Pagi. Aku tak pernah sekalipun melewatkan fajar yang
menyongsong sosok matahari. Sinarnya yang keemasan selalu berhasil memberikan
kehangatan untuk tubuhku yang kekar dan selalu berdiri sendirian dalam
kebekuan. Ah, betapa sepinya hidupku.
Sempat sekali waktu aku menunduk dan berdoa kepada Tuhan, “Tuhan,
berikan aku teman. Aku sungguh kesepian.” Tuhan tidak menjawab dan membiarkanku
tetap berdiri sendirian.
Sampai suatu ketika, aku merasa Tuhan mengabulkan doaku.
Ketika kali pertama ada sosok yang mendekatiku. Dia tampak begitu bahagia
melihatku dan aku pun begitu. Dia selalu memuji keindahanku, walaupun terkadang
aku selalu menutupnya rapat. Ya, dulunya aku selalu menutup rapat tubuhku
karena setiap orang yang melihatku bergidik ketakutan. “Datanglah padaku,
bebaskan aku dari kesendirian ini.” Seakan mengerti ucapanku, dia selalu datang
dan mengunjungiku setiap bulan. Aku tak peduli, yang terpenting aku punya
teman.
Suatu ketika aku menantinya, aku menantinya dengan cemas
siang dan malam. Sudah lewat dua minggu dia tidak menemuiku. Aku rindu. “Tuhan,
aku ingin lebih banyak teman lagi. Aku tidak mau kesepian seperti ini.” Aku
meraung memohon kepada Tuhan dan seperti biasa Tuhan tetap saja diam.
Keesokan harinya kala matahari mulai bangun dan
menghangatkanku, dari kejauhan aku melihatnya berjalan mendekat. Tunggu, dia
tidak sendiri. Dia membawa teman. Oh, Tuhan sungguh engaku yang terbaik. Aku
sangat bahagia.
Semakin hari semakin banyak teman yang datang. Aku masih
bahagia sampai suatu ketika aku mulai kecewa dengan keberadaan mereka. Mereka
datang berbondong-bondong untuk menginjak-injakku. Merusak tubuhku. Merobek
baju hijauku. Dan, mirisnya mereka tak mendengar rintihanku, “kumohon hentikan.
Tahukah kalian, kalian telah menyakitiku.”
Tidak berhenti sampai di sana. Kini mereka datang membawa
alat yang berdesing sangat keras. Benar-benar memekakkan telinga. Mereka
menjamahku. Mereka melempariku dengan sampah. Aku hanya mampu meratap pilu.
Mereka menodaiku. Mereka merenggut hartaku yang paling berharga.
Saat mereka puas, mereka meninggalkanku begitu saja. Aku
tidak secantik dulu. Tubuhku tidak kekar lagi. Aku rapuh. “Kalian jahat. Kalian
tega.” Aku menunduk dan berdoa kepada Tuhan, “Tuhan, ampuni aku. Tak seharusnya
aku meminta teman. Mungkin memang lebih baik aku hanya berteman dengan matahari
dan binatang-binatang liar, bukan manusia biadab yang tak berakal. Ampuni aku
Tuhan.”
Tuhan hanya diam. Tak berapa lama awan berubah mendung.
Hujan deras mengguyur setelahnya. Tubuhku bergetar. “Tuhan, aku takut. Aku akan
mati.” Sekuat tenaga aku bertahan, tapi guyuran hujan yang deras merobohkanku. Aku
jatuh tersungkur dan hancur. Entah berapa nyawa yang turut mati bersamaku.
***
“Kamu sudah dengar?” Tanya seorang laki-laki berkumis kepada
laki-laki bercaping.
“Sudah. Katanya tanah longsor itu terjadi karena pembalakan liar ya?” Timpal laki-laki bercaping.
“Iya, padahal bukit itu adalah cagar alam yang indah.” Laki-laki berkumis menjawab sambil manggut-manggut.
“Seharusnya alam itu dijaga bukan dirusak. Lupa apa kalau mereka itu tidak bisa hidup tanpa alam. Kok seenak udelnya saja merusak alam.” Laki-laki bercaping berucap lagi.
“Nasi sudah menjadi bubur, Min, sekarang tugas kita yang masih sadar ini ya menjaga alam dan mengolahnya sesuai kebutuhan kita agar tetap bersahabat dengan kita. Tidak dieksploitasi seperti itu.”
“Betul.” Laki-laki bercaping mengacungkan jempolnya.
“Ya sudah, ayo lanjut bekarja.”
Laki-laki bercaing mengangguk. Mereka pun melanjutkan berjalan menuju sawah untuk menanam padi.
“Sudah. Katanya tanah longsor itu terjadi karena pembalakan liar ya?” Timpal laki-laki bercaping.
“Iya, padahal bukit itu adalah cagar alam yang indah.” Laki-laki berkumis menjawab sambil manggut-manggut.
“Seharusnya alam itu dijaga bukan dirusak. Lupa apa kalau mereka itu tidak bisa hidup tanpa alam. Kok seenak udelnya saja merusak alam.” Laki-laki bercaping berucap lagi.
“Nasi sudah menjadi bubur, Min, sekarang tugas kita yang masih sadar ini ya menjaga alam dan mengolahnya sesuai kebutuhan kita agar tetap bersahabat dengan kita. Tidak dieksploitasi seperti itu.”
“Betul.” Laki-laki bercaping mengacungkan jempolnya.
“Ya sudah, ayo lanjut bekarja.”
Laki-laki bercaing mengangguk. Mereka pun melanjutkan berjalan menuju sawah untuk menanam padi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar