Aku berjalan menyusuri puing-puing bangunan menatap nanar
setiap kepingan kenangan yang dulu terbangun kokoh di sana. Semenjak
rudal-rudal itu menyusup, granat-granat berceceran, ranjau bagai umbi yang tertanam
dan siap panen kapan saja, tempat permai ini berubah menjadi seperti neraka.
Masih
tercium bau asap. Tadi pagi sebuah ranjau meledak di sini, tepat di depan rumah
gadis kecil berkerudung hitam yang memiliki senyum termanis. Yang selalu
bermain bola setiap pagi di halaman bersama saudara laki-lakinya. Miris.
Ironis. Ranjau itu meledak saat dia dan Ibunya mengantar Ayahnya untuk
berangkat bekerja. Tepat ketika sang Ayah membuka pintu mobil beberapa kali dentuman
keras mengakhiri hidup mereka. Tidak ada yang tersisa. Hanya sang kakak yang
kini kakinya tinggal sebelah.
Aku
berjalan mendekati reruntuhan rumah itu. Aku melihat sebuah bola kumal yang
sedikit rusak sisa ledakan. Ah, bola ini adalah bola terbagus yang pernah
kulihat seumur hidupku tadinya. Tapi, sekarang bola ini tidak jauh lebih baik
dari bolaku di rumah.
Aku
memungutnya. Aku memainkannya. Menendangnya dengan kaki kanan dan kaki kiri
bergantian. Rasanya sudah lama aku tidak bermain seperti ini. Tepatnya sejak
Ayah melarangku untuk keluar rumah dengan alasan apapun kecuali bersamanya. Aku
tidak pernah bertanya kenapa, tapi kupikir itu karena Ayah menghawatirkan
keselamatanku.
Ayah
hampir tidak pernah pulang. Bisa dua minggu sekali, bisa juga pulang satu bulan
setelahnya. Entah apa yang dilakukan Ayah di luar sana, aku tidak tahu.
Aku
bermain dengan bahagia tanpa menyadari sepasang mata mengawasiku sejak detik
pertama aku berada di sini. Sosok bersenjata yang memakai penutup muka. Matanya
mengincar setiap gerakan yang kulakukan.
Tepat
ketika aku melakukan tendangan final ke arah reruntuhan rumah yang ku anggap
sebagai gawang dan melompat bahagia, sebuah peluru melesat tepat mengenai
jantungku. Aku jatuh begitu saja di tanah. Darah segar mengucur dari dadaku.
Mataku mulai buram, tapi aku masih bisa melihat ada seseorang berjalan
mendekat, “A..ayah? kenapa......”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar