Karya Warastri Rezka Hardini
Namanya Nina. Parasnya menawan. Matanya tidak terlalu bulat dan tidak terlalu sipit. Bentuk wajahnya oval. Bibirnya tipis berwarna merah muda. Pipinya selalu tampak kemerahan walaupun tidak mengenakan make up. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya yang hitam dan panjang menjuntai sampai ke pinggang. Usianya sama seperti aku, belum genap 17 tahun.
Lama aku tidak pernah melihatnya.
Mungkin karena aku yang jarang melewati jalanan depan rumahnya lagi ketika
hendak berangkat sekolah. Dan hari ini, hatiku terusik untuk melewati jalanan
depan rumahnya. Kala itu, hari masih pagi. Kabut masih rendah memeluk bumi.
Gadis itu menggenggam lidi untuk menyapu dan membersihkan halaman rumahnya. Dia
membungkuk dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia terus
saja menyapu dan tidak menghiraukan aku yang sejak dari jauh memperhatikannya.
Ketika jarak kami hanya tinggal sekitar tiga meter, dia bergegas berjalan ke
belakang rumahnya untuk membuang daun-daun kering yang sudah terkumpul di dalam
cikrak. Alhasil, aku pun tidak bisa
menyapanya. Sial. Entahlah, apa yang membuatku beberapa hari belakangan ini
ingin sekali menyapanya lagi seperti dulu.
Dulu, kami memang satu sekolah.
Tepatnya di bangku sekolah dasar. Dia adalah gadis yang sangat pendiam dan
penakut. Ini terbukti beberapa bulan pertama dia duduk di bangku sekolah dasar,
Ibunya tidak pernah lelah menungguinya. Sebenarnya pihak sekolah melarang
dengan tujuan agar sang anak belajar mandiri dan berbaur dengan teman-temannya.
Namun, Nina selalu menangis jika tidak melihat Ibunya duduk menungguinya. Kami
memang berteman. Walaupun demikian, aku belum begitu mengenal Nina karena sifat
tertutup dan pendiamnya yang membuat dia jarang berbicara. Ibunya selalu
mempercayakan Nina kepadaku untuk mengajaknya bermain. Aku yang mudah berbaur
pun dengan senang hati menerimanya dan bermain dengannya.
Saat kami duduk di kelas satu
sekolah dasar, Ibu Nina sedang mengandung adik Nina. Usia kehamilannya sudah
menginjak Sembilan bulan. Saat itu, Nina terlihat sangat senang. Dia mulai
banyak berbicara dan terlihat lebih ceria. Aku senang melihat Nina yang seperti
ini. Satu bulan menjelang ujian kenaikan kelas, Ibu Nina melahirkan. Adiknya
laki-laki. Tampan sekali. Namun, pada saat ini lah aku mulai melihat Nina
kembali aneh. Ibunya sudah tidak mengantar dan menungguinya ke sekolah karena
harus menjaga adik Nina. Nina menjadi murung dan sering bolos sekolah.
Puncaknya adalah satu minggu menjelang ujian kenaikan kelas. Adik Nina yang
baru lahir itu meninggal karena penyakit demam berdarah. Nina dan keluarganya
sangat terpukul. Nina pun tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di sekolah.
Kata salah satu temanku yang rumahnya dekat dengan Nina, Nina terlalu
menyayangi adiknya. Dia sering bolos karena tidak ingin berpisah lama-lama
dengan adiknya. Dan di hari kematian adiknya, dia sangat terpukul dan tidak mau
keluar dari kamarnya. Setiap hari dia hanya menangisi kepergian adiknya. Tidak
peduli seberapa keras dia dibujuk untuk keluar dari kamarnya, dia tetap menolak.
Akhirnya dia melewatkan ujian kenaikan kelas dan dia memilih tidak bersekolah
lagi. Sedangkan temanku yang lain memberikan cerita yang berbeda. Katanya, Ibu
Nina sangat terpukul dengan kematian adik Nina. Oleh karena itu beliau tidak
ingin lagi kehilangan anaknya. Oleh sebab itu dia melarang Nina untuk sekolah
dan menyuruhnya tinggal di rumah saja. Agar beliau bisa menjaga Nina setiap
waktu. Sampai sekarang, aku pun tidak pernah tahu mana cerita yang benar.
Keluarga Nina memang sangat tertutup. Tidak heran jika hal ini akhirnya hanya
menjadi misteri.
Esok harinya aku melewati rumah Nina
lagi. Kali ini, ada yang janggal. Aku melihat kursi rumahnya di keluarkan di teras. Biasanya hal itu
dilakukan ketika pemilik rumah hendak mengadakan hajatan. Tapi apa? Tidak ada
yang bisa menjawab dan akhirnya aku hanya membiarkan rasa penasaranku
mengusikku.
Sore hari ketika aku pulang sekolah,
aku melewati jalanan depan rumah Nina lagi. Kini, aku melihat ada beberapa
mobil terparkir rapi di bahu jalan yang cukup sempit ini. “Kok ada mobil sih,
sebenarnya ada apa?” Ku pelankan laju sepedaku. Tidak sopan memang, tapi tetap
kulakukan. Yaitu mencuri pandang ke arah rumah Nina untuk mengetahui apa yang
terjadi disana. Di atas karpet yang diletakkan di lantai ruang tamu, banyak
orang yang duduk. Di sana sekilas aku juga melihat Nina. Dia tampak cantik
dibalut dress warna merah jambu. Dia
terus menunduk dengan senyum malu-malu. Di sampingnya ada seorang pemuda
mengenakan batik. Usianya kira-kira dua puluh tujuh tahun. Pemuda itu terlihat
gagah. “Jangan jangan.” Aku berkata lirih sambil menatap lurus ke depan.
“Mungkinkah Nina akan menikah? Di usia semuda ini? Nggak mungkin.” Ku cepatkan
laju sepedaku agar segera sampai di rumah.
Dan sesampainya di rumah langsung saja kusambar ponselku. Anis. Segera
ku telfon dia. Dia adalah temanku sejak SD yang rumahnya tidak jauh dari rumah
Nina.
“Halo, Anis? Nina mau nikah ya Nis?”
“Halo, Nad. Hey, ngomong apa sih kamu? Ngelantur deh. Ya nggak mungkin lah Nad. Ngaco deh kamu.”
“Serius, Nis. Barusan waktu aku pulang sekolah aku lihat di depan rumah Nina terparkir beberapa mobil dan di dalam rumah banyak tamu.”
“Benarkah? Wah aku nggak tahu Nad. Aku masih belum pulang. Sudah lama juga sih aku nggak pulang. Maklum belum liburan. Terus terus?”
“Oh iya aku lupa kalau kamu sekolah di luar kota. Ah sudahlah. Terus aku tadi lihat Nina pakai dress, wajahnya di make up tipis. Di sampingnya ada pemuda ya usianya kira-kira sama kaya Kak Farid. Mungkin itu calon suaminya.”
“Ah, yang bener? Jangan-jangan itu kakak sulungnya si Nina yang baru pulang dari Jakarta. Terus mereka lagi ada acara keluarga gitu. Nggak mungkin lah Nad kalau Nina mau nikah. Umurnya saja belum genap tujuh belas tahun.”
“Tapi mungkin saja kan Nis, orang zaman dulu saja umur dibawah lima belas juga sudah dinikahkan.”
“Itu kan zaman dahulu, Nadin. Sekarang sudah nggak zaman kaya gitu. Udah deh nggak usah parno gitu. Eh iya, ngomong-ngomong kamu habis kesambet ya? Kok tiba-tiba bahas si Nina?”
Aku menghela napas panjang.
“Entahlah, Nis. Akhir-akhir ini aku kepikiran Nina terus. Aku ingin berteman dengan dia lagi, Nis. Ya, paling tidak sekadar menyapa lah. Aku kangen Nina, Nis.”
“Kamu nggak takut, Nad?”
“Takut? Apa yang harus aku takutkan Nis?”
“Keluarga mereka kan misterius banget.”
“Itu bukan alasan, Nis. Pokoknya aku ingin temenan lagi sama Nina, Nis.”
“Terserah kamu deh, Nad.”
“Ya sudah, Nis. Maaf ya sudah ngganggu waktu kamu. Terimakasih. Bye Anis.”
“Oh, Iya nggak apa-apa kok Nad. Bye.”
Setelah mengakhiri telefonku dengan Anis, aku menghempaskan diriku di kasur. Aku menatap langit-langit. Disana terlihat kilatan-kilatan bayangan yang tadi terjadi di rumah Nina. Pikiranku melayang. Aku masih bertanya-tanya. Apa iya cuma acara keluarga biasa? Tapi kok sepertinya bukan. Ah sudahlah.
“Halo, Anis? Nina mau nikah ya Nis?”
“Halo, Nad. Hey, ngomong apa sih kamu? Ngelantur deh. Ya nggak mungkin lah Nad. Ngaco deh kamu.”
“Serius, Nis. Barusan waktu aku pulang sekolah aku lihat di depan rumah Nina terparkir beberapa mobil dan di dalam rumah banyak tamu.”
“Benarkah? Wah aku nggak tahu Nad. Aku masih belum pulang. Sudah lama juga sih aku nggak pulang. Maklum belum liburan. Terus terus?”
“Oh iya aku lupa kalau kamu sekolah di luar kota. Ah sudahlah. Terus aku tadi lihat Nina pakai dress, wajahnya di make up tipis. Di sampingnya ada pemuda ya usianya kira-kira sama kaya Kak Farid. Mungkin itu calon suaminya.”
“Ah, yang bener? Jangan-jangan itu kakak sulungnya si Nina yang baru pulang dari Jakarta. Terus mereka lagi ada acara keluarga gitu. Nggak mungkin lah Nad kalau Nina mau nikah. Umurnya saja belum genap tujuh belas tahun.”
“Tapi mungkin saja kan Nis, orang zaman dulu saja umur dibawah lima belas juga sudah dinikahkan.”
“Itu kan zaman dahulu, Nadin. Sekarang sudah nggak zaman kaya gitu. Udah deh nggak usah parno gitu. Eh iya, ngomong-ngomong kamu habis kesambet ya? Kok tiba-tiba bahas si Nina?”
Aku menghela napas panjang.
“Entahlah, Nis. Akhir-akhir ini aku kepikiran Nina terus. Aku ingin berteman dengan dia lagi, Nis. Ya, paling tidak sekadar menyapa lah. Aku kangen Nina, Nis.”
“Kamu nggak takut, Nad?”
“Takut? Apa yang harus aku takutkan Nis?”
“Keluarga mereka kan misterius banget.”
“Itu bukan alasan, Nis. Pokoknya aku ingin temenan lagi sama Nina, Nis.”
“Terserah kamu deh, Nad.”
“Ya sudah, Nis. Maaf ya sudah ngganggu waktu kamu. Terimakasih. Bye Anis.”
“Oh, Iya nggak apa-apa kok Nad. Bye.”
Setelah mengakhiri telefonku dengan Anis, aku menghempaskan diriku di kasur. Aku menatap langit-langit. Disana terlihat kilatan-kilatan bayangan yang tadi terjadi di rumah Nina. Pikiranku melayang. Aku masih bertanya-tanya. Apa iya cuma acara keluarga biasa? Tapi kok sepertinya bukan. Ah sudahlah.
Dua bulan kemudian…
Besok adalah hari pertama liburan
panjang setelah kenaikan kelas. Tidak terasa, sekarang aku sudah kelas sebelas
atau kelas dua SMA. Di liburan kali ini, aku sudah berencana untuk menghabiskan
sepuluh dari empat belas hari liburanku di rumah Nenek di luar kota. Kota yang
sama di mana Anis, sahabatku bersekolah. Liburan kali ini dia belum bisa pulang
ke desa karena pamannya sakit dan dia membantu bibinya untuk merawat pamannya
di sana. Sebelum aku pergi meninggalkan rumah, sekilas baying-bayang Nina
muncul kembali. Apa kabar ya dia? Dan aku pun melamun sampai suara lembut Ibu
menyadarkanku.
“Nadin, Kak Farid sudah menunggu kamu daritadi. Jadi ke rumah nenek kan?”
“Iya, Bu jadi kok. Bener Ibu sama Ayah nggak ikut?”
“Tidak, Nadin. Pekerjaan Ayahmu masih banyak. Nanti saja kalau pekerjaan Ayahmu sudah selesai, Ibu dan Ayah akan menyusul kalian.”
“Baiklah. Nadin berangkat dulu ya, Bu. Sampaikan salam Nadin untuk Ayah. Assalamualaikum” Tidak lupa aku mencium punggung tangan ibuku.
“Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Nak.”
“Nadin, Kak Farid sudah menunggu kamu daritadi. Jadi ke rumah nenek kan?”
“Iya, Bu jadi kok. Bener Ibu sama Ayah nggak ikut?”
“Tidak, Nadin. Pekerjaan Ayahmu masih banyak. Nanti saja kalau pekerjaan Ayahmu sudah selesai, Ibu dan Ayah akan menyusul kalian.”
“Baiklah. Nadin berangkat dulu ya, Bu. Sampaikan salam Nadin untuk Ayah. Assalamualaikum” Tidak lupa aku mencium punggung tangan ibuku.
“Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Nak.”
Tidak terasa sepuluh hari sudah ku
habiskan liburanku di rumah Nenek. Semalam, Kak Farid sudah sampai untuk menjemputku.
Dan pagi-pagi sekali kami akan berangkat pulang. Semua barang-barangku sudah ku
kemasi. Dan kupastikan tidak akan ada yang tertinggal. Liburan kali ini memang
benar-benar menyenangkan. Karena aku bisa menghabiskannya bersama Anis,
sahabatku.
“Sudah kamu kemasi semua barang-barang kamu, Nad?”
“Sudah kak, tinggal pamit ke Nenek terus pulang.”
Aku berjalan menghampiri nenek yang tengah asik menyirami bunga diikuti Kak Farid di belakangku.
“Nenek, Nadin mau pamit pulang dulu, ya.”
“Sepagi ini, Nduk? Kamu yakin?”
“Iya, nek. Takutnya kalau kesiangan jalanan macet.”
“Ya sudah. Hati-hati ya, nduk. Jangan lupa oleh-oleh buat Ibu dan Ayahmu yang sudah Nenek siapkan dibawa.”
“Iya, Nek. Nadin pulang dulu. Assalamualaikum.” Aku mencium punggung tangan nenek ku. Diikuti Kakak ku.
“Farid pulang dulu, Nek. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati ya Nduk, Le. Kamu nyetirnya jangan ngebut-ngebut loh, Le.”
“Iyaa, Nek.”
Kami pun bergegas menuju mobil. Ku turunkan kaca mobil di sampingku dan melambaikan tanganku ke arah Nenek. Nenek yang berdiri di teras rumah juga melambaikan tangan melepas kami.
“Sudah kamu kemasi semua barang-barang kamu, Nad?”
“Sudah kak, tinggal pamit ke Nenek terus pulang.”
Aku berjalan menghampiri nenek yang tengah asik menyirami bunga diikuti Kak Farid di belakangku.
“Nenek, Nadin mau pamit pulang dulu, ya.”
“Sepagi ini, Nduk? Kamu yakin?”
“Iya, nek. Takutnya kalau kesiangan jalanan macet.”
“Ya sudah. Hati-hati ya, nduk. Jangan lupa oleh-oleh buat Ibu dan Ayahmu yang sudah Nenek siapkan dibawa.”
“Iya, Nek. Nadin pulang dulu. Assalamualaikum.” Aku mencium punggung tangan nenek ku. Diikuti Kakak ku.
“Farid pulang dulu, Nek. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati ya Nduk, Le. Kamu nyetirnya jangan ngebut-ngebut loh, Le.”
“Iyaa, Nek.”
Kami pun bergegas menuju mobil. Ku turunkan kaca mobil di sampingku dan melambaikan tanganku ke arah Nenek. Nenek yang berdiri di teras rumah juga melambaikan tangan melepas kami.
Dua jam di perjalanan telah berlalu.
Sebentar lagi kami sampai di rumah. Kak Farid mengarahkan mobilnya melewati
jalan yang akan melalui rumah Nina. Namun sayang, jalan itu ditutup. Hatiku
bertanya-tanya, ada apa? Dan pertanyaan itu terjawab sudah ketika aku melihat
janur kuning yang mulai mongering melengkung di dekat petigaan jalan. Ada orang
yang baru selesai melangsungkan pernikahan. Tapi siapa? Sementara hatiku
bertanya-tanya, mobil Kak Farid putar arah. Kami mengambil jalur yang tidak
ditutup.
Sesampainya di rumah, aku langsung
menghambur dan memeluk Ibu. Aku sangat merindukan Ibu. Setelah itu aku duduk di
sofa melepas lelah. Ibu ada di sampingku. Beberapa saat pikiranku melayang,
kembali memikirkan jalan yang ditutup dan janur kuning yang ada di dekat
pertigaan.
“Bagaimana sayang liburannya?”
“Menyenangkan sekali, Bu. Di sana, selain aku menghabiskan waktu bersama Nenek, aku juga ditemani jalan-jalan sama Anis. Pokoknya seru deh, Bu.”
“Syukurlah kalau kamu senang. Ibu khawatir jangan-jangan kamu marah karena Ibu dan Ayah tidak bisa menyusul kesana.”
“Tidak lah, Bu. Nadin tau kok kalau Ayah memang sibuk. Oh, iya Bu tadi waktu Nadin mau pulang, jalanan di dekat rumah Anis kok ditutup ya? Terus ada janur kuning lagi. Memangnya ada yang menikah ya, Bu? Siapa?”
“Oh, itu. Iya kemarin memang ada yang melangsungkan pernikahan. Hari ini mungkin tendanya baru dibereskan. Itu loh, putrinya Bu Asih.”
Deg. Aku tidak percaya. Benarkah?
“Putrinya Bu Asih, Bu? Nina maksud ibu?”
“Iya sayang. Kalau tidak salah dia teman sekolah kamu ya dulu?”
Aku hanya terdiam. Benar kan firasatku dari dulu.
“Lalu, aku dapat undangan dong, Bu?”
“Tidak, Nak. Pesta pernikahan Nina digelar sederhana. Hanya dihadiri kerabat dan beberapa tetangga terdekat saja. Dan setelah pernikahan pun, Nina langsung pulang ke rumah suaminya di Banjarmasin.”
“Tidak ada undangan untuk aku, Bu? Teman-teman yang lain juga tidak?”
Ibu menggeleng.
“Nina masih sangat muda, Bu. Kenapa dia tidak memilih untuk melanjutkan sekolah saja ya? Masa depannya kan masih panjang. Kenapa secepat itu dia memutuskan untuk menikah?”
“Entahlah, Nak. Ibu tidak tahu. Yang Ibu tahu, mereka sudah dijodohkan beberapa bulan yang lalu.”
“Nadin nggak bisa bayangin, Bu. Nina kehilangan masa remajanya secepat ini. Seharusnya dia masih menikmati cerianya masa-masa remaja. Bermain dengan teman-teman sebayanya dan belajar dengan layak di sekolah.”
“Jalan hidup setiap orang sudah digariskan oleh Tuhan, Nak. Bersyukurlah kamu masih beruntung bisa mengecap bangku sekolah. Masih bisa menikmati masa-masa remajamu dan tidak merasakan menjadi ibu rumah tangga di usia yang sangat muda.”
Aku terdiam dan hanya mengangguk mendengarkan Ibu yang terus melanjutkan bicaranya.
“Bagaimana sayang liburannya?”
“Menyenangkan sekali, Bu. Di sana, selain aku menghabiskan waktu bersama Nenek, aku juga ditemani jalan-jalan sama Anis. Pokoknya seru deh, Bu.”
“Syukurlah kalau kamu senang. Ibu khawatir jangan-jangan kamu marah karena Ibu dan Ayah tidak bisa menyusul kesana.”
“Tidak lah, Bu. Nadin tau kok kalau Ayah memang sibuk. Oh, iya Bu tadi waktu Nadin mau pulang, jalanan di dekat rumah Anis kok ditutup ya? Terus ada janur kuning lagi. Memangnya ada yang menikah ya, Bu? Siapa?”
“Oh, itu. Iya kemarin memang ada yang melangsungkan pernikahan. Hari ini mungkin tendanya baru dibereskan. Itu loh, putrinya Bu Asih.”
Deg. Aku tidak percaya. Benarkah?
“Putrinya Bu Asih, Bu? Nina maksud ibu?”
“Iya sayang. Kalau tidak salah dia teman sekolah kamu ya dulu?”
Aku hanya terdiam. Benar kan firasatku dari dulu.
“Lalu, aku dapat undangan dong, Bu?”
“Tidak, Nak. Pesta pernikahan Nina digelar sederhana. Hanya dihadiri kerabat dan beberapa tetangga terdekat saja. Dan setelah pernikahan pun, Nina langsung pulang ke rumah suaminya di Banjarmasin.”
“Tidak ada undangan untuk aku, Bu? Teman-teman yang lain juga tidak?”
Ibu menggeleng.
“Nina masih sangat muda, Bu. Kenapa dia tidak memilih untuk melanjutkan sekolah saja ya? Masa depannya kan masih panjang. Kenapa secepat itu dia memutuskan untuk menikah?”
“Entahlah, Nak. Ibu tidak tahu. Yang Ibu tahu, mereka sudah dijodohkan beberapa bulan yang lalu.”
“Nadin nggak bisa bayangin, Bu. Nina kehilangan masa remajanya secepat ini. Seharusnya dia masih menikmati cerianya masa-masa remaja. Bermain dengan teman-teman sebayanya dan belajar dengan layak di sekolah.”
“Jalan hidup setiap orang sudah digariskan oleh Tuhan, Nak. Bersyukurlah kamu masih beruntung bisa mengecap bangku sekolah. Masih bisa menikmati masa-masa remajamu dan tidak merasakan menjadi ibu rumah tangga di usia yang sangat muda.”
Aku terdiam dan hanya mengangguk mendengarkan Ibu yang terus melanjutkan bicaranya.
Malam ini, aku duduk di teras rumah.
Mengamati bintang-bintang yang berkedip manja di angkasa. Pikiranku masih
melayang ke Nina. Aku masih tidak percaya secepat ini dia mengakhiri masa
remajanya. Gadis pendiam itu kini telah benar-benar pergi dan jauh. Jangankan
untuk menyapanya, melihatnya pun akan sulit sekarang. Nina, gadis yang penuh
dengan misteri. Sampai sekarang pun belum terkuak alasan apa yang
melatarbelakangi dia memutuskan untuk tidak bersekolah lagi beberapa tahun yang
lalu. Alasan apa yang melatarbelakangi pernikahannya yang berlangsung secepat
ini di usia yang sangat dini. Nina, teman yang selalu ingin aku ajak bicara. Tuhan,
izinkanlah aku menyapanya. Menyapanya dan mengucapkan selamat atas
pernikahannya. Walaupun kini rasanya mustahil. Nina telah lenyap bersama semua
rahasia hidup yang menyelubunginya. Semoga kau bahagia, Nina. Dan semoga asa ku
bisa tercapai esok hari. Aku hanya ingin menyapamu… lagi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar