Kamis, 14 Mei 2015

Senja


            Senja, adalah ketika sang surya mulai tergelincir ke peraduannya. Ketika langit mulai berwarna jingga. Sisa-sisa sinar matahari yang menjulur menyusupi dedaunan menyinari sebuah bangku taman berawarna coklat. Seorang gadis berjalan pelan ke arahnya. Gadis berambut panjang mengenakan baju berwarna jingga dengan ujung roknya dihiasi renda berwarna putih. Sebuah buku terlihat nyaman di genggamannya. Sebuah tas berwarna coklat menggantung di pundaknya.
            Gadis itu duduk menatap senja. Menatap burung-burung yang mulai beterbangan pulang dengan paruh penuh berisi biji-bijian. Pulang menuju sarang. Ya, burung itu pulang. Gadis itu pun tersenyum kecut dan mengalihkan pandangannya. Kini ia menatap dedaunan yang telah menguning satu persatu gugur diterpa angin. Angin yang kini membelai lembut wajahnya dan menyibakkan rambut hitamnya yang terurai.
            Ini bukanlah kali pertama gadis itu duduk menyaksikan senja di taman. Sudah bukan hitungan hari, minggu bahkan bulan melainkan tahun. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat.  Lima tahun pula lah gadis itu dengan setia menghabiskan senjanya di tempat itu.
***
            “Amanda, di sebelah sini.” Seorang pemuda melambaikan tangannya mengisyaratkan keberadaannya kepada seorang gadis yang berjalan kebingungan di taman. Gadis itu tersenyum lega. Terlihat deretan gigi yang putih dan rapi. Gadis itu berjalan ke arah pemuda itu, sedangkan pemuda itu tersenyum menunggu gadis itu menghampirinya. “Susah ya menemukanku?” pemuda itu tersenyum menggoda ketika gadis bernama Amanda sudah berdiri di hadapannya. “Tidak.” Amanda menggeleng dan tersenyum, kemudian duduk di samping pemuda itu. “Bohong.” pemuda itu menyentuh hidung Amanda dengan jari telunjuknya, “kamu harus waspada, aku yakin sebentar lagi hidungmu akan lebih mancung.” pemuda itu terkekeh. “Memangnya aku pinokio?” mereka berdua pun terbahak.

