Kamis, 10 Desember 2015

Tumbuhkanlah Cintamu

Judul tersebut terinspirasi dari ucapan Ustadz, kemarin selepas saya selesai mengaji. Saat itu, di luar hujan turun dengan derasnya, sementara santri yang akan mengaji sudah tidak ada. Tinggalah saya dan teman se-kos saja yang menjadi santri terakhir sore itu.

Hari itu, kami mendapat waktu mengaji yang lebih lama dari biasanya pun lembaran Iqra' yang kami baca. Iya, Iqra' bukan al-quran. Saya memulai dari awal, mempelajari kembali dari awal bagaimana membaca al-quran dengan baik dan benar.

Selepas mengaji, Ustadz memersilakan kami untuk bertanya. Awalnya, teman saya bertanya tentang bab yang tadi dipelajarinya. Pertanyaan terus berlanjut sampai saya melontarkan suatu pertanyaan yang mendengar jawabannya saja membuat saya terdiam.

"Ustadz, kemarin saat di rumah saya mencoba membaca al-quran lagi. Tapi kenapa ya rasanya kok malah menjadi susah dan saya tidak lancar membacanya?"

"Oh, begitu. Itu karena sampean memang belum waktunya untuk membaca al-quran."

Ustadz malah tertawa kecil. Sementara saya termenung dan memikirkan satu hal, saya kan sudah pernah khatam al-quran tapi kenapa Ustadz malah berkata saya belum waktunya membaca al-quran. Ustadz pun melanjutkan bicaranya,

"Jadi begini, sampean kan sekarang belajar dari awal. Sampean harus selesaikan dulu buku ini. Diperlancar, setiap hari dibaca, nanti lama-lama akan terbiasa."

Saya hanya manggut-manggut. Memang benar, makhrojul huruf saya masih banyak yang salah dan setelah mengaji di sini, diperbaiki dan diajari bagaimana pelafalan huruf yang benar. Mungkin itu salah satu penyebab saya malah menjadi kurang lancar membaca al-quran.

"Mbak, sampean mau haknya dikurangi?"

Pertanyaan Ustadz ini aneh, tentu saja saya dan teman saya menggeleng tanda tidak mau.

"Nah, gimana rasanya kalau hak kalian dikurangi?"

"Tidak enak Ustadz, ada yang kurang, ada yang tidak pas rasanya," celetuk teman saya.

"Tidak enak kan. Bukan kalian saja yang punya hak, pun huruf-huruf ini, mereka juga punya hak. Di sini kalian belajar dan memahami hak-hak dari huruf ini. Bagaimana iya harus dilafalkan, bagaiamana dia jika bertemu dengan nun sukun dan lain sebagainya. Jadi, kalian harus memahami hukum-hukum bacaan atau tajwid ini dulu sebelum membaca al-quran. Kalian harus mempelajarinya secara utuh, tidak setengah-setengah. Insya Allah, setelah paham maka membaca al-quran pun akan lancar dan bisa mulai hafalan."

*FYI, di sini setelah selesai mempelajari tajwid dan makhrojul huruf yang benar sampai lulus, santri dianjurkan untuk hafalan al-quran.

"Ustadz, dulu saat saya di MTs kan ada mata pelajaran pembiasaan. Di mata pelajaran itu, siswa diwajibkan untuk menghafal juz 30. Tapi kenapa ya dulu kok rasanya seperti beban. Susah sekali hafalannya, pun setelah hafal besoknya juga sudah lupa," teman saya kembali bertanya kepada Ustadz.

Ustadz hanya tersenyum dan berkata,
"Itu karena sampean belum mencintai al-quran. Kalau sampean mencintai al-quran menghafalnya pun akan menyenangkan. Kalau sampean mencintai al-quran sampean tidak akan bosan membacanya. Kalau sampean cinta al-quran sampean tidak akan malas memahami isinya. Di sini, sampean belajar dari dasar untuk memahami bagaimana cara mencintai al-quran dengan membacanya dengan baik dan benar. Jadi, mulai sekarang pupuklah rasa cinta kalian terhadap al-quran. Masa cinta sama pacar terus yang dipupuk."

"Saya tidak punya pacar, Ustadz dan tidak pacaran."
"Saya juga tidak punya pacar dan tidak pacaran."

Ustadz hanya tersenyum.


Sore itu, sungguh Allah telah membukakan satu pintu hati saya untuk menerima cinta. Bibit-bibitnya telah di semai dan siap untuk di tumbuhkan. Salah satu cara untuk lebih mencintai-Nya dan lebih dekat dengan-Nya adalah dengan mencintai al-quran.
Subhanallah.




Malang, 10 Desember 2015

3 komentar :

  1. saya jadi inget kisah ini mbak...

    KISAH UNTUK PENCARI ILMU

    Ada seorang santri dari Indonesia menuntut ilmu di Rubath Tarim pada zaman Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Setelah di sana 4 tahun, santri itu minta pulang. Dia pamit minta izin pulang kepada Habib Abdullah.
    “Habib, saya mau pulang saja.”
    “Lho, kenapa?” tanya beliau.
    “Bebal otak saya ini. Untuk menghafalkan setengah mati, tidak pantas saya menuntut ilmu, saya minta izin mau pulang.”
    Habib Abdullah berkata “Jangan dulu, sabar.”
    “Sudah Bib, saya sudah empat tahun bersabar, sudah tidak kuat, lebih baik saya menikah saja.”
    Lalu beliau berkata “Sebentar, saya mau mengetes dulu bagaimana kemampuanmu menuntut ilmu.” santri itu menjawab “Sudah bib, saya menghafalkan setengah mati, tidak hafal- hafal.”

    Habib Abdullah kemudian masuk ke kamar, mengambil surat-surat untuk santri itu. Pada masa itu surat-surat dari Indonesia ketika sampai di Tarim tidak langsung diberikan. Surat tersebut tidak akan diberikan kecuali setelah santri itu menuntut ilmu selama 15 tahun.
    Kemudian Habib Abdullah menyerahkan seluruh surat itu kepadanya, kecuali satu surat.
    Setelah diterima, dibacalah surat-surat itu sampai selesai. Satu surat yang tersisa kemudian diserahkan.
    “Ini surat siapa?” tanya Habib.
    “Owh, itu surat ibu saya.”
    “Bacalah!”
    Santri itu menerima surat dengan perasaan senang, kemudian dibacanya sampai selesai.
    Saat membaca, kadang dia tersenyum sendiri, sesekali diam merenung, dan sesekali dia sedih.
    “Sudah kamu baca?” tanya beliau lagi.
    “Sudah ya habib.” “Berapa kali?” tanya beliau.
    “Satu kali ya habib." “Tutup surat itu! Apa kata ibumu?”
    “Ibu saya berkata saya disuruh mencari ilmu yang bener, bapak sudah membeli mobil baru. Adik saya sudah diterima bekerja di sini, dan lain-lain.”
    Isi surat yang panjang itu dia berhasil menceritakannya dengan lancar dan lengkap. Tidak ada yang terlewatkan.
    “Baca satu kali kok hafal? Katanya bebal gak hafal-hafal, sekarang sekali baca kok langsung hafal dan bisa menyampaikan.” kata Habib dengan pandangan serius.
    Santri itu bingung tidak bisa menjawab. Dia menganggap selama ini dirinya adalah seorang yang bodoh dan tidak punya harapan. Sudah berusaha sekuat tenaga mempelajari ilmu agama, dia merasa gagal. Tetapi membaca surat ibunya satu kali saja, dia langsung paham dan hafal.

    Habib Abdullah akhirnya menjelaskan kenapa semua ini bisa terjadi. Beliau mengatakan:

    ﻷﻧﻚ ﻗﺮﺃﺕ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﺃﻣﻚ ﺑﺎﻟﻔﺮﺡ ﻓﻠﻮ ﻗﺮﺃﺕ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻧﺒﻴﻚ ﺑﺎﻟﻔﺮﺡ
    ﻟﺤﻔﻈﺖ ﺑﺎﻟﺴﺮﻋﺔ

    “Sebab ketika engkau membaca surat dari ibumu itu dengan perasaan gembira. Ini ibumu, coba jika engkau membaca syariat Nabi Muhammad Saw dengan bahagia dan bangga, ini adalah Nabiku, niscaya engkau sekali baca pasti langsung hafal. ”

    Banyak saudara-saudara kita (atau malah kita sendiri) yang tanpa sadar mengalami yang dirasakan santri dalam kisah di atas. Jawabannya adalah rasa cinta. Kita tidak menyertakan perasaan itu saat membaca dan mempelajari sesuatu, sehingga kita merasa diri kita bodoh dan tidak punya harapan sukses.

    Banyak orang merasa bodoh dalam pelajaran, tetapi puluhan lagu-lagu cinta hafal di luar kepala. Padahal tidak mengatur waktu khusus untuk menghapalkannya.

    ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺍﻓﺘﺢ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﻓﺘﻮﺡ ﭐﻟﻌﺎﺭﻓﻴﻦ ﻭﺍﺭﺯﻗﻨﺎ ﻓﻬﻢ ﺍﻟﻨﺒﻴـﻴﻦ ﻭﺇﻟﻬﺎﻡ ﭐﻟﻤﻼﺋﻜﺔ
    ﺍﻟﻤﻘﺮﺑﻴﻦ ﺑﺮﺣﻤﺘﻚ ﻳﺂ ﺃﺭﺣﻢ ﺍﻟﺮﺍﺣﻤﻴﻦ

    (Habib Abdullah bin Umar Assyatiriy adalah ayahanda Habib Salim bin Abdullah Assyatiriy)

    BalasHapus
    Balasan
    1. salam kenal dan izin follow blognya ya... good luck :)

      Hapus
    2. Subhanallah, terimakasih sudah berbagi cerita di atas. Salam kenal, iyaa silakan. :)

      Hapus