Tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan
Nasional. Pada tanggal itu digelar upacara peringatan hari pendidikan nasional
oleh seluruh pelajar dan pengajar serentak diberbagai wilayah di Indonesia. Tanggal
2 Mei sendiri sebenarnya adalah tanggal lahir seorang sosok yang sangat
berpengaruh dalam dunia pendidikan di Indonesia yaitu Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan sebutan Ki Hajar Dewantara. Beliau
merupakan pendiri perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang
memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak yang
sama dengan para priyayi maupun orang-orang Belanda dalam hal pendidikan. Ki
Hajar Dewantara mempunyai semboyan yaitu Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Tanpa perjuangan beliau, belum tentu kita
bisa menikmati memperoleh pendidikan dengan layak seperti yang kita rasakan
sekarang.
Dahulu,
setiap orang yang menuntut ilmu di jenjang sekolah memiliki semangat yang
berkobar. Mereka punya niat memperoleh ilmu yang sebanyak-banyaknya,
setinggi-tingginya untuk mengentaskan mereka dari belenggu kebodohan dan
kemiskinan. Mereka sangat bersyukur bisa mendapatkan ilmu sehingga bisa membuka
wawasan mereka untuk bisa menjadi manusia yang lebih maju dan memiliki wawasan
yang luas. Dengan disiplin yang tinggi, turut membentuk moral mereka untuk
menjadi manusia yang lebih berkualitas. Namun, sekarang bagaikan roda yang
berputar. Pendidikan seakan ‘hanya’ menjadi sebuah syarat dalam sebuah proses
kehidupan. Mengapa? Karena sekarang fungsi pendidikan sudah melenceng dari
tujuan awalnya. Kemajuan dan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan tidak
dibarengi dengan semangat belajar yang tinggi malah sebaliknya semakin
mengendur. Bukan hanya semangat belajar
saja yang turun, moral para pelajar pun juga turut merosot. Apakah para orang
terdidik menyelesaikan masalah dengan adu jotos? Tawuran? Lalu apa bedanya
mereka dengan yang tidak mempunyai akal? Tapi ini realita. Para pelajar marak
yang melakukan tawuran antar pelajar dan mungkin malah menjadi tren. Belum
lagi, pelajar masa sekarang sudah jarang yang bisa menghormati dan menghargai
orang yang lebih tua. Misalnya saja, jika dalam suasana KBM dan guru
menjelaskan materi pelajaran tidak banyak dari siswa yang memperhatikan dengan
saksama. Sebagian besar dari mereka malah asik sendiri, mulai dari mengobrol
dengan teman, tidur, berdandan, menyanggah apa pun yang dikatakan guru dengan
kata-kata yang tidak sepantasnya atau biasa disebut ngentahi. Lalu mereka anggap apa guru yang sedang susah payah
menjelaskan di depan kelas? Mereka bahkan tidak menghargainya. Selain itu,
sudah menjadi adat jika setiap kita bertemu dengan guru di jalan kita melempar
senyum, menyapa dengan ramah dan bahkan mencium tangannya. Namun, sekarang
berbeda. Setiap bertemu dengan guru di jalan mereka lebih banyak yang
menyembunyikan identitasnya dan yang paling parah adalah pura-pura tidak kenal.
Sekolah
bukan lagi tempat mendapatkan ilmu melainkan tempat adu gengsi dan tempat
kontes fesyen dan kecantikan. Jika kita tilik pelajar tempo dulu dan masa
sekarang sangat jauh berbeda. Dulu, pelajar yang bersekolah selalu mengenakan
pakaian yang rapi dengan dandanan yang sederhana. Rambut disisir rapi. Baju
dimasukkan. Sedangkan sekarang? Baju dikeluarkan tidak mencerminkan kerapian
dikatakan keren. Rambut acak-acakan dengan potongan bergaya aneh-aneh dikatakan
bagus. Terlambat dan membolos sudah menjadi kebiasaan. Penampilan di nomor
satukan sedangkan kemauan untuk menuntut ilmu dengan benar di sekolah
dikesampingkan.
Menurut
saya, pendidikan di masa sekarang lebih mengutamakan meperoleh nilai yang
tinggi bukan ilmu yang tinggi. Saya setuju jika nilai KKM di buat cukup tinggi namun,
saya akan lebih setuju jika penetapan KKM dipikirkan dulu secara masak dan
tidak menutup mata akan kemampuan manusia yang heterogen sehingga KKM tidak
membebani siwa dan sesuai dengan tujuan yaitu memacu semangat belajar siswa,
tapi sayangnya hal ini malah mendapat respon negatif. Siswa cenderung menghalalkan
segala cara demi mendapat nilai yang cukup tinggi. Sebagai contoh nyata, dahulu
ketika akan ulangan harian setiap siswa mempelajari seluruh bab yang akan
menjadi materi ulangan namun, sekarang siswa mengandalkan bocoran soal dari
kelas sebelah dan tidak mempelajari materi yang akan diujikan melainkan
menghafalkan jawaban. Miris, memang. Lalu jika hal ini dibiarkan bukan tidak
mungkin akan terjadi pembodohan masal. Hal kecil ini membawa dampak yang besar
ketika siswa dihadapkan pada ujian nasional. Sudah menjadi rahasia umum jika
mayoritas siswa membeli kunci jawaban yang belum tentu kebenarannya demi
mendapat nilai yang baik. Bukannya malah belajar dengan gigih.
Berbicara
tentang ujian nasional sebenarnya cukup bisa membuat saya menghela napas dalam
dan menahan keseidhan. Mengapa demikian? Karena saya merasa standar ujian
nasional tingkat sekolah menengah atas tahun ini naik cukup tinggi. Saya yang
sudah berusaha keras belajar serta berdoa supaya diberi kemudahan hanya bisa
menelan kepahitan. Bahkan teman saya yang notabenenya seorang master matematika
mampu berujar seperti ini “Standar ujian nasional tahun ini keren. Sebanding
bahkan lebih sulit dari soal-soal olimpiade yang sering saya kerjakan. Tapi
apakah pantas ini menjadi tolok ukur penentu kelulusan kita?”. Memang cukup
jauh jika dibandingkan soal-soal ujian nasional tahun lalu. Bagaikan langit dan
bumi. Tidak heran jika pada akhirnya banyak yang menangis setelah ujian
selesai, termasuk saya sendiri. Dengan meninggikan ego saya untuk mengerjakan
sendiri sesuai kemampuan saya berlandaskan sumpah yang tertulis di LJK “Saya
mengerjakan ujian dengan Jujur”, saya nekat. Dan hasilnya, setelah bel tanda
ujian selesai saya masih menyelesaikan 30 dari 40 soal matematika. Down, pasti. Secepat kilat saya asal
menghitamkan jawaban di LJK. Bukan karena saya tidak belajar namun, memang soal
yang tidak bisa ditoleransi. Sulitnya minta ampun. Akhirnya setelah ujian
selesai saya menangis sejadi-jadinya di pojok perpustakaan sekolah. Semua
berkecamuk dalam diri saya, saya menyalahkan diri saya sendiri mengapa tidak
menerima kunci jawaban dari teman saya yang iba dengan keadaan saya? Mengapa
saya tidak punya nyali untuk melakukan dosa publik bersama? Tapi setelah
pikiran saya lebih jernih saya bersyukur, ego saya masih cukup tinggi untuk
menjaga teguh pendirian saya untuk tetap menjalankan sumpah tertulis di LJK. Saya
tidak mau munafik. Saya dulu juga pernah bertanya kepada teman saya ketika
ujian nasional tingkat sekolah dasar dan hasilnya jauh dari yang saya bisa
lakukan sendiri. Karena saya baru sadar, jawaban yang diberikan teman saya
dengan jawaban saya semula, benar jawaban saya semula. Akhirnya pada saat ujian
nasional tingkat sekolah menengah pertama, saya diyakinkan oleh guru saya untuk
percaya pada diri sendiri, percaya diri dengan jawaban sendiri dan mengerjakan
sesuai kemampuan dan hasil yang saya dapatkan sangat memuaskan sesuai harapan
saya. Mulai saat itu lah saya terus menjaga pendirian saya untuk belajar jujur.
Bukan saya sok suci, tapi saya prihatin. Mau dibawa kemana negeri ini jika para
generasi muda, para tunas bangsanya seperti itu? Bagaimana nasib negeriku jika
para calon pemimpin masa depannya sudah belajar berbohong? Salahkah jika budaya
korupsi, menipu rakyat sekarang menjamur? Bukan tidak mungkin negeri ini akan
hancur jika sistem tidak segera dibenahi.
Sistem
pendidikan memang perlu dibenahi. Sehingga kualitas pendidikan dan pemerataan
pendidikan di tanah air bisa ditingkatkan. Suatu negara akan panjang umurnya
jika para generasi mudanya cerdas, kreatif, berwawasan luas, bebudi pekerti
luhur dan menjaga kelestarian lingkungan. Namun, jika menginginkan negara cepat
hancur dan berumur pendek biarkan saja. Tentunya pembenahan sistem akan pincang
jika hanya dilakukan oleh satu pihak saja, kita sebagai pelajar juga harus
turut berperan yaitu dengan menumbuhkan niat, semangat dan kemauan untuk
menjadi manusia yang berilmu dan berbudi pekerti luhur. Kemampuan otak kita
sebenarnya luar biasa jika kita mau mengasahnya. Mudah menyerah hanya akan
mendukung program pembodohan masal. Tidak ada kata terlambat untuk membenahi
diri menjadi lebih baik. Kita masih bisa memperbaiki kualitas tunas bangsa dan
menjadi generasi muda yang berkualitas. Kita bisa jika mau membuka mata,
membuka telinga, membuka pikiran dan menumbuhkan kepedulian terhadap masa depan
negara kita. Jika bukan kita yang meneruskan tongkat estafet kepemimpinan
negeri ini, siapa lagi?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar