sumber gambar : google
Angin malam berembus pelan. Di bawah pohon cemara di tepi
danau, aku berdiri mematung, memandangi sampan yang bersandar di tepian. Ada jala
dan ikan hampir busuk yang berserakan. Bau anyir sesekali mencekik indra
penciuman.
Aku menggenggam
sebuah cincin emas bermata intan yang menjadi buah dari hasil kerja kerasku
selama ini. Namun, semuanya terlambat bahkan sebelum dimulai. “Aarrgghh!” Aku
melemparkan cincin itu ke danau. Satu gelombang air muncul mengiringi
tenggelamnya semua asa yang telah kurajut dengan jatuh bangun.
“Cinta?
Abang bilang cinta pada, Biru?” Pertanyaan itu terngiang lagi. Mataku terpejam.
“Pernikahan yang hanya bermodal cinta dan bisa hidup bahagia selamanya itu cuma
dongeng. Kita hidup di dunia nyata, Bang. Belilah sampan. Jalalah ikan.
Setidaknya itu cukup untuk memberiku makan.”
“Sampan
sudah di hadapan, ikan pun telah ku jala. Jangankan menghidupimu, menghidupi
keluarga kecil kita pun aku sanggup.” Aku memekik tertahan. “Aku sudah menepati
janjiku, melamarmu di bawah bulan biru, tapi kamu..” suaraku tercekat di
tenggorokan. Buukk!! Kuhantamkan bogem
mentah ke arah pohon cemara di sampingku. Aku merasa ada yang mengalir dari
tanganku. Merah. Darah.
Aku
tersenyum kecut dan pulang dengan kekecewaan yang mendalam. “Enyah kau, Basuki! Dasar penipu!”
Under the blue moon, I
feel so blue...
194 kata untuk prompt #85: Sang Pelukis Bulan
Malang, ditulis di bawah sinar bulan
Tidak ada komentar :
Posting Komentar