            Pemuda itu menatap Amanda lama. Menelisik setiap detail dari makhluk bernama Amanda. Rambut hitam yang teurai membingkai wajah yang oval. Mata yang lebar dan berbinar dengan sorot mata yang selalu tampak bersemangat, ceria seakan lara tak pernah menghampirinya. Bibir tipis berwarna merah muda yang selalu menyuguhkan senyum termanis yang membuat pemuda itu rindu.
            “Andi?” Amanda menggerakkan telapak tangannya di depan wajah pemuda itu. Pemuda bernama Andi itu tersentak, tersadar dari lamunannya.
Oh, Tuhan bisakah aku meninggalannya?
“Eh, maaf.. ehm.. Eh iya Amanda,bagaimana kuliahmu sekarang?” Andi berbicara dengan gugup. “Lancar kok, Di.” Amanda menyahut dengan ringan. Andi menghela napasnya panjang. “Amanda,” Andi memberanikan diri untuk bicara. “Iya, Di.” Amanda menoleh dan  Andi tersenyum. “Amanda, lihatlah daun-daun kuning yang gugur itu.” Andi mengarahkan telunjuknya ke arah daun yang gugur. Amanda mengikuti arah telunjuk Andi. “Daun yang gugur ibaratkan seseorang yang ingin bebas dan meraih mimpinya. Bebas dari ketergantungan pada pohon yang selalu mencukupi hidupnya. Tapi daun gugur tak memiliki arah, ia hanya pasrah mengikuti angin yang membawanya. Akhirnya dia akan jatuh di tanah dan mengering. Mati.” Andi mengarahkan telunjuknya pada seekor burung yang terbang dengan paruh penuh berisi biji-bijian. Amanda mengarahkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Andi. “Burung itu juga terbang merasakan kebebasan setelah beberapa waktu bergantung pada induknya di sarang. Ketika sayapnya sudah kuat, dia akan terbang bebas meraih mimpinya. Membangun hidupnya sendiri dan mencukupinya. Tapi dia memiliki arah tujuan. Sekalipun dia bebas untuk terbang, dia tetap akan pulang ke sarang ketika senja menjelang.” Andi menarik napas panjang, “Aku ingin seperti burung itu, Amanda.”
            Hening melingkupi keduanya hingga Amanda mulai membuka percakapan, “Terbanglah Andi, ketika senja tiba aku akan selalu menunggumu di sini. Terbanglah seperti burung, jangan seperti daun.” Andi meraih pundak Amanda dan mendekapnya, “Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku di Belanda.” Amanda mengangguk pelan, “Aku akan menunggumu.”
            “Aku akan kembali saat buku pertamamu diterbitkan. Aku akan duduk di kursi terdepan dan meminta tanda tanganmu diurutan pertama. Aku akan menjadi orang pertama yang membaca buku karyamu, Amanda.” Andi membelai rambut Amanda. “Aku akan menunggu saat itu tiba, Di.” Amanda tersenyum lembut. “Ketika waktu itu tiba, aku juga akan membawamu pulang ke sarang yang sudah aku persiapkan.” Andi terkekeh sedangkan Amanda terdiam. Andi yang menyadari ekspresi dingin Amanda meraih jemari Amanda dan menggenggamnya, “Aku serius. Ketika aku kembali, aku akan menjadikanmu pendamping hidupku.” Amanda tersenyum lembut. Air matanya meleleh seiring terbenamnya matahari.
***
            “Mau sampai kapan kamu seperti ini, Nduk?” Suara Ayah Amanda mulai meninggi. “Mau sampai kapan kamu menunggu orang yang tidak karuan rimbanya?” Ayah Amanda menelan ludahnya, “Jika dia memang bersungguh-sungguh, dia tidak akan meninggalkanmu tanpa kabar sampai lima tahun.”
“Sudahlah, Nduk, kamu tidak boleh terlalu larut dalam janjinya. Terimalah saja lamaran Nak Rizki. Dia tidak kalah tampan dan pandai dari Andimu itu dan yang pasti dia itu bertanggung jawab tidak seperti Andi. Ingat umurmu, Nduk, apa kamu tidak malu disebut perawan tua?” Ibu Amanda turut menyudutkan Amanda.
            “Amanda pamit dulu, Ayah, Ibu. Hari ini buku ketiga Amanda akan terbit, jika Andi tidak menepati janjinya lagisaya akan mempertimbangkan lagi lamaran Rizki.” Amanda mencium tangan kedua orangtuanya dan berlalu.
            Butir-butir air matanya tak terbendung mengingat percakapannya dengan kedua orangtuanya. Hatinya tersayat ketika mengingat ucapannya untuk mempertimbangkan lamaran Rizki. Amanda mengusap butir-butir air matanya dan berjalan lebih tegak, dia yakin jika hari ini Andi pasti datang.
***
            “Kamu tidak terbang seperti burung, tapi kamu terbang seperti daun. Kamu bahkan lupa akan arah dan tujuanmu. Bahkan tidak ada satupun ku dengar kabar darimu. Kamu kemana Andi? Kamu benar-benar tega membiarkanku menunggu. Apa yang harus aku lakukan Andi? Haruskah aku berhenti menunggumu dan menerima laki-laki itu?” napas Amanda tersengal, dia terisak kala senja mulai pudar berganti malam. Taman yang kian sepi membuat keberadaannya tidak begitu mengundang perhatian. Rambut hitamnya menjuntai ke depan begitu saja ketika dia tertunduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
            Lama Amanda diam membiarkan air matanya meleleh sampai hembusan angin menerpanya lembut. Seiring belaian lembut angin yang menerpanya, Amanda juga merasakan ada seseorang yang mendekapnya dari belakang. Amanda mengangkat wajahnya dan menoleh. Seketika itu, sosok yang mendekapnya mendaratkan ciuman lembut di pipi Amanda. Amanda tercengang dan menatap lekat-lekat sosok itu, “Andi?” Amanda menyusuri sorot mata yang sangat dia kenali. Sosok itu tersenyum manis dan mencium pipi Amanda sekali lagi sebelum ia berlalu tanpa sepatah katapun yang terucap.
            “Andiii!!!”
Gedebuk! Amanda tersungkur dari tempat duduknya. Amanda menoleh ke segala arah. Gelap. Hari sudah malam dan tidak ada seorangpun di sana. “Jadi? Ini semua..............hanya mimpi?” Amanda segera bangkit dan membersihkan tanah yang mengotori bajunya. Amanda bangkit dan membereskan tas dan bukunya di bangku taman. Sebelum pergi, Amanda menyapukan pandangannya ke sekeliling memastikan bahwa tadi dia tidak bermimpi. Hasilnya nihil, tidak ada siapa-siapa.
Inikah akir penantianku?
Haruskah aku menyerah atau tetap bertahan?
Andi, ku mohon berhentilah bersembunyi..
Jangan berakhir seperti daun dan kembalilah seperti burung..

            Dengan hati yang kecewa Amanda melangkahkan kakinya pulang ditemani suara serangga malam yang mulai bersahutan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar