Rabu, 16 September 2015

Tendangan Terakhir




Aku berjalan menyusuri puing-puing bangunan menatap nanar setiap kepingan kenangan yang dulu terbangun kokoh di sana. Semenjak rudal-rudal itu menyusup, granat-granat berceceran, ranjau bagai umbi yang tertanam dan siap panen kapan saja, tempat permai ini berubah menjadi seperti neraka.

                Masih tercium bau asap. Tadi pagi sebuah ranjau meledak di sini, tepat di depan rumah gadis kecil berkerudung hitam yang memiliki senyum termanis. Yang selalu bermain bola setiap pagi di halaman bersama saudara laki-lakinya. Miris. Ironis. Ranjau itu meledak saat dia dan Ibunya mengantar Ayahnya untuk berangkat bekerja. Tepat ketika sang Ayah membuka pintu mobil beberapa kali dentuman keras mengakhiri hidup mereka. Tidak ada yang tersisa. Hanya sang kakak yang kini kakinya tinggal sebelah.

                Aku berjalan mendekati reruntuhan rumah itu. Aku melihat sebuah bola kumal yang sedikit rusak sisa ledakan. Ah, bola ini adalah bola terbagus yang pernah kulihat seumur hidupku tadinya. Tapi, sekarang bola ini tidak jauh lebih baik dari bolaku di rumah.

                Aku memungutnya. Aku memainkannya. Menendangnya dengan kaki kanan dan kaki kiri bergantian. Rasanya sudah lama aku tidak bermain seperti ini. Tepatnya sejak Ayah melarangku untuk keluar rumah dengan alasan apapun kecuali bersamanya. Aku tidak pernah bertanya kenapa, tapi kupikir itu karena Ayah menghawatirkan keselamatanku.

                Ayah hampir tidak pernah pulang. Bisa dua minggu sekali, bisa juga pulang satu bulan setelahnya. Entah apa yang dilakukan Ayah di luar sana, aku tidak tahu.

                Aku bermain dengan bahagia tanpa menyadari sepasang mata mengawasiku sejak detik pertama aku berada di sini. Sosok bersenjata yang memakai penutup muka. Matanya mengincar setiap gerakan yang kulakukan.

                Tepat ketika aku melakukan tendangan final ke arah reruntuhan rumah yang ku anggap sebagai gawang dan melompat bahagia, sebuah peluru melesat tepat mengenai jantungku. Aku jatuh begitu saja di tanah. Darah segar mengucur dari dadaku. Mataku mulai buram, tapi aku masih bisa melihat ada seseorang berjalan mendekat, “A..ayah? kenapa......”

Tidak ada komentar :

Posting Komentar