Senja,
adalah ketika sang surya mulai tergelincir ke peraduannya. Ketika langit mulai
berwarna jingga. Sisa-sisa sinar matahari yang menjulur menyusupi dedaunan
menyinari sebuah bangku taman berawarna coklat. Seorang gadis berjalan pelan ke
arahnya. Gadis berambut panjang mengenakan baju berwarna jingga dengan ujung
roknya dihiasi renda berwarna putih. Sebuah buku terlihat nyaman di
genggamannya. Sebuah tas berwarna coklat menggantung di pundaknya.
Gadis
itu duduk menatap senja. Menatap burung-burung yang mulai beterbangan pulang
dengan paruh penuh berisi biji-bijian. Pulang menuju sarang. Ya, burung itu
pulang. Gadis itu pun tersenyum kecut dan mengalihkan pandangannya. Kini ia
menatap dedaunan yang telah menguning satu persatu gugur diterpa angin. Angin
yang kini membelai lembut wajahnya dan menyibakkan rambut hitamnya yang
terurai.
Ini
bukanlah kali pertama gadis itu duduk menyaksikan senja di taman. Sudah bukan
hitungan hari, minggu bahkan bulan melainkan tahun. Lima tahun bukanlah waktu yang
singkat. Lima tahun pula lah gadis itu
dengan setia menghabiskan senjanya di tempat itu.
***
“Amanda,
di sebelah sini.” Seorang pemuda melambaikan tangannya mengisyaratkan
keberadaannya kepada seorang gadis yang berjalan kebingungan di taman. Gadis itu
tersenyum lega. Terlihat deretan gigi yang putih dan rapi. Gadis itu berjalan
ke arah pemuda itu, sedangkan pemuda itu tersenyum menunggu gadis itu
menghampirinya. “Susah ya menemukanku?” pemuda itu tersenyum menggoda ketika
gadis bernama Amanda sudah berdiri di hadapannya. “Tidak.” Amanda menggeleng
dan tersenyum, kemudian duduk di samping pemuda itu. “Bohong.” pemuda itu
menyentuh hidung Amanda dengan jari telunjuknya, “kamu harus waspada, aku yakin
sebentar lagi hidungmu akan lebih mancung.” pemuda itu terkekeh. “Memangnya aku
pinokio?” mereka berdua pun terbahak.
Pemuda
itu menatap Amanda lama. Menelisik setiap detail dari makhluk bernama Amanda.
Rambut hitam yang teurai membingkai wajah yang oval. Mata yang lebar dan
berbinar dengan sorot mata yang selalu tampak bersemangat, ceria seakan lara
tak pernah menghampirinya. Bibir tipis berwarna merah muda yang selalu
menyuguhkan senyum termanis yang membuat pemuda itu rindu.
“Andi?”
Amanda menggerakkan telapak tangannya di depan wajah pemuda itu. Pemuda bernama
Andi itu tersentak, tersadar dari lamunannya.
Oh,
Tuhan bisakah aku meninggalannya?
“Eh, maaf.. ehm.. Eh iya
Amanda,bagaimana kuliahmu sekarang?” Andi berbicara dengan gugup. “Lancar kok,
Di.” Amanda menyahut dengan ringan. Andi menghela napasnya panjang. “Amanda,”
Andi memberanikan diri untuk bicara. “Iya, Di.” Amanda menoleh dan Andi tersenyum. “Amanda, lihatlah daun-daun
kuning yang gugur itu.” Andi mengarahkan telunjuknya ke arah daun yang gugur.
Amanda mengikuti arah telunjuk Andi. “Daun yang gugur ibaratkan seseorang yang
ingin bebas dan meraih mimpinya. Bebas dari ketergantungan pada pohon yang
selalu mencukupi hidupnya. Tapi daun gugur tak memiliki arah, ia hanya pasrah
mengikuti angin yang membawanya. Akhirnya dia akan jatuh di tanah dan mengering.
Mati.” Andi mengarahkan telunjuknya pada seekor burung yang terbang dengan
paruh penuh berisi biji-bijian. Amanda mengarahkan pandangannya ke arah yang
ditunjuk Andi. “Burung itu juga terbang merasakan kebebasan setelah beberapa
waktu bergantung pada induknya di sarang. Ketika sayapnya sudah kuat, dia akan
terbang bebas meraih mimpinya. Membangun hidupnya sendiri dan mencukupinya.
Tapi dia memiliki arah tujuan. Sekalipun dia bebas untuk terbang, dia tetap
akan pulang ke sarang ketika senja menjelang.” Andi menarik napas panjang, “Aku
ingin seperti burung itu, Amanda.”
Hening
melingkupi keduanya hingga Amanda mulai membuka percakapan, “Terbanglah Andi,
ketika senja tiba aku akan selalu menunggumu di sini. Terbanglah seperti
burung, jangan seperti daun.” Andi meraih pundak Amanda dan mendekapnya, “Aku
mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku di Belanda.” Amanda mengangguk
pelan, “Aku akan menunggumu.”
