pakaian tak lengkap.
Banyak luka sundutan rokok di sekitar dada dan paha si gadis. Rambutnya
acak-acakan. Beberapa bagian tubuhnya pun lebam-lebam.
Aku
menutup mataku. Air mataku terus meleleh tanpa henti. Aku hanya mampu diam
sampai seorang wanita paruh baya menghampiriku dan menyentuh pundakku, “Sudah
ya, Nak, jangan terus menerus menangisi masa lalu. Kamu harus kuat dan berjuang demi janin di rahimmu sekarang.” Lalu wanita itu mendorong kursi rodaku
menjauhi cermin.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar