Senin, 25 Januari 2016

Waktu yang Membelenggu





     Aku mematung menatap dedaunan yang gugur dari balik jendela dengan tirai biru. Helai demi helai daun yang luruh, memaksaku merasakan aliran waktu seakan mencengkram, lembut namun mematikan. Rindu merayapi hati, menyusupi relung, memeluknya dan memerahnya hingga berdarah. Entah kenapa, air mata yang surut ini semakin menambah pedih.
      Aku teringat kala kutatap siluet pemuda yang gagah, tengah membelakangi matahari yang merangkak pulang. Bukan. Bukan bayangan hitam di batas senja yang ku tangkap. Hanya rahang kokoh yang mempertegas air mukanya, alis tebal yang membingkai parasnya, matanya yang turun karena senyumnya tersimpul. Sungguh, aku bisa melukiskan wajahnya walaupun hanya dengan menatap siluetnya. Pemuda tegap penuh semangat dengan intelegensi hampir setingkat Einstein. Penakluk hati yang kian ringkih dan aus karena mencintai. Pemuda yang kini tak akan pernah lagi bisa kunikmati.
      Aku tergugu mengumpat waktu. Waktu yang telah mencengkeramku tanpa ampun, yang tak rela melepasku hanya untuk sekadar memeluk dan menyiumnya, membelai rambutnya pun menghirup aroma tubuhnya. Aku mengutuk waktu karena memaksaku diam membatu. Atau.. memang aku lah patut diumpat? Aku lah yang patut dikutuk? Karena ketololan yang kulakukan sendiri? Atas ketololanku membiarkannya pergi hingga tak pernah kulihat kau kembali? "Argh!!" Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal. Membiarkannya acak-acakan berbaur dengan bajuku yang kumal dan wajahku yang kusam.

      "Bu Sarah, waktunya minum obat." Seorang laki-laki berbaju putih mendatangiku. Suaranya memecahkan lamunanku. Aku menengok sejenak dan melihat senyumnya yang manis tapi aku tahu dia picik, "pergi kamu! Aku tidak butuh kamu! Aku hanya butuh anakku!" Aku kembali tergugu saat laki-laki itu mencengkeramku dan menyuntikan sesuatu ke lenganku. Aku terus memberontak dan berteriak, "aku tidak mau itu, aku mau anakku. Kembalikan anakku!" Aku terus histeris hingga hanya hitam yang tersisa di mataku. "Kembalikan anakku..." aku terlelap karena semuanya gelap. Aku terlelap sembari mendekap koran butut yang sebagian tulisannya telah pudar yang bertuliskan "Seorang Pendaki yang Hilang Ditemukan Tak Bernyawa di Jurang".

4 komentar :

  1. gila ya? tapi masih bisa baca koran ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. koran itu dibaca sebelum dia gila dan terus dia bawa ketika dia gila :)
      terimakasih sudah membaca, setidaknya saya jadi tahu dimana ketimpanagan tulisan saya :)

      Hapus