“Aku
akan kembali saat buku pertamamu diterbitkan. Aku akan duduk di kursi terdepan
dan meminta tanda tanganmu diurutan pertama. Aku akan menjadi orang pertama
yang membaca buku karyamu, Amanda.” Andi membelai rambut Amanda. “Aku akan
menunggu saat itu tiba, Di.” Amanda tersenyum lembut. “Ketika waktu itu tiba,
aku juga akan membawamu pulang ke sarang yang sudah aku persiapkan.” Andi
terkekeh sedangkan Amanda terdiam. Andi yang menyadari ekspresi dingin Amanda
meraih jemari Amanda dan menggenggamnya, “Aku serius. Ketika aku kembali, aku
akan menjadikanmu pendamping hidupku.” Amanda tersenyum lembut. Air matanya
meleleh seiring terbenamnya matahari.
***
“Mau
sampai kapan kamu seperti ini, Nduk?”
Suara Ayah Amanda mulai meninggi. “Mau sampai kapan kamu menunggu orang yang
tidak karuan rimbanya?” Ayah Amanda menelan ludahnya, “Jika dia memang bersungguh-sungguh,
dia tidak akan meninggalkanmu tanpa kabar sampai lima tahun.”
“Sudahlah, Nduk, kamu tidak boleh terlalu larut dalam janjinya. Terimalah saja
lamaran Nak Rizki. Dia tidak kalah tampan dan pandai dari Andimu itu dan yang
pasti dia itu bertanggung jawab tidak seperti Andi. Ingat umurmu, Nduk, apa kamu tidak malu disebut
perawan tua?” Ibu Amanda turut menyudutkan Amanda.
“Amanda
pamit dulu, Ayah, Ibu. Hari ini buku ketiga Amanda akan terbit, jika Andi tidak
menepati janjinya lagisaya akan
mempertimbangkan lagi lamaran Rizki.” Amanda mencium tangan kedua orangtuanya
dan berlalu.
Butir-butir
air matanya tak terbendung mengingat percakapannya dengan kedua orangtuanya.
Hatinya tersayat ketika mengingat ucapannya untuk mempertimbangkan lamaran
Rizki. Amanda mengusap butir-butir air matanya dan berjalan lebih tegak, dia
yakin jika hari ini Andi pasti datang.
***
“Kamu
tidak terbang seperti burung, tapi kamu terbang seperti daun. Kamu bahkan lupa
akan arah dan tujuanmu. Bahkan tidak ada satupun ku dengar kabar darimu. Kamu
kemana Andi? Kamu benar-benar tega membiarkanku menunggu. Apa yang harus aku
lakukan Andi? Haruskah aku berhenti menunggumu dan menerima laki-laki itu?”
napas Amanda tersengal, dia terisak kala senja mulai pudar berganti malam.
Taman yang kian sepi membuat keberadaannya tidak begitu mengundang perhatian.
Rambut hitamnya menjuntai ke depan begitu saja ketika dia tertunduk dan menutup
wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Lama
Amanda diam membiarkan air matanya meleleh sampai hembusan angin menerpanya
lembut. Seiring belaian lembut angin yang menerpanya, Amanda juga merasakan ada
seseorang yang mendekapnya dari belakang. Amanda mengangkat wajahnya dan
menoleh. Seketika itu, sosok yang mendekapnya mendaratkan ciuman lembut di pipi
Amanda. Amanda tercengang dan menatap lekat-lekat sosok itu, “Andi?” Amanda
menyusuri sorot mata yang sangat dia kenali. Sosok itu tersenyum manis dan
mencium pipi Amanda sekali lagi sebelum ia berlalu tanpa sepatah katapun yang
terucap.
“Andiii!!!”
Gedebuk! Amanda tersungkur dari tempat duduknya. Amanda menoleh ke segala arah. Gelap. Hari sudah malam dan tidak ada seorangpun di sana. “Jadi? Ini semua..............hanya mimpi?” Amanda segera bangkit dan membersihkan tanah yang mengotori bajunya. Amanda bangkit dan membereskan tas dan bukunya di bangku taman. Sebelum pergi, Amanda menyapukan pandangannya ke sekeliling memastikan bahwa tadi dia tidak bermimpi. Hasilnya nihil, tidak ada siapa-siapa.
Gedebuk! Amanda tersungkur dari tempat duduknya. Amanda menoleh ke segala arah. Gelap. Hari sudah malam dan tidak ada seorangpun di sana. “Jadi? Ini semua..............hanya mimpi?” Amanda segera bangkit dan membersihkan tanah yang mengotori bajunya. Amanda bangkit dan membereskan tas dan bukunya di bangku taman. Sebelum pergi, Amanda menyapukan pandangannya ke sekeliling memastikan bahwa tadi dia tidak bermimpi. Hasilnya nihil, tidak ada siapa-siapa.
Inikah
akir penantianku?
Haruskah aku menyerah atau tetap bertahan?
Andi, ku mohon berhentilah bersembunyi..
Jangan berakhir seperti daun dan kembalilah seperti burung..
Haruskah aku menyerah atau tetap bertahan?
Andi, ku mohon berhentilah bersembunyi..
Jangan berakhir seperti daun dan kembalilah seperti burung..
Tidak ada komentar :
Posting Komentar