Jumat, 02 Mei 2014

Sepenggal Cerita 2 Mei



             Tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan Nasional. Pada tanggal itu digelar upacara peringatan hari pendidikan nasional oleh seluruh pelajar dan pengajar serentak diberbagai wilayah di Indonesia. Tanggal 2 Mei sendiri sebenarnya adalah tanggal lahir seorang sosok yang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan di Indonesia yaitu Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan pendiri perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak yang sama dengan para priyayi maupun orang-orang Belanda dalam hal pendidikan. Ki Hajar Dewantara mempunyai semboyan yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Tanpa perjuangan beliau, belum tentu kita bisa menikmati memperoleh pendidikan dengan layak seperti yang kita rasakan sekarang.
            Dahulu, setiap orang yang menuntut ilmu di jenjang sekolah memiliki semangat yang berkobar. Mereka punya niat memperoleh ilmu yang sebanyak-banyaknya, setinggi-tingginya untuk mengentaskan mereka dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Mereka sangat bersyukur bisa mendapatkan ilmu sehingga bisa membuka wawasan mereka untuk bisa menjadi manusia yang lebih maju dan memiliki wawasan yang luas. Dengan disiplin yang tinggi, turut membentuk moral mereka untuk menjadi manusia yang lebih berkualitas. Namun, sekarang bagaikan roda yang berputar. Pendidikan seakan ‘hanya’ menjadi sebuah syarat dalam sebuah proses kehidupan. Mengapa? Karena sekarang fungsi pendidikan sudah melenceng dari tujuan awalnya. Kemajuan dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan tidak dibarengi dengan semangat belajar yang tinggi malah sebaliknya semakin mengendur.  Bukan hanya semangat belajar saja yang turun, moral para pelajar pun juga turut merosot. Apakah para orang terdidik menyelesaikan masalah dengan adu jotos? Tawuran? Lalu apa bedanya mereka dengan yang tidak mempunyai akal? Tapi ini realita. Para pelajar marak yang melakukan tawuran antar pelajar dan mungkin malah menjadi tren. Belum lagi, pelajar masa sekarang sudah jarang yang bisa menghormati dan menghargai orang yang lebih tua. Misalnya saja, jika dalam suasana KBM dan guru menjelaskan materi pelajaran tidak banyak dari siswa yang memperhatikan dengan saksama. Sebagian besar dari mereka malah asik sendiri, mulai dari mengobrol dengan teman, tidur, berdandan, menyanggah apa pun yang dikatakan guru dengan kata-kata yang tidak sepantasnya atau biasa disebut ngentahi. Lalu mereka anggap apa guru yang sedang susah payah menjelaskan di depan kelas? Mereka bahkan tidak menghargainya. Selain itu, sudah menjadi adat jika setiap kita bertemu dengan guru di jalan kita melempar senyum, menyapa dengan ramah dan bahkan mencium tangannya. Namun, sekarang berbeda. Setiap bertemu dengan guru di jalan mereka lebih banyak yang menyembunyikan identitasnya dan yang paling parah adalah pura-pura tidak kenal.
            Sekolah bukan lagi tempat mendapatkan ilmu melainkan tempat adu gengsi dan tempat kontes fesyen dan kecantikan. Jika kita tilik pelajar tempo dulu dan masa sekarang sangat jauh berbeda. Dulu, pelajar yang bersekolah selalu mengenakan pakaian yang rapi dengan dandanan yang sederhana. Rambut disisir rapi. Baju dimasukkan. Sedangkan sekarang? Baju dikeluarkan tidak mencerminkan kerapian dikatakan keren. Rambut acak-acakan dengan potongan bergaya aneh-aneh dikatakan bagus. Terlambat dan membolos sudah menjadi kebiasaan. Penampilan di nomor satukan sedangkan kemauan untuk menuntut ilmu dengan benar di sekolah dikesampingkan.
            Menurut saya, pendidikan di masa sekarang lebih mengutamakan meperoleh nilai yang tinggi bukan ilmu yang tinggi. Saya setuju jika nilai KKM di buat cukup tinggi namun, saya akan lebih setuju jika penetapan KKM dipikirkan dulu secara masak dan tidak menutup mata akan kemampuan manusia yang heterogen sehingga KKM tidak membebani siwa dan sesuai dengan tujuan yaitu memacu semangat belajar siswa, tapi sayangnya hal ini malah mendapat respon negatif. Siswa cenderung menghalalkan segala cara demi mendapat nilai yang cukup tinggi. Sebagai contoh nyata, dahulu ketika akan ulangan harian setiap siswa mempelajari seluruh bab yang akan menjadi materi ulangan namun, sekarang siswa mengandalkan bocoran soal dari kelas sebelah dan tidak mempelajari materi yang akan diujikan melainkan menghafalkan jawaban. Miris, memang. Lalu jika hal ini dibiarkan bukan tidak mungkin akan terjadi pembodohan masal. Hal kecil ini membawa dampak yang besar ketika siswa dihadapkan pada ujian nasional. Sudah menjadi rahasia umum jika mayoritas siswa membeli kunci jawaban yang belum tentu kebenarannya demi mendapat nilai yang baik. Bukannya malah belajar dengan gigih.
            Berbicara tentang ujian nasional sebenarnya cukup bisa membuat saya menghela napas dalam dan menahan keseidhan. Mengapa demikian? Karena saya merasa standar ujian nasional tingkat sekolah menengah atas tahun ini naik cukup tinggi. Saya yang sudah berusaha keras belajar serta berdoa supaya diberi kemudahan hanya bisa menelan kepahitan. Bahkan teman saya yang notabenenya seorang master matematika mampu berujar seperti ini “Standar ujian nasional tahun ini keren. Sebanding bahkan lebih sulit dari soal-soal olimpiade yang sering saya kerjakan. Tapi apakah pantas ini menjadi tolok ukur penentu kelulusan kita?”. Memang cukup jauh jika dibandingkan soal-soal ujian nasional tahun lalu. Bagaikan langit dan bumi. Tidak heran jika pada akhirnya banyak yang menangis setelah ujian selesai, termasuk saya sendiri. Dengan meninggikan ego saya untuk mengerjakan sendiri sesuai kemampuan saya berlandaskan sumpah yang tertulis di LJK “Saya mengerjakan ujian dengan Jujur”, saya nekat. Dan hasilnya, setelah bel tanda ujian selesai saya masih menyelesaikan 30 dari 40 soal matematika. Down, pasti. Secepat kilat saya asal menghitamkan jawaban di LJK. Bukan karena saya tidak belajar namun, memang soal yang tidak bisa ditoleransi. Sulitnya minta ampun. Akhirnya setelah ujian selesai saya menangis sejadi-jadinya di pojok perpustakaan sekolah. Semua berkecamuk dalam diri saya, saya menyalahkan diri saya sendiri mengapa tidak menerima kunci jawaban dari teman saya yang iba dengan keadaan saya? Mengapa saya tidak punya nyali untuk melakukan dosa publik bersama? Tapi setelah pikiran saya lebih jernih saya bersyukur, ego saya masih cukup tinggi untuk menjaga teguh pendirian saya untuk tetap menjalankan sumpah tertulis di LJK. Saya tidak mau munafik. Saya dulu juga pernah bertanya kepada teman saya ketika ujian nasional tingkat sekolah dasar dan hasilnya jauh dari yang saya bisa lakukan sendiri. Karena saya baru sadar, jawaban yang diberikan teman saya dengan jawaban saya semula, benar jawaban saya semula. Akhirnya pada saat ujian nasional tingkat sekolah menengah pertama, saya diyakinkan oleh guru saya untuk percaya pada diri sendiri, percaya diri dengan jawaban sendiri dan mengerjakan sesuai kemampuan dan hasil yang saya dapatkan sangat memuaskan sesuai harapan saya. Mulai saat itu lah saya terus menjaga pendirian saya untuk belajar jujur. Bukan saya sok suci, tapi saya prihatin. Mau dibawa kemana negeri ini jika para generasi muda, para tunas bangsanya seperti itu? Bagaimana nasib negeriku jika para calon pemimpin masa depannya sudah belajar berbohong? Salahkah jika budaya korupsi, menipu rakyat sekarang menjamur? Bukan tidak mungkin negeri ini akan hancur jika sistem tidak segera dibenahi.
            Sistem pendidikan memang perlu dibenahi. Sehingga kualitas pendidikan dan pemerataan pendidikan di tanah air bisa ditingkatkan. Suatu negara akan panjang umurnya jika para generasi mudanya cerdas, kreatif, berwawasan luas, bebudi pekerti luhur dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, jika menginginkan negara cepat hancur dan berumur pendek biarkan saja. Tentunya pembenahan sistem akan pincang jika hanya dilakukan oleh satu pihak saja, kita sebagai pelajar juga harus turut berperan yaitu dengan menumbuhkan niat, semangat dan kemauan untuk menjadi manusia yang berilmu dan berbudi pekerti luhur. Kemampuan otak kita sebenarnya luar biasa jika kita mau mengasahnya. Mudah menyerah hanya akan mendukung program pembodohan masal. Tidak ada kata terlambat untuk membenahi diri menjadi lebih baik. Kita masih bisa memperbaiki kualitas tunas bangsa dan menjadi generasi muda yang berkualitas. Kita bisa jika mau membuka mata, membuka telinga, membuka pikiran dan menumbuhkan kepedulian terhadap masa depan negara kita. Jika bukan kita yang meneruskan tongkat estafet kepemimpinan negeri ini, siapa lagi?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar