Jumat, 01 Januari 2016
Hari-Hari Menjelang Pernikahan
Jangan husnudzon dulu ya, yang akan menikah adalah Kakak saya dan bukan saya. Jadi, ceritanya kemarin saat saya sedang kepo dengan postingan lama di blog Mbak Silviana, saya menemukan satu postingan yang berjudul “Menikmati Peran sebagai Kakak”. Dari sana sedikit banyak saya mengerti kehidupan kakak beradik dari sudut pandang seorang kakak dan saya tergelitik untuk menuliskan juga kehidupan kakak beradik saya dari sudut pandang seorang adik.
Saya adalah bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakak saya laki-laki. Tidak heran kalau terkadang saya bersikap dan berpikiran seperti laki-laki walaupun penampilan saya feminim. Hal itu karena saya melihat bagaimana cara kakak saya menyelesaikan suatu masalah dan saya menirunya. Orangtua saya mendidik saya dan kakak-kakak saya dengan cara yang sama. Bedanya mungkin kalau ke saya tidak sekeras ke kedua kakak saya. Jangan berpikir orangtua saya otoriter ya, karena kedua orangtua saya sangat demokratis dalam mendidik kami. Keras yang saya maksud disini adalah tegas.
Nah, kisah kehidupan kakak beradik itu penuh dengan suka duka. Teman-teman saya banyak yang bilang bahwa saya beruntung dilahirkan sebagai seorang adik dan tidak harus menjalankan peran seorang kakak. Mereka selalu berkata kalau adik itu pasti dapat semuanya. Ah, tidak seperti itu. Di rumah saya, kakak dan adik sama saja, apapun pasti dibagi rata. Saat teman-teman saya bercerita bagaimana jengkelnya menjalankan peran sebagai kakak, saya malah kepingin sekali menjadi seorang kakak. Bahkan, ada beberapa adik dari teman-teman saya yang lebih dekat dengan saya daripada dengan kakaknya sendiri kala itu.
Loh, kenapa saya malah ingin menjadi seorang kakak? Karena saya tidak perlu lagi memutar otak untuk mendapatkan sedikit saja pengakuan dan perhatian dari seorang kakak.
Jadi, kakak pertama saya adalah orang yang pendiam. Beda usia saya dengannya adalah 12 tahun. Saat saya masih SD kelas 5 kakak pertama saya sudah menikah dan tinggal dengan istrinya. Kami jarang bercanda. Mungkin karena kakak saya yang lebih diam.
Namun, setelah menikah dan saya mulai beranjak remaja, setiap kakak main ke rumah pasti saya akan jadi sasaran lemparan bantal. Kakak pertama saya suka menggoda saya dengan melempari saya dengan bantal kecil ketika sedang berkonsentrasi menonton televisi. Dia akan tertawa puas ketika melihat saya cemberut dan mengomel dengan bibir yang manyun.
Selain itu dia juga suka menggoda saya dengan membacakan status alay di facebook saya dan menghubungkannya dengan teman kecil saya. FYI, teman kecil saya adalah seorang anak laki-laki dan kakak saya selalu mengejek saya berpacaran dengan dia setelah dewasa. Itu hanya alasan kakak saya saja supaya bisa puas menggoda saya. Padahal sampai sekarang pun kita tetaplah teman biasa.
Beda kakak pertama beda kakak kedua. Kalau kakak saya yang kedua memiliki selisih usia 7 tahun dengan saya. Saya mengalami masa kecil yang buruk dengannya tapi kalau teringat malah membuat saya tertawa habis-habisan. Dulu saat saya masih TK sampai SD, kakak selalu sok cuek terhadap saya. Saya diacuhkan dan tidak mau saya dekati. Nah, dia akan mendekati saya dengan sendirinya ketika saya menonton televisi dan pelan-pelan akan merebut remote dan mengganti channelnya. Saya selalu mutung (ngambek) jika kakak seperti itu. Sampai pada suatu hari, kakak memberi saya sebuah bola bekel yang besar dengan syarat saya akan dengan secara sukarela memberikan remote tv kepadanya sehari penuh dan dengan polosnya saya pun setuju. Duh, kalau ingat kejadian itu perut saya pasti mulas karena terlalu banyak tertawa.
Pernah juga sekali waktu saya heboh menangis gara-gara kakak saya tidak mau pindah dari tempat saya biasa menonton televisi. Ah, masa-masa itu. Kakak kedua saya juga pandai merayu. Waktu itu, nenek memberi satu bungkus baso dan tidak ada yang mau makan. Ya, karena hobi saya makan akhirnya saya lah yang dengan sukarela memakannya. Saat tengah asik melahap bulatan besar baso, kakak kedua saya yang tadinya tidak mau pun mendekati saya dan memasang wajah sok manis. “Minta satu ya,” dia merebut garpu ditangan saya dan melahap satu bulatan besar baso dengan cuek sedangkan saya mulai memanyunkan bibir saya. Sebelum pergi, kakak mencubit kedua pipi saya dengan gemas dan lari meninggalkan saya yang mulai mengomel.
Nah, ketika mulai remaja saya sering dikira pacarnya kakak. Hahaha, jadi ceritanya sampai SMA kelas X saya tidak pernah mau dibonceng teman saya yang laki-laki. Waktu itu pulang sekolah dan saya tidak membawa motor, saya pun menunggu dijemput. Ketika yang datang menjemput adalah kakak, saya cuek saja dan langsung duduk di boncengan dan memegang erat pinggang kakak saya. Dari gerbang sekolah sampai di jalan, teman-teman saya menatap saya dengan pandangan tidak percaya dan besoknya saya seperti artis yang dicari-cari wartawan. Ditanyai sana-sini tentang siapa gerangan laki-laki yang membonceng saya pulang dan mereka sangat tidak puas menerima jawaban bahwa dia adalah kakak saya dan malah menuduh dia pacar saya. Bukan sekali itu saja, bahkan guru-guru kakak juga tidak percaya bahwa saya adalah adiknya. -_-
Semakin dewasa, semuanya berubah. Apalagi ketika kakak kuliah, saya sering merindu diam-diam karena tidak ada teman bercanda. Rindu saat-saat kakak sering menggantikan Bapak mengantar saya les dan mengantar saya ke toko buku.
Kakak selalu menjadi wali murid ketika pengambilan rapor di sekolah karena Bapak tidak bisa datang. Bapak juga wali kelas yang harus membagikan rapor kepada muridnya. Sedangkan, Ibu akan menyuruh kakak saja kalau kakak di rumah karena Ibu lelah menunggu nama saya dipanggil. Kan nama saya diawali huruf W. Tentu itu sebuah candaan, sekolah saya cukup jauh dan Ibu tidak ada yang mengantar ke sekolah karena saya selalu jadi petugas penerima tamu saat pembagian rapor jadi saya tidak bisa mengajak Ibu turut berangkat pagi-pagi sekali.
Sebentar lagi, kakak akan menikah dan mengikuti jejak kakak saya yang pertama untuk tinggal dengan istrinya. Di rumah? Hanya tersisa saya, Ibu dan Bapak. Saya membayangkan betapa sepinya nanti. Tidak ada lagi nonton kartun berdua sampai malam, tidak ada lagi bercanda-bercanda garing, tidak ada lagi cemberut dan ngomel gara-gara kakak, tidak ada lagi bermain dengan bayi-bayi bajing (sejenis tupai pemakan kelapa). Huft.. entah kenapa, akhir-akhir ini saya merasa kedekatan saya semakin erat dengan kakak.
Menjalankan peran sebagai adik, tidaklah mudah. Awalnya, harus memutar otak untuk mendapat perhatian dan yang lebih penting pengakuan dari kakaknya. Berusaha mencintai apa yang dicintai kakaknya supaya kakaknya mau memandang dan menganggapnya ada. Walaupun terkadang hal itu malah membuat jengkel kakaknya, karena mereka sendiri pun juga masih menata hati untuk menerima keberadaan adiknya.
Saya selalu berpikir indahnya jika memiliki kakak laki-laki seperti di FTV, kakak yang sayang dan perhatian terhadap adiknya, begitu melindungi dan seakan seperti sahabat adiknya. Dan, selama 19 tahun hidup saya, hanya beberapa tahun saja saya merasakan hal itu. Karena saat saya mulai mendapatkan seperti apa yang saya angankan, kakak akan pergi untuk menikah dan menjalani kehidupan barunya.
Pagi ini, kakak menggoda saya untuk memecah durian bersama. Sebuah hal yang sering kami lakukan ketika musim durian. Ketika Bapak pulang membawa buah durian masak, kami akan memakannya bersama, tapi hanya saya dan kakak kedua saya saja yang tahan menghabiskan tiga buah durian sekaligus. Pagi ini, kakak menggoda saya hanya akan menyisakan tiga biji durian saja. Secara refleks saya mutung dan mengomel ke arahnya dengan bibir yang manyun. Ah, sebesar apapun tubuh saya, sedewasa apapun usia saya, saya tetaplah adik kecil kakak.
Semoga setelah hari pernikahan kakak nanti, you will always remember your little sister here.. Love you :)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Hmmm, beda posisi beda pengalaman ya...
BalasHapusKk y posisi anak pertama juga punya pandangan sendiri :D
Iyaa kak, memang gitu.
HapusKehidupan kakak beradik memang unik di setiap posisi :D