Tidak
ada yang lebih indah daripada menyaksikan matahari terbenam di tepi pantai.
Senja, itu lah namanya. Nama itu juga sangat akrab dengan usia manusia yang
mulai menua.
Aku
tak ingat jelas sudah berapa lama aku tidak menjejakkan kaki-kakiku di antara
pasir putih yang sedang disapu ombak ini. Dan aku merasa pasir-pasir ini masih
selembut dan sehangat dulu. Bahkan ombak yang ada di bibir pantai pun masih
deras menyeruakkan rasa dingin ketika ia melewati jari-jari kakiku.
Mungkin
memang baginilah cara Tuhan mengatur alam. Membiarkan semua yang berlawanan
bersatu dan saling melengkapi. Tentu saja dengan caranya yang begitu canggih,
meletakkan semua sesuai porsinya sehingga menciptakan harmoni alam yang
menawan.
Aku
ingat pohon kelapa itu. Dia masih saja kokoh berdiri dan sepertinya dia jauh
lebih tinggi. Dulu aku sering duduk di bawahnya, menunggu dan memerhatikan dari
jauh sosok pemuda berbadan tegap yang mengenakan kacamata. Dia yang selalu
dingin seperti ombak. Suaranya berat seperti deburan ombak, namun mengalun
indah ketika kata demi kata mengalir dari bibirnya.
Pemuda
yang selalu mengakhiri harinya dengan berjalan di bibir pantai. Menanti langit
kemerahan berganti kehitaman. Peluh selalu mengucur dari pelipis juga sela-sela
rambutnya. Tampak rambutnya selalu setengah basah.
Aku
tidak pernah tahu kenapa dia selalu menutup harinya dengan menyaksikan senja.
Bahkan sampai sekarang. Namun, ada satu peristiwa yang benar-benar membuat kisah
kami tidak berakhir hanya sebagai pengagum rahasia dan sosok yang didamba.
Saat
itu, dia berjalan dengan tangan yang tenggelam dalam saku celananya. Kemejanya
tampak sudah kusut dan setengah basah. Saat dia hendak beranjak setelah
melakukan ritualnya, aku melihat sebuah benda jatuh dari saku celananya. Dia
tidak menyadarinya. Aku memberanikan diri untuk menghampiri benda apa itu.
Dompet, ternyata benda itu adalah dompet.
Aku
berlari mengejarnya, “Mas, tolong berhenti sebentar.” Tidak ada jawaban bahkan
menoleh saja tidak. Semakin lama dia semakin menjauh dan aku hanya mampu
menikmati siluetnya.
Aku
kembali memberanikan diriku untuk melihat benda itu. Pelan, aku membuka dompet
itu. Jantungku serasa memompa darah lebih cepat dari biasanya. Bahkan aku
sampai dapat mendengar degubnya karena aku merasa dunia seketika menjadi
hening. Aku langsung melihat tanda pengenalnya, dengan tangan yang berkeringat
dingin aku mengeluarkan kartu tanda penduduknya. Untuk pertama kalinya aku tahu
siapa nama pemuda dambaanku itu, “Lazuardi Septianto”.
Aku
terduduk, rasanya lututku tak berdaya menopang tubuhku ketika nama itu pertama
kali terdengar di telingaku. Napasku memburu, degub jantungku kian cepat. Aku
merasa ada taman bunga di sekitarku.
Keesokan
harinya, saat malam baru saja berganti pagi, aku bergegas menuju alamat yang
tertera di kartu tanda penduduk tersebut. Hari ini adalah hari Minggu, aku merasa
dia pasti ada di rumahnya. Dengan mengendarai angkot, aku mencoba menemukan
kediamannya.
“Jadi,
di sana dia bermukim?” Aku bergumam menyaksikan sebuah rumah sederhana bercat
biru dengan keramik berwarna putih. Cukup sulit menemukannya karena aku harus
bertanya kepada beberapa penduduk setempat sebelum aku tepat berdiri disini
sekarang.
Aku
mengambil napas dalam. Pelan tapi pasti aku mencoba melangkahkan kakiku menuju
rumah itu. Degub jantungku kembali meningkat, jemariku terasa dingin dan basah.
tanganku bergetar ketika akan mengetuk pintu. Baru satu ketukan pintu itu sudah
terbuka. Sosok itu berdiri disana. Mengenakan kaos putih dan celana pendek. Dia
tidak mengenakan kacamatanya. Aku semakin gugup, inilah kali pertamaku
menatapnya dengan jelas dan dekat.
“A..a..” tidak ada kata yang sanggup terucap.
Pemuda itu berdehem, “Anda mencari siapa dan ada perlu apa?”
Aku mengeluarkan dompet yang ada di dalam tasku,
“I..ini punya kamu?”
“Oh, ya. Terimakasih.” Ujarnya singkat. Kemudian pintu dihadapanku tertutup begitu saja. Itulah kenapa aku mengatakan dia memiliki sikap yang dingin.
“Oh, ya. Terimakasih.” Ujarnya singkat. Kemudian pintu dihadapanku tertutup begitu saja. Itulah kenapa aku mengatakan dia memiliki sikap yang dingin.
Aku
tersenyum mengingatnya, saat pertama kali kami bersapa. Rasanya hal itu baru
berlangsung kemarin. Aku menoleh pada sosok berambut putih di sampingku. Tubuhnya
tidak setegap dulu namun, suaranya tetap sama. Aku menggeser jemariku mendekati
jemarinya dan menggenggamnya, “Selamat ulang tahun pernikahan, sayang.”
Sosok
itu tersenyum ke arahku, senyum lembut yang selalu menghangatkan hatiku. “Tidak
terasa, 40 tahun sudah kita menikah dan selama itu pulalah aku tidak pernah
memberitahumu kenapa aku selalu menutup hari-hariku di pantai ini.”
Aku
tersentak dan bergumam dalam hati, “jadi apakah dia juga memikirkan hal yang
sama denganku? mengingat hal yang sama?”
Sosok
itu hanya terkekeh kemudian merangkulkan tangannya di pundakku, “Biarkan ini
menjadi hadiah ulang tahun pernikahan kita dariku untukmu.” Sosok itu menarik
napas dalam, “Setiap senja aku selalu menutup hariku disini karena aku ingin
melihat sosok seorang gadis yang entah sejak kapan mencuri perhatianku.
Senyumnya yang manis seakan menjadi obat paling ampuh untuk segala permasalahan
dan stres karena pekerjaan yang menumpuk. Tapi apa daya, menegurnya saja aku
tak berani. Aku terlalu gugup. Jadi, aku hanya mencuri pandang padanya saat
berjalan di bibir pantai.”
Aku
merasa ada rasa sakit yang muncul dihatiku. “Apakah aku cemburu? Dia kan sudah
memilihku dan mungkin saja gadis itu kini sudah membangun keluarganya sendiri
dengan orang lain.”
“Gadis itulah yang mampu membuat jantungku
berdegub cepat saat berada di dekatnya.